Sunday, May 4, 2025
HomeBeritaMohsen Mehdawi: Saya dipenjara karena berpendapat, siapa berikutnya?

Mohsen Mehdawi: Saya dipenjara karena berpendapat, siapa berikutnya?

Dalam sebuah tulisan yang menggugah hati, mahasiswa hukum Palestina di Universitas Columbia, Mohsen Mehdawi, mengungkapkan pengalamannya ditahan.

Ia ditahan selama lebih dari 2 pekan dalam sebuah peristiwa yang seharusnya menjadi wawancara untuk memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat (AS).

Ia menyebut kejadian itu sebagai bentuk penahanan sewenang-wenang dan mengaku lega ketika akhirnya seorang hakim federal memutuskan untuk membebaskannya.

“Saya merasa ini kemenangan besar bagi demokrasi,” tulis Mehdawi dalam opininya yang dimuat di harian The New York Times.

Ia adalah mahasiswa aktivis pertama yang dibebaskan dari sekian banyak mahasiswa yang ditahan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump karena bersuara menentang perang dan penjajahan di Palestina.

Mehdawi mengaku dijebak oleh Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (Department of Homeland Security).

Ia diundang untuk mengikuti wawancara kewarganegaraan dan diberi harapan untuk menjadi warga negara.

Namun, setelah ia menandatangani dokumen kesediaan mengucap sumpah setia, sekelompok agen bertopeng menangkapnya.

“Penjebakan ini tidak sepenuhnya mengejutkan,” tulisnya.

Hal itu, menurutnya, karena ia menyaksikan gelombang penahanan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang berani menyuarakan penolakan terhadap genosida dan kehancuran yang terus berlangsung di Gaza.

Menurut Mehdawi, ia telah bersiap menghadapi risiko ini. Ia menghubungi pengacara, senator, anggota parlemen dari negara bagian Vermont, serta media dan komunitas sipil.

Berkat respons cepat itu, rencana aparat untuk membawanya ke pusat tahanan di Louisiana gagal, dan ia masih sempat memperjuangkan keadilannya dalam keadaan bebas.

Meski harus menjalani 16 malam dalam sel penjara, Mehdawe mengaku tidak pernah kehilangan harapan pada keadilan dan prinsip-prinsip demokrasi.

“Saya ingin menjadi warga negara Amerika karena saya percaya pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi negara ini,” ungkapnya.

Ia merasa keyakinannya terbayar ketika Hakim Jeffrey W. Crawford memenangkan gugatannya.

“Putusan itu bukan hanya menyemangati saya, tetapi juga seluruh rakyat Amerika bahwa harapan masih ada, meski jalan menuju keadilan panjang dan berliku.”

Namun, pemerintah AS tetap menuduhnya sebagai pengganggu kebijakan luar negeri dan berusaha mencemarkan namanya.

Mehdawi membantah tudingan itu dan menyatakan bahwa satu-satunya kesalahannya adalah menolak pembantaian rakyat Palestina dan menyerukan perdamaian.

Ia menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk menciptakan konflik, tetapi untuk mendorong penghormatan pada hukum internasional.

“Saya percaya bahwa jalan menuju perdamaian yang adil dan langgeng bagi Palestina dan Israel adalah melalui diplomasi dan keadilan transformatif,” tulisnya.

Sayangnya, kata Mehdawi, pemerintahan Trump mencoba mengusirnya dan sekaligus mengirimkan pesan bahwa kritik terhadap Israel takkan ditoleransi. Bahkan jika itu berarti mengorbankan hak-hak konstitusional warga AS.

Mehdawi mengenang masa kecilnya yang penuh luka. Ia lahir sebagai pengungsi generasi ketiga di kamp Al-Fara’a di Tepi Barat, di bawah sistem apartheid Israel.

“Saya menguburkan saudara laki-laki saya yang meninggal karena tidak mendapat akses medis akibat blokade Israel, saat saya baru berusia delapan tahun,” katanya.

Pada usia sebelas tahun, alih-alih merayakan ulang tahun, ia justru menghadiri pemakaman pamannya yang tewas ditembak tentara Israel. Bahkan sahabat masa kecilnya pun tewas di depan matanya oleh peluru serdadu Israel.

Saat ditahan oleh aparat keamanan dalam negeri AS, Mehdawe menggambarkan momen itu dengan getir. Seorang petugas meminta maaf sebelum memborgol tangan dan kakinya.

“Saya bercanda sambil berjalan dengan langkah pendek: beginilah saya bermeditasi sambil berjalan. Saya mencoba mengalihkan pikiran dari para tahanan Palestina di penjara Israel yang mengalami nasib serupa, bahkan lebih buruk,” ujarnya.

Bagi Mehdawi, sebelum ia pindah ke Amerika pada 2014, kebebasan hanyalah konsep abstrak.

“Di bawah pendudukan militer Israel, saya hanya bisa menyanyikan lagu tentang kebebasan, menulis puisi tentangnya, tanpa pernah benar-benar merasakannya,” terangnya.

Kebebasan fisik, seperti bepergian tanpa melewati pos militer, atau menyatakan pendapat tanpa rasa takut, baru benar-benar ia alami di Amerika.

Itulah yang mendorongnya ingin menjadi warga negara AS, bukan semata karena status hukum, tetapi karena ia percaya pada nilai-nilai demokrasi.

Namun, menurutnya, nilai-nilai itu kini tengah diserang.

“Pemerintahan Trump mengadopsi taktik ala Israel dengan dalih keamanan, menghapus hak-hak warga dan menyingkirkan proses hukum yang semestinya dijalankan,” tuturnya.

Jika membungkam oposisi atas nama keamanan menjadi agenda utama pemerintah, ia memperingatkan, maka otoritarianisme dan bahkan pemerintahan darurat bukanlah ancaman yang jauh.

Mehdawi menutup tulisannya dengan seruan penting.

“Perjuangan saya adalah bagian dari perjuangan rakyat Amerika dan Palestina untuk keadilan. Kini rakyat Amerika harus memutuskan: apakah mereka akan mendukung perang atau perdamaian? Otoritarianisme atau demokrasi?” katanya.

Ia mengajak masyarakat untuk merenung.

“Jika kita bahkan tak bisa menyuarakan penolakan terhadap pembunuhan anak-anak dan apa yang disebut para pakar HAM sebagai genosida di Gaza, lalu apa lagi yang bisa kita lawan?” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular