Saturday, November 8, 2025
HomeBeritaMenara Zion di atas tanah wakaf: Sinagoge Israel tantang Al-Aqsha

Menara Zion di atas tanah wakaf: Sinagoge Israel tantang Al-Aqsha

Sinagoge “Kebanggaan Israel” (Pride of Israel Synagogue) berdiri di jantung Kota Tua Yerusalem, di atas tanah wakaf Islam yang telah ada sejak berabad-abad lalu.

Bangunan ini pertama kali dibangun pada paruh kedua abad ke-19, kemudian hancur dalam peristiwa Nakba 1948, ketika pasukan Arab dan pejuang Palestina berusaha menggagalkan pendudukan Zionis.

Namun, pada 2014 pemerintah Israel memutuskan untuk membangunnya kembali dengan wujud yang lebih megah, menjadikannya kini sebagai sinagoge tertinggi kedua di dalam tembok Kota Tua Yerusalem.

Di jantung kota tua

Sinagoge “Kebanggaan Israel” terletak tak lebih dari 200 meter di sebelah barat Masjid Al-Aqsha, tepatnya di kawasan yang dahulu dikenal sebagai Harat al-Sharaf.

Perkampungan Muslim yang dikuasai Israel setelah Perang 1967 dan kini diubah namanya menjadi “Jewish Quarter” atau “Kawasan Yahudi”. Sekitar 6.000 pemukim Yahudi kini menghuni area itu.

Bangunan ini juga hanya berjarak kurang dari 100 meter dari Sinagoge Hurva, rumah ibadah Yahudi terbesar di Kota Tua yang diresmikan pada 2010.

Asal-usul nama dan makna simbolik

Nama “Kebanggaan Israel” diambil dari tokoh Yahudi abad ke-19, Rabbi Yisrael Beck, yang menjadi penggagas pembangunan sinagoge ini.

Kata “kebanggaan” dipilih dengan maksud simbolik: menumbuhkan rasa bangga dan keagungan di kalangan Yahudi yang kala itu mulai bermigrasi ke Yerusalem dengan keyakinan bahwa kota itu adalah “tanah yang dijanjikan.”

Dari wakaf Islam ke simbol kolonisasi

Menurut narasi Israel, Rabbi Yisrael Beck membeli sebidang tanah di Harat al-Sharaf pada 1870-an untuk mendirikan komunitas Yahudi di sana.

Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa lokasi tersebut dulunya merupakan area makam dan makam wali Muslim, Syekh Abu Shushah.

Selama perang 1948, bangunan sinagoge itu diubah menjadi pos militer oleh kelompok bersenjata Zionis Haganah karena posisinya yang strategis di dekat Al-Aqsha.

Dari sana, pasukan tersebut melakukan serangan ke arah pejuang Palestina.

Dalam upaya menggagalkan serangan itu, para pejuang akhirnya menembakkan meriam ke arah bangunan tersebut hingga hancur total.

Reruntuhannya dibiarkan begitu saja hingga 2014, ketika Pemerintah Kota Yerusalem di bawah otoritas pendudukan menyetujui proyek rekonstruksi.

Pada 27 Mei 2014, upacara peletakan batu pertama digelar dengan dihadiri sejumlah pejabat tinggi Israel, di antaranya Wali Kota Yerusalem saat itu, Nir Barkat, serta Menteri Permukiman dan Perumahan Uri Ariel.

Proyek pembangunan berada di bawah tanggung jawab Jewish Quarter Development Company, dan didanai oleh pemerintah Israel serta donatur Yahudi kaya dari berbagai negara.

Biaya pembangunannya mencapai sekitar 50 juta shekel, atau sekitar 14 juta dolar AS.

Selama proses pembangunan, otoritas Israel juga melakukan penggalian besar-besaran di sekitar Lokasi.

Mereka juga mengklaim menemukan sisa-sisa arkeologis yang dikaitkan dengan “Bait Suci” yang disebut-sebut pernah berdiri di tempat itu.

Klaim tersebut segera menuai kritik luas karena dianggap bagian dari upaya memperkuat narasi arkeologis yang meminggirkan sejarah Islam, Bizantium, dan Ottoman di Yerusalem.

Arsitektur dan keistimewaan bangunan

Bangunan berbentuk persegi ini memiliki luas total sekitar 1.400 meter persegi, meskipun tanah wakaf yang ditempatinya hanya berukuran 378 meter persegi.

Arsiteknya menggunakan teknik vertikal untuk menumpuk ruang secara rapat, menjadikannya struktur raksasa yang menjulang di tengah gang-gang sempit Kota Tua.

Sinagoge ini memiliki empat lantai di atas tanah dengan tinggi mencapai 24 meter, ditambah dua lantai bawah tanah.

Di puncaknya berdiri sebuah kubah besar yang dapat dilihat dari berbagai penjuru Yerusalem.

Proyek ini sempat ditolak beberapa kali oleh lembaga perencanaan kota karena ukurannya melampaui batas yang diizinkan—tingginya 3 kali lipat dari tembok kuno Yerusalem, dan luas bangunannya lima kali lipat dari lahan aslinya.

Namun, proyek tersebut akhirnya disetujui setelah mendapat dukungan politik penuh dari pemerintah Israel.

Di dalamnya terdapat aula untuk ibadah Yahudi, termasuk ruang khusus bagi perempuan, galeri artefak yang diklaim berasal dari masa “Bait Suci”, perpustakaan, serta balkon kaca di lantai atas yang menawarkan pemandangan langsung ke arah Al-Aqsa dan kawasan sekitarnya.

Upaya mengubah wajah kota suci

Sejak Israel menguasai Yerusalem pada 1967 hingga akhir 2024, tercatat sudah lebih dari 106 sinagoge dibangun di dalam dan sekitar Kota Tua.

Sinagoge “Kebanggaan Israel” kini menjadi yang kedua terbesar dan tertinggi setelah Sinagoge Hurva.

Lokasinya berada di kawasan Harat al-Sharaf, yang penduduk Palestina-nya dipaksa keluar setelah perang 1967 untuk digantikan oleh ribuan pemukim.

Area ini juga berbatasan langsung dengan Tembok Al-Buraq (Western Wall), bagian dari kompleks Masjid Al-Aqsha yang menurut resolusi PBB merupakan tanah wakaf Islam.

Karena itu, pembangunan sinagoge di atasnya dinilai melanggar hukum internasional.

Dengan ketinggian yang hampir menyamai Kubah Batu (Dome of the Rock) dan melampaui tembok Kota Tua, sinagoge ini mengubah siluet kota suci secara mencolok.

Kubahnya yang baru—didesain menyerupai gaya arsitektur klasik Yerusalem—menjadi upaya terselubung untuk menanamkan kesan “keotentikan Yahudi” pada lanskap kota yang selama berabad-abad mencerminkan peradaban Islam dan Kristen.

Lebih dari sekadar rumah ibadah, bangunan ini berfungsi sebagai pos pengamatan strategis.

Dari lantai atasnya, pandangan dapat menjangkau langsung Masjid Al-Aqsha dan rumah-rumah penduduk Palestina di sekitarnya.

Selain itu, Israel Antiquities Authority atau Otoritas Purbakala Israel terus melakukan penggalian di area sekitar sinagoge, dengan dalih penelitian arkeologis.

Bahkan, pemerintah berencana menambahkan fasilitas baru berupa taman dan area istirahat bagi wisatawan, memperluas lagi area yang dikuasai Israel di jantung kawasan suci umat Islam.

Pembangunan sinagoge ini tidak dapat dilepaskan dari proyek besar Israel untuk membentuk pembagian spasial kawasan Masjid Al-Aqsha—upaya jangka panjang untuk menguasai situs suci itu secara de facto.

Bersama Sinagoge Hurva dan “Tenda Ishaq” di Jalan Al-Wad, “Kebanggaan Israel” menjadi bagian dari jejaring rumah ibadah Yahudi yang membentang di sekitar Al-Aqsa.

Melalui simbol, arsitektur, dan narasi arkeologis yang dibangun, sinagoge ini menjadi salah satu instrumen utama untuk meneguhkan klaim keberadaan “Bait Suci” di lokasi yang kini berdiri Masjid Al-Aqsha.

Sekaligus, menghapus identitas Islam dan Arab dari Yerusalem—sebuah langkah sistematis dalam proses panjang “penyahislaman” kota suci itu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler