Sejumlah menteri Israel mengakui bahwa operasi militer di Gaza mengalami jalan buntu dan gagal mencapai tujuan yang dijanjikan.
Seruan dari dalam pemerintahan koalisi sendiri pun semakin lantang agar perang dihentikan dan kesepakatan damai segera diwujudkan, terlebih setelah serangan mematikan di Khan Younis menewaskan tujuh tentara Israel.
Saluran televisi Israel Channel 12 melaporkan, Rabu (25/6) malam, bahwa tiga menteri kabinet menyampaikan secara terbuka bahwa perang di Gaza kini hanya tinggal “konsep teoritis” yang tak membuahkan hasil nyata di lapangan.
Mereka menilai saatnya Israel mengambil pendekatan lain—baik secara militer maupun melalui jalur politik—untuk mengakhiri konflik.
Sementara itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dikabarkan menggelar pertemuan darurat bersama tim keamanan terbatas untuk membahas kondisi militer terbaru di Gaza serta strategi pembebasan tawanan Israel.
Serangan mematikan bangkitkan seruan damai
Serangan penyergapan oleh Brigade Al-Qassam di Khan Younis, yang menewaskan tujuh tentara Israel, termasuk seorang perwira, menjadi pemicu gelombang baru seruan untuk segera menghentikan perang.
Serangan itu disebut sebagai salah satu pukulan paling berat bagi Israel sejak awal 2025.
Beberapa pejabat dari partai Likud dan koalisi pemerintah menyatakan bahwa rakyat Israel telah kelelahan dengan perang Gaza.
Mereka tidak ingin terus terseret dalam ambisi menteri-menteri ultranasionalis seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.
Salah seorang pejabat Likud bahkan menegaskan bahwa jika ada kesepakatan yang realistis mengenai Gaza, Netanyahu kemungkinan besar akan menyetujuinya.
Ketua Komite Keuangan Knesset, Moshe Gafni dari partai United Torah Judaism, juga mempertanyakan alasan di balik keberlanjutan perang.
“Mengapa kita terus bertempur di Gaza sementara tentara terus gugur satu per satu?” katanya.
Pernyataan keras juga datang dari Forum Keluarga Tawanan Israel yang mempertanyakan makna perang ini.
“Perang telah kehilangan arah, tidak ada tujuan yang jelas, dan para prajurit terus gugur. Sudah saatnya untuk menunjukkan keberanian—akhiri perang, dan pulangkan para sandera,” bunyi pernyataan mereka.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump—dalam konferensi pers di Den Haag bersama Sekjen NATO Mark Rutte—mengatakan bahwa “kemajuan besar” telah dicapai menuju kesepakatan soal Gaza, yang dipicu oleh serangan Israel terhadap Iran.
Ia menyebut utusannya ke Timur Tengah, Steven Witkoff, memberi laporan bahwa kesepakatan soal Gaza sudah semakin dekat.
Netanyahu sendiri dikabarkan cenderung mendukung skema kesepakatan bertahap seperti yang diusulkan oleh Witkoff, yang menekankan penanganan tahanan dan pengakhiran konflik secara bertahap.
Sikap Hamas
Sementara itu, Hamas menegaskan bahwa kebuntuan dalam proses negosiasi disebabkan oleh Netanyahu dan pemerintahannya yang “fasis”.
Dalam pernyataan resminya, Hamas menyatakan bahwa mereka menyambut baik inisiatif yang menjamin gencatan senjata permanen dan penarikan penuh Israel dari Gaza.
Namun, mereka menuduh Netanyahu sengaja mengulur waktu demi kepentingan politik pribadi.
Menurut juru bicara Hamas, Taher al-Nounou, perlawanan tetap berlangsung dan menunjukkan kegagalan total Israel mematahkan semangat rakyat Palestina.
Ia mengatakan bahwa Hamas masih menjalin komunikasi dengan para mediator, tetapi belum melihat adanya perubahan serius dari pihak Israel.
Al-Nounou menyebut Hamas hanya akan menerima kesepakatan yang mencakup empat poin utama: penghentian total agresi, penarikan pasukan Israel dari seluruh Gaza, rekonstruksi wilayah, pencabutan blokade, serta pertukaran tahanan.
“Kami tak bisa puas dengan sekadar pernyataan. Yang kami butuhkan adalah tindakan nyata, bukan janji,” ujarnya, merujuk pada pernyataan Trump.
Meski Hamas menyatakan keterbukaan terhadap kesepakatan damai, Netanyahu masih bertahan pada tuntutan berat, seperti pelucutan senjata Hamas dan pelarangan peran politik mereka di Gaza pascaperang.
Hal ini membuat proses negosiasi terus mengalami kebuntuan.
Netanyahu menghadapi tekanan domestik yang semakin kuat. Keluarga sandera dan tokoh oposisi menuduhnya menghalangi tercapainya kesepakatan demi melanggengkan kepentingan politiknya sendiri.
Survei terbaru di Israel menunjukkan bahwa mayoritas warga—termasuk pendukung pemerintah—mendukung penghentian perang.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan masif ke Gaza yang oleh banyak pengamat digambarkan sebagai bentuk genosida.
Serangan tersebut telah menewaskan dan melukai lebih dari 188.000 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan.
Lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi di tengah bencana kelaparan yang semakin parah.