Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Herzi Halevi, pada Rabu (14/8) mengumumkan, pihaknya siap menghadapi semua kemungkinan terkait Koridor Philadelphia di perbatasan Gaza-Mesir.
Hal itu dia nyatakan terkait dengan keputusan politik yang akan diambil dalam negosiasi genjatan senjata untuk menghentikan agresi di Jalur Gaza.
Halevi menyampaikan hal itu saat berkunjung ke satu pos di kawasan Koridor Philadelphi, menjelang negosiasi para pihak yang dijadwalkan berlangsung hari ini di Doha, Qatar.
Negosiasi ini bertujuan mencapai kesepakatan gencatan senjata yang juga mencakup pertukaran tawanan antara Israel dan Hamas.
“Memegang kendali di rute Philadelphia sangat penting karena berkaitan dengan upaya penguatan kekuatan Hamas,” klaim Halevi.
Ia menegaskan bahwa militer siap untuk mempertahankan kehadiran yang kuat di koridor tersebut jika pimpinan politik memutuskan demikian. Namun, militer juga siap untuk memantau dan melakukan serangan di wilayah tersebut jika pendekatan lain diambil.
“Jika pimpinan politik memutuskan bahwa kami akan tetap berada di Philadelphia, kami akan tahu bagaimana cara bertahan di sana dan tetap kuat,” katanya.
Ia menambahkan, jika pimpinan memutuskan wilayah tersebut perlu dipantau dan dilakukan serangan setiap kali ada indikasi, “kami juga tahu bagaimana melakukannya.”
Baca juga: Lebih dari 10.000 tentara Israel dirawat sejak 7 Oktober
Baca juga: EKSKLUSIF | Takziyah ke rumah Ismail Haniyah di Doha
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersikeras agar pasukan Israel tetap berada di sepanjang Koridor Philadelphi sebagai bagian dari setiap kesepakatan gencatan senjata, dengan alasan kekhawatiran mengenai penyelundupan senjata.
Namun, Mesir dengan tegas menolak posisi ini dan menolak setiap klaim Israel di wilayah tersebut.
Hamas juga menuntut Israel sepenuhnya mundur dari Gaza, termasuk dari perbatasan Rafah dan Koridor Philadelphi, sebagai syarat kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan.
Menurut media Israel, diskusi mengenai Koridor Philadelphi telah dilakukan secara rahasia dengan para mediator dari Qatar, Mesir, dan AS, dengan Israel mengusulkan pemantauan teknologi dan patroli drone di sepanjang perbatasan jika pasukan militer akhirnya ditarik.
Hamas akan berpartisipasi dalam pembicaraan gencatan senjata Gaza dan pertukaran tawanan yang akan datang jika Israel membuat komitmen yang jelas untuk melaksanakan proposal yang didukung oleh Presiden AS Joe Biden, kata seorang pemimpin Hamas pada Rabu.
Pada Mei lalu, Biden menyatakan bahwa Israel telah mengajukan kesepakatan tiga tahap yang akan mengakhiri permusuhan di Gaza dan mengamankan pembebasan tawanan yang ditahan di wilayah pesisir tersebut. Rencana tersebut mencakup gencatan senjata, pertukaran tawanan, dan rekonstruksi Gaza.
“Kami tidak akan menjadi bagian dari negosiasi yang akan datang, apakah itu berlangsung di Doha atau Kairo,” kata anggota Hamas, Suhail Hindi, kepada Anadolu.
Ia menambahkan bahwa kelompok perlawanan tersebut meminta “komitmen yang jelas dari Israel mengenai apa yang telah disepakati pada 2 Juli (berdasarkan proposal yang didukung Biden).”
“Jika hal ini terjadi, Hamas siap terlibat dalam mekanisme pelaksanaan kesepakatan,” tambahnya.
Baca juga: PENTING! Setiap bulan, lebih dari 1000 tentara Israel masuk pusat rehabilitasi
Baca juga: Poin baru negosiasi, 12 tahanan Palestina untuk setiap sandera Israel
Pada Minggu lalu, Hamas menuntut agar para mediator gencatan senjata Gaza menyajikan rencana untuk melaksanakan proposal yang didukung oleh Biden yang telah disepakati pada 2 Juli.
Tuntutan ini muncul setelah para mediator dari Mesir, Qatar, dan AS mendesak Israel dan Hamas pekan lalu untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan tawanan tanpa penundaan lebih lanjut atau alasan.
Sementara itu, pada Rabu, Perdana Menteri Israel Netanyahu mengumumkan bahwa tim negosiasinya akan pergi ke Qatar untuk putaran pembicaraan yang dijadwalkan berlangsung pada Kamis.
Pembicaraan tidak langsung yang dimediasi oleh AS, Qatar, dan Mesir telah gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata permanen dan pertukaran tawanan karena penolakan Netanyahu untuk menerima tuntutan Hamas agar mengakhiri perang di Gaza.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.
Sejak itu, hampir 40.000 warga Palestina telah tewas di Gaza, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 92.000 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari 10 bulan sejak perang Israel dimulai, sebagian besar wilayah Gaza hancur lebur di tengah blokade yang melumpuhkan pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Mahkamah Internasional telah menuduh Israel melakukan genosida dan memerintahkan penghentian operasi militernya di kota Rafah di bagian selatan, di mana lebih dari satu juta warga Palestina telah mencari perlindungan sebelum kota tersebut diinvasi pada 6 Mei.