Friday, June 6, 2025
HomeBeritaMereka sulit bicara, tapi dunia lebih bisu: Kisah derita disabilitas di Gaza

Mereka sulit bicara, tapi dunia lebih bisu: Kisah derita disabilitas di Gaza

Di dalam sebuah tenda pengungsian yang pengap di Kamp Shati, Jalur Gaza, Raneem Abu Al-Eish (30) merawat dua saudarinya, Aseel (51) dan Afaf (33).

Di tengah keramaian dan kebisingan tenda yang menampung ribuan jiwa terlantar, Aseel dan Afaf sesekali tertawa, lalu berubah cemas saat suara anak-anak bermain kian nyaring.

Keduanya mengidap penyakit celiac sekaligus disabilitas intelektual yang memengaruhi kemampuan bicara, pemahaman, dan perilaku mereka.

Dalam suasana perang dan pengungsian yang mencekam, kondisi tersebut memburuk secara drastis.

“Mereka sering kewalahan menghadapi lingkungan,” kata Raneem.

Ia tak tahu istilah medis yang tepat, namun gejala yang tampak mirip dengan sindrom Tourette.

“Kadang orang tertawa melihat mereka. Tapi itu sangat menyakitkan bagi mereka,” ujarnya.

Hidup di tenda, tanpa privasi, tanpa martabat

Tenda sempit itu dihuni 7 orang: Raneem, kedua saudarinya, orangtua mereka yang sudah lanjut usia, serta seorang saudari lainnya beserta suaminya.

Ibunda mereka dalam kondisi rapuh, sementara sang ayah masih memulihkan luka akibat serangan Israel. Beban perawatan kini sepenuhnya di pundak Raneem.

Sebelum rumah mereka di Blok 2, Kamp Jabalia, hancur delapan bulan lalu, keluarga ini hidup dalam keterbatasan namun relatif stabil.

Setelahnya, mereka berpindah-pindah: dari rumah kerabat, ke bangunan sekolah PBB yang sesak, hingga akhirnya tinggal di tenda yang panas terik saat siang dan menusuk dingin saat malam.

Privasi hampir mustahil.

“Kalau mereka perlu ganti pakaian, kami usahakan anggota keluarga lain keluar dulu. Tapi tidak selalu bisa,” ujar Raneem.

Namun kesulitan fisik bukan satu-satunya penderitaan Aseel dan Afaf. Mereka juga menjadi sasaran perundungan setiap hari.

“Orang menilai dari tampak luar. Mereka kira saudariku baik-baik saja. Padahal tidak. Mereka butuh perawatan, kesabaran, dan martabat,” kata Raneem.

Aseel sangat sensitif terhadap suara bising dan perubahan mendadak.

“Dia bisa menjerit, menangis, atau bereaksi keras,” ujar Raneem.

Afaf, di sisi lain, mengalami gerakan tak terkendali dan impulsif.

“Sedikit pertengkaran atau nada suara tinggi bisa memicunya,” katanya.

Kondisinya kerap dijadikan bahan ejekan, terutama oleh anak-anak.

“Setiap ke kamar mandi jadi tontonan. Orang tertawa, mengejek. Mereka terluka,” tutur Raneem lirih.

Hilangnya sang pelindung

Penderitaan keluarga itu kian dalam sejak enam bulan lalu, saat Mohammad, adik lelaki Raneem yang baru berusia 22 tahun, ditangkap tentara Israel.

Mohammad tengah menjalani operasi tangan di RS Kamal Adwan ketika tentara Israel menyerbu rumah sakit itu pada 25 Oktober. Sejak saat itu, tak ada kabar tentang dirinya.

“Dia yang biasa urus obat mereka, ke rumah sakit, dan urus bantuan. Sekarang, kami benar-benar sendirian. Dia pelindung mereka. Tanpanya, kami kehilangan segalanya,” ujar Raneem, suaranya tercekat.

Antara Maret dan Mei, serangan udara kembali menggusur lebih dari 436.000 warga Palestina, banyak di antaranya sudah pernah terusir beberapa kali sejak perang dimulai Oktober 2023.

Bagi keluarga seperti Raneem, yang sudah kehilangan rumah dan hidup di tenda, setiap gelombang kekerasan adalah awal baru yang getir: tanpa makanan, tanpa obat.

Bagi Aseel dan Afaf yang mengidap celiac, kelaparan disertai ancaman lain. Mereka tak boleh mengonsumsi gluten yang merusak usus halus mereka.

Namun di Gaza yang kelaparan, makanan utama adalah roti dari tepung terigu yang justru berbahaya bagi mereka. Sayur dan daging makin sulit diperoleh sejak Mohammad ditangkap.

Tanpa tepung bebas gluten, Aseel dan Afaf berisiko mengalami malnutrisi akut. Bantuan 80 ton tepung bebas gluten yang masuk ke Gaza hanya menjangkau sedikit orang.

Banyak terhambat di perbatasan, rusak dalam perjalanan, atau tak tersalurkan.

“Yang sampai ke kami sangat mahal, atau sudah terlambat,” kata Raneem.

Disabilitas yang makin terpinggirkan

Sebelum perang, Aseel dan Afaf rutin berobat ke RS Kamal Adwan. Mereka butuh terapi, makanan khusus, dan obat. Kini, semua itu tak lagi tersedia.

Menurut dr. Sara al-Wahidi, seorang spesialis psikologi di Gaza, perang semakin meminggirkan penyandang disabilitas.

“Kami temukan banyak penyandang disabilitas yang terpisah dari keluarga saat pengungsian, bahkan sebagian ditemukan dalam keadaan meninggal,” katanya.

Laporan tahun 2025 mencatat sekitar 15 persen dari populasi pengungsi di Gaza merupakan penyandang disabilitas.

Mereka tinggal di tenda, sekolah, atau rumah sakit darurat yang tak ramah disabilitas—tanpa jalan landai, toilet khusus, atau sarana akses lainnya.

Raneem tak lelah menjelaskan kondisi saudari-saudarinya kepada tetangga atau tokoh masyarakat agar mendapat empati. Tapi stigma tetap tebal.

“Orang suka memancing emosi mereka, mengejek. Kami hanya minta pengertian,” katanya.

Sesekali, ada tetangga yang mengundang Aseel dan Afaf ke tenda mereka untuk sekadar duduk bersama.

Namun itu hanya secuil ketenangan di tengah hari-hari panjang tanpa dukungan medis maupun sosial.

“Kami sudah berpindah berkali-kali, dari Jabalia ke arah barat, lalu ke Kota Gaza. Setiap tempat baru, kami harus mulai lagi, menjelaskan kondisi mereka, memohon kesabaran,” tutur Raneem.

Ia menambhakan bahwa hal tersebut bukan sekadar korban perang.

“Mereka adalah manusia yang paling rentan, yang terlupakan oleh dunia,” ucap Raneem pelan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular