Friday, May 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Israel di ambang ledakan: Rudal di langit, ekonomi di jurang

OPINI – Israel di ambang ledakan: Rudal di langit, ekonomi di jurang

Oleh: Helmy Moussa*

Selama lebih dari 7 dekade sejak kemerdekaannya, Israel terus-menerus terlibat dalam perang dan konflik. Baik dengan lingkungan Arab di sekitarnya, maupun di dalam wilayah Palestina, serta di luar batas geografisnya.

Yang membedakan konflik-konflik dalam 5 dekade pertama eksistensi Israel adalah fakta bahwa sebagian besar terjadi di luar batas wilayah Palestina.

Dengan dampak ekonomi dan manusia yang relatif terbatas dan sebagian bahkan bisa ditutupi melalui keuntungan dari medan perang.

Kecuali Perang 1948, perang-perang tersebut berlangsung dalam waktu singkat dan tidak meninggalkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang seperti yang terlihat dalam konflik-konflik belakangan ini.

Selepas Perang 1973, yang menjadi titik balik, Israel mulai menandatangani perjanjian damai.

Pertama dengan Mesir, lalu dengan Yordania, dan terakhir melalui Kesepakatan Abraham.

Meskipun konflik yang terjadi kemudian berskala lebih kecil dan terbatas, dampaknya justru semakin dalam dan mematikan, terutama karena wilayah domestik Israel kini menjadi bagian dari medan perang.

Tak lagi terbatas di garis depan perbatasan, peperangan kini menyasar jantung kehidupan sipil.

Konflik berkepanjangan sejak Perang Lebanon pertama, Intifadah pertama, Perang Lebanon kedua, hingga rangkaian perang dengan Gaza, dan terakhir serangan besar “Thaufan Al-Aqsha”, telah menyeret jantung wilayah Israel ke dalam pusaran konflik.

Situasi ini mengubah wajah Israel yang semula membangun dirinya sebagai ekonomi modern bergaya Barat menjadi negara yang harus kembali menanggung beban sosial-ekonomi akibat perang.

Biaya yang mencekik

Konsekuensi paling nyata dari beralihnya konflik ke wilayah domestik Israel adalah lonjakan biaya harian yang jauh lebih tinggi dibandingkan perang konvensional di garis perbatasan.

Sejumlah ekonom dan analis Israel memperkirakan bahwa kerugian ekonomi yang diderita Israel setiap harinya dalam kondisi perang seperti saat ini mencapai sedikitnya setengah miliar shekel.

Angka tersebut bahkan bisa berlipat 4 kali dari biaya militer langsung yang diumumkan secara resmi.

Kerugian ini tidak hanya mencakup sektor pertahanan, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi. Pabrik tutup, tenaga kerja tidak bisa beroperasi, dan stabilitas sosial terganggu.

Menurut laporan harian ekonomi Israel, Calcalist, pos pengeluaran terbesar dalam konflik terbaru ini hingga gencatan senjata pada Januari lalu adalah pembayaran untuk para personel dan pasukan cadangan, yang secara kolektif telah bertugas selama sekitar 49 juta hari.

Namun, dampak ekonomi tidak berhenti di situ. Untuk mengembalikan rasa aman di tengah masyarakat, Israel harus terus menjaga kehadiran militer dalam jumlah besar di sepanjang garis perbatasan.

Tanpa solusi terhadap masalah rekrutmen militer, maka beban ini akan terus ditanggung oleh pasukan cadangan.

Sejak meletusnya konflik pada 7 Oktober tahun lalu, sekitar 840 tentara Israel dilaporkan tewas dan sekitar 14.000 lainnya terluka. Jumlah itu setara dengan sekitar 1.000 korban luka baru setiap bulan.

Pada awal perang, sekitar 220.000 personel cadangan dikerahkan dalam 3 hingga 4 gelombang rotasi tugas.

Dengan akumulasi waktu dinas mencapai 49 juta hari, jauh melampaui rerata tahunan sebelum perang yang hanya sekitar 2,5 juta hari. Jumlah ini menciptakan dampak ekonomi yang sangat besar dan bersifat jangka panjang.

Dalam laporan terbarunya, Calcalist mengutip estimasi internal dari lembaga keamanan Israel bahwa total biaya perang selama setahun terakhir mencapai sekitar 150 miliar shekel.

Dari jumlah itu, sekitar 44 miliar shekel dialokasikan untuk membayar gaji pasukan cadangan dan kebutuhan personel. Angka ini bahkan melampaui biaya pengadaan senjata dan operasional sistem tempur.

Setiap prajurit cadangan mendapat kompensasi minimum sekitar 15.000 shekel per bulan, mencakup tunjangan dan insentif tambahan.

Meskipun jumlah pasukan cadangan saat ini telah berkurang signifikan dibandingkan awal perang, jumlah mereka masih berkisar seperempat dari puncaknya.

Angka ini diperkirakan akan tetap stabil selama tidak terjadi eskalasi baru, baik di utara maupun selatan.

Sebagai perbandingan, sebelum perang, rata-rata jumlah pasukan cadangan aktif hanya sekitar 7.000 orang.

Di luar biaya personel, senjata termahal yang digunakan dalam perang ini adalah rudal Arrow 3 (Hets 3) buatan Industri Dirgantara Israel.

Rudal ini diperkirakan bernilai antara 2 hingga 3 juta dolar AS per unit. Dalam perang kali ini, senjata tersebut digunakan secara ekstensif untuk mencegat rudal balistik yang ditembakkan Iran ke arah Israel pada bulan April dan Oktober, serta untuk menghadang serangan rudal dari kelompok Houthi di Yaman.

Biaya membengkak, anggaran terancam

Seiring dengan keluarnya perintah dari Kepala Staf Umum IDF, Herzi Halevi, untuk memobilisasi puluhan ribu pasukan tambahan guna memperluas operasi militer di Gaza, perdebatan kini tidak lagi terbatas pada aspek politik dan sosial.

Sorotan tajam kini juga mengarah pada beban ekonomi yang terus meningkat tajam.

Menurut perhitungan awal surat kabar ekonomi Israel, The Marker, biaya memperluas operasi di Gaza selama 3 bulan saja diperkirakan mencapai 25 miliar shekel atau hampir 7 miliar dolar AS.

Angka ini mencakup pembiayaan langsung operasi militer—lebih dari 2 miliar dolar per bulan—hanya untuk kebutuhan pasukan cadangan dan konsumsi amunisi.

Secara ekonomi, hal ini berarti bahwa pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terpaksa membuka kembali dan merevisi anggaran yang sebelumnya telah disahkan dengan perjuangan politik yang sulit beberapa pekan lalu.

Revisi tersebut mencakup peningkatan belanja negara, yang hampir pasti akan diiringi oleh kebijakan penambahan pajak dan beban fiskal baru bagi warga Israel, yang pada dasarnya telah menanggung tekanan ekonomi yang berat sejak perang meletus.

Lebih jauh, The Marker memperingatkan bahwa setiap skenario pendudukan kembali Jalur Gaza dan pengelolaan langsung terhadap kehidupan sipil di sana akan menambah beban fiskal baru yang sangat besar.

Angka yang diperkirakan bahkan bisa mencapai puluhan miliar shekel, belum termasuk ongkos sosial-politik jangka panjang.

Untuk memahami skala krisis anggaran ini, perlu dijelaskan bahwa anggaran Kementerian Pertahanan Israel untuk tahun 2025 telah ditetapkan berdasarkan tingkat pengeluaran tahun 2024, yang mencapai 152 miliar shekel (sekitar 40 miliar dolar AS).

Sedangkan total anggaran militer yang telah disahkan untuk tahun berjalan ini sebesar 138 miliar shekel atau sekitar 35 miliar dolar.

Namun, jika ekspansi militer benar-benar terjadi, maka pengeluaran militer Israel diproyeksikan menembus angka 160 miliar shekel—lebih dari 2 miliar dolar di atas total pengeluaran tahun sebelumnya.

Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich sempat menyatakan kepada media, usai pengesahan anggaran, bahwa anggaran ini akan memberikan semua sumber daya yang dibutuhkan bagi militer dan institusi keamanan Israel untuk mengalahkan musuh.

Namun, katanya, sambil tetap memperhatikan kesejahteraan pasukan cadangan, pemilik usaha kecil, rekonstruksi wilayah utara dan selatan, serta pertumbuhan ekonomi Israel.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Perdana Menteri Netanyahu dalam sebuah video bersama Smotrich.

Ia menegaskan bahwa anggaran baru ini akan memungkinkan Israel menyempurnakan kemenangan besar yang kini berada dalam jangkauan kita.

Namun, realitas fiskal kini menunjukkan gambaran berbeda. Menurut The Marker, keputusan pemerintah untuk mengesahkan anggaran di satu sisi, sambil mendorong ekspansi perang di sisi lain, sama saja dengan mengosongkan makna dari disiplin anggaran itu sendiri.

Terdapat 2 kemungkinan penyebab, pemerintah sedari awal telah menyadari bahwa anggaran tersebut tidak relevan, namun tetap mengajukannya dengan itikad buruk untuk disetujui oleh Knesset; atau, kemungkinan lainnya, pemerintah telah mengabaikan skenario-skenario alternatif dan gagal melakukan perencanaan yang memadai.

Selain tekanan fiskal langsung, The Marker mencatat bahwa dampak ekonomi dari ekspansi perang dan kemungkinan pendudukan jangka panjang di Gaza akan semakin berat.

Mobilisasi besar-besaran pasukan cadangan telah mengganggu pasar tenaga kerja, mengurangi pasokan tenaga kerja dalam ekonomi, dan memperlambat aktivitas ekonomi secara umum.

Tak hanya itu, kelanjutan konflik tanpa batas waktu juga meningkatkan risiko investasi di Israel, melemahkan nilai tukar shekel, serta mendorong inflasi.

Lonjakan pengeluaran pertahanan pada akhirnya juga mengurangi kapasitas belanja negara untuk sektor-sektor sipil seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

Situasi ini menempatkan Israel di hadapan dilema strategis: melanjutkan ekspansi militer dengan konsekuensi ekonomi yang kian membebani, atau meninjau kembali pendekatan keamanan yang semakin menyeret negara ke dalam pusaran krisis multidimensi.

Cadangan militer, beban ekonomi yang melelahkan

Kekhawatiran mengenai dampak ekonomi dari mobilisasi besar-besaran pasukan cadangan kembali mengemuka.

Dalam wawancara radio bersama saluran 103FM, mantan penasihat ekonomi Kepala Staf Umum IDF, Brigadir Jenderal (Cadangan) Meiran Brozenfer, mengungkap betapa mahalnya keputusan memanggil puluhan ribu tentara cadangan dalam beberapa hari terakhir.

“Bagi para pekerja mandiri, ini bisa menjadi bencana ekonomi,” ujarnya lugas.

Brozenfer menegaskan bahwa pasukan cadangan sejatinya merupakan tulang punggung dari militer Israel.

“Benar bahwa kita memiliki tentara reguler, namun pada akhirnya kekuatan utama kita adalah pasukan cadangan,” katanya.

Ia menambahkan bahwa perang kali ini sangat berbeda dari konflik sebelumnya karena durasinya yang panjang dan beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh pasukan cadangan.

Lebih jauh, ia menunjukkan bahwa intensitas pertempuran saat ini pada dasarnya terkonsentrasi pada kelompok penduduk yang relatif kecil, yang bukan hanya menjadi andalan cadangan, tetapi juga menjadi garda depan dalam pertempuran.

Hal ini, menurutnya, menciptakan tekanan luar biasa baik secara militer maupun ekonomi.

Brozenfer kemudian memaparkan hitungan rinci mengenai beban ekonomi dari mobilisasi tersebut.

“Jika biaya langsung harian seorang tentara cadangan adalah 1.000 shekel, maka memanggil 60.000 orang berarti menelan biaya 60 juta shekel hanya dalam satu hari. Dan itu baru biaya langsung untuk gaji,” katanya.

Faktanya, kata Brozenfer, ada pula biaya tak langsung yang jauh lebih besar, mulai dari konsumsi amunisi, pelatihan, hingga logistik pendukung yang menyertainya.

“Dan yang lebih parah adalah kehilangan produktivitas. Ini sangat serius,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam konteks ekonomi yang berjalan dengan kapasitas penuh seperti saat ini, pengurangan tenaga kerja karena dipanggil untuk bertugas sangat merugikan produktivitas nasional.

“Semakin lama hal ini berlangsung, semakin besar kerugiannya.”

Dengan angka kasar, jika biaya langsung per hari untuk gaji adalah 60 juta shekel, maka total biaya langsung keseluruhan bisa mencapai 100 juta shekel.

Bila berlangsung sebulan penuh, angka itu bisa melonjak hingga 300 hingga 400 juta shekel.

“Semuanya bisa terjadi begitu saja,” katanya.

Salah satu kelompok yang paling terpukul adalah para pemilik usaha kecil.

“Bagi wiraswasta, ini bisa menjadi kehancuran,” tegas Brozenfer.

Jika seseorang harus meninggalkan usahanya selama dua atau tiga bulan, maka dampaknya tidak hanya kehilangan pendapatan selama periode itu, tetapi juga potensi kehilangan usaha secara permanen.

“Anda bisa masuk ke dalam lingkaran krisis yang tak mudah keluar,” katanya.

Ia juga mengkritik kebiasaan pemerintah yang sering kali mengambil keputusan besar tanpa perencanaan matang.

“Sering kali kita terlibat dalam suatu operasi tanpa menyiapkannya dengan benar,” imbuhnya.

Kini, kata dia, Israel berada dalam masa kritis. Hampir dua tahun telah berlalu sejak konflik meletus, dan saatnya untuk mengakhirinya.

“Saya tidak berbicara tentang bagaimana kita harus mengakhirinya, tapi kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus menjalani kampanye panjang lainnya. Biayanya terlalu besar,” ujarnya tegas.

Ia juga menyinggung aspek psikologis yang luput dari banyak perbincangan: trauma yang diderita para tentara yang gugur atau terluka.

“Kita belum bicara tentang kerugian mental yang besar. Dampaknya sangat mengerikan,” kata Brozenfer.

Menurutnya, Israel perlu bersikap tegas, memiliki arah yang jelas, dan menyudahi konflik ini secepat mungkin.

Peringatan serupa juga disuarakan oleh Bank Sentral Israel yang merilis proyeksi ekonomi suram untuk dua tahun ke depan.

Dalam laporan terbaru, bank tersebut memprediksi perlambatan tajam dalam produk domestik bruto serta penurunan tingkat pertumbuhan.

Namun yang tak kalah mengkhawatirkan adalah hilangnya investasi asing secara signifikan akibat ketidakstabilan keamanan.

Surat kabar ekonomi Globes bahkan menyebut bahwa dampak ekonomi dari perang ini bisa menyeret Israel pada “kerugian satu dekade”.

Jika konflik berkepanjangan ini tak segera disudahi, maka konsekuensinya bukan hanya stagnasi ekonomi, tetapi juga kemunduran struktural yang berkepanjangan dalam perekonomian nasional Israel.

*Helmy Moussa adalah jurnalis yang mengkhususkan diri dalam urusan Israel. Tulisan ini diambil dari Aljazeera.net dengan judul “Isrāīl Taqtarib Min Infijār, Showārīkh Min al-Samāa wa Iqtishād Yunhār”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular