Thursday, May 8, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Apa yang diinginkan Macron dari Ahmad Al-Sharaa?

OPINI – Apa yang diinginkan Macron dari Ahmad Al-Sharaa?

Oleh: Omar Kush

Kunjungan Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa ke Paris bukan sekadar peristiwa diplomatik biasa.

Selain menjadi lawatan pertamanya ke ibu kota Eropa sejak dilantik, kunjungan ini menjadi penanda penting terbukanya kembali pintu Eropa bagi Suriah yang sedang mengalami perubahan politik besar.

Terlebih, Prancis adalah kekuatan utama dalam lingkup Uni Eropa dan menjadi negara pertama yang mengirimkan menteri luar negerinya, Jean-Noël Barrot, bersama Menlu Jerman Annalena Baerbock, ke Damaskus.

Kunjungan ini juga diikuti oleh keputusan Paris untuk membuka kembali kedutaannya di Damaskus.

Kedutaan itu telah ditutup sejak Maret 2012 sebagai bentuk protes terhadap represi berdarah yang dilakukan rezim Bashar al-Assad terhadap demonstran damai pada awal Maret 2011.

Tak hanya itu, Prancis juga menunjuk Jean-Baptiste Fèvre sebagai kuasa usaha di Kedutaan Besar Prancis di Suriah.

Yang lebih mencolok adalah cepatnya Presiden Emmanuel Macron menyampaikan ucapan selamat kepada Ahmad Al-Sharaa atas pelantikannya sebagai presiden Suriah.

Ia bahkan langsung mengundangnya berkunjung ke Prancis, meski undangan itu dibarengi sejumlah syarat politik.

Pembentukan pemerintahan inklusif yang mewakili seluruh spektrum masyarakat sipil Suriah, serta jaminan keamanan yang memadai untuk memungkinkan kembalinya jutaan pengungsi ke kota dan desa asal mereka.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa sebenarnya yang diinginkan Presiden Macron dari mitranya di Suriah?

Pertama-tama, kehadiran Al-Sharaa di Paris menegaskan keseriusan Prancis dalam merespons dinamika baru di Suriah.

Ini adalah buah dari upaya otoritas baru di Damaskus untuk membangun kembali relasi internasional mereka, sekaligus memecah isolasi politik yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Tujuannya jelas, membuka akses ke Eropa guna mendorong pencabutan, atau setidaknya pelonggaran, sanksi internasional serta menggalang dukungan untuk proses pemulihan awal, rekonstruksi, dan bantuan ekonomi serta teknis yang sangat dibutuhkan.

Lawatan ini juga mencerminkan keberhasilan pemimpin baru Suriah dalam meraih pengakuan dan dukungan internasional yang semakin luas, menyusul dukungan yang tak bersyarat dari negara-negara Arab Teluk.

Semua ini memberi legitimasi eksternal yang dibutuhkan. Kunjungan ke Paris juga menjadi kesempatan bagi Al-Sharaa untuk menyampaikan visi masa depan Suriah.

Ia menjelaskan langkah-langkah menuju transisi politik, dan menggalang solidaritas internasional dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan, ekonomi, dan sosial.

Termasuk, upaya untuk menghentikan agresi dan pelanggaran Israel yang terus mengancam stabilitas kawasan.

Secara lebih luas, Prancis—yang selama beberapa tahun terakhir perannya di Timur Tengah kian memudar—melihat peluang untuk kembali mengambil posisi strategis melalui pintu Suriah dan Lebanon.

Dengan sejarah keterlibatan panjang di kawasan ini, Paris tampak berusaha memulihkan pengaruhnya.

Inilah sebabnya Prancis cepat-cepat menyelenggarakan Konferensi Internasional untuk Suriah pada 13 Februari lalu, yang juga dihadiri Menteri Luar Negeri Suriah As’ad Al-Shibani.

Prancis kini aktif mendorong pelonggaran sanksi terhadap Damaskus, sembari memosisikan diri sebagai sponsor transisi Suriah di tingkat Eropa dan internasional.

Prancis juga merasa memiliki dasar moral untuk kembali ke panggung Suriah. Sejak pecahnya revolusi pada 2011, Paris mendukung aspirasi rakyat Suriah dan mengambil posisi tegas menentang rezim Assad.

Ia turut bergabung dalam koalisi internasional melawan terorisme dan menyambut positif perubahan di Damaskus.

Dukungan ini juga disertai niat untuk menjauhkan Rusia dan Iran dari panggung Suriah, serta mencegah kekacauan dalam proses transisi politik.

Selain itu, organisasi-organisasi HAM asal Prancis dan Suriah telah memanfaatkan prinsip yurisdiksi universal dan asas hukum pidana Prancis untuk mengajukan tuntutan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dari rezim Assad.

Hukum Prancis memang memungkinkan pengadilan atas kejahatan semacam itu, selama terdapat kaitan dengan Prancis—misalnya, korban yang berkewarganegaraan Prancis.

Dengan demikian, pertanyaan tentang apa yang diinginkan Macron dari Al-Sharaa bisa dijawab dengan satu kata: peran.

Prancis ingin kembali memainkan peran kunci di Suriah—sebagai penengah, penyokong, sekaligus penjaga stabilitas dalam fase baru negeri yang sedang bangkit dari reruntuhan sejarahnya.

Pada Oktober 2018, pengadilan Prancis menerbitkan surat perintah penangkapan internasional terhadap 3 tokoh penting intelijen Suriah di era rezim Assad: Ali Mamlouk (Kepala Intelijen Umum), Jamil Hassan (Kepala Intelijen Angkatan Udara saat itu), dan Abdul Salam Mahmoud (pejabat di divisi investigasi Bandara Militer Mezzeh).

Langkah ini menjadi sinyal awal komitmen Paris terhadap keadilan transnasional.

Tak berhenti di situ, pada 20 Januari lalu, pengadilan Prancis mengeluarkan surat perintah penangkapan kedua terhadap Bashar al-Assad sendiri.

Sebelumnya, pada Desember 2023, surat penangkapan pertama telah dikeluarkan atas dugaan keterlibatannya dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Langkah hukum ini mencerminkan konsistensi pendekatan yudisial Prancis dalam mendukung akuntabilitas atas kekejaman masa lalu di Suriah.

Dalam konteks itu, kunjungan Ahmad Al-Sharaa ke Paris juga menjadi panggung bagi Presiden Emmanuel Macron untuk menegaskan kembali komitmen Prancis terhadap pembentukan negara Suriah baru.

“Suriah baru yang bebas, stabil, dan berdaulat penuh, yang menghormati keberagaman masyarakatnya tanpa diskriminasi,” katanya.

Namun, Macron memfokuskan seruannya pada perlunya memperluas partisipasi kelompok minoritas dalam struktur kekuasaan negara.

Ia juga menekankan penghentian berbagai pelanggaran yang baru-baru ini terjadi di wilayah pesisir Suriah.

Tak kalah penting adalah kekhawatiran Macron terhadap keberadaan pejuang asing di tubuh militer Suriah yang baru.

Ia menuntut pemutusan keterlibatan mereka dan menyuarakan keharusan Suriah untuk ikut dalam koalisi internasional melawan kelompok Negara Islam (ISIS).

Macron juga mendorong integrasi pasukan sekutu—termasuk Pasukan Demokratik Suriah (SDF)—ke dalam proses transisi politik.

Di sisi lain, ia menegaskan pentingnya menjaga Suriah dari pengaruh dominan dua kekuatan eksternal: Rusia dan Iran.

Kekhawatiran Prancis ialah jika Suriah kembali menjadi pangkalan milisi pro-Iran yang bisa mengganggu stabilitas regional, termasuk mengalirkan senjata ke Hizbullah Lebanon—yang menurut Paris, berpotensi mengancam keamanan dalam negeri Lebanon dan juga Israel.

Namun, kepentingan Prancis tidak berhenti pada urusan dalam negeri Suriah atau proses politiknya saja. Sejumlah agenda strategis regional dan internasional menjadi titik perhatian utama Paris:

  1. Stabilitas kawasan, terutama situasi di Lebanon yang bertetangga langsung, termasuk penetapan batas wilayah darat dan laut antara Suriah dan Lebanon, serta masa depan pengungsi Suriah di negara tersebut.
  2. Pemberantasan terorisme dan pencegahan kebangkitan kembali ISIS, yang dipandang sebagai ancaman global. Tak ketinggalan, Prancis juga menyoal nasib warga negara Prancis dan keluarga mereka yang ditahan karena keterlibatan dengan ISIS, yang kini berada di bawah pengawasan SDF.
  3. Masa depan kelompok Kurdi, khususnya entitas yang selama ini mendapat dukungan Paris. Macron disebut-sebut ingin mengevaluasi hasil kesepakatan penting yang ditandatangani 10 Maret lalu antara Presiden Al-Shar’ dan Panglima SDF Mazloum Abdi, mengenai integrasi SDF ke dalam struktur negara baru Suriah.
  4. Pemulangan pengungsi Suriah yang tersebar di berbagai negara Eropa—isu yang menjadi beban sosial dan politik bagi banyak negara Eropa.

Tak mengejutkan bila akhirnya muncul kesimpulan bahwa yang paling menentukan dalam kebijakan luar negeri suatu negara adalah kepentingannya sendiri.

Dalam hal ini, Prancis jelas melihat peluang ekonomi dalam proses rekonstruksi Suriah pascaperang.

Salah satu sinyal awalnya terlihat dari penandatanganan kontrak selama 30 tahun antara Badan Umum Pelabuhan Darat dan Laut Suriah dengan perusahaan pelayaran raksasa asal Prancis, CMA CGM.

Nilai kontraknya mencapai 230 juta euro, termasuk investasi awal sebesar 30 juta euro pada tahun pertama, dan 200 juta euro dalam empat tahun berikutnya.

Proyek ini mencakup pembangunan dermaga sepanjang 1,5 kilometer dengan kedalaman 17 meter di Pelabuhan Latakia.

Penandatanganan kontrak sebesar ini mencerminkan keyakinan Prancis terhadap stabilitas yang tengah dibangun di Suriah.

Namun, investasi Prancis di berbagai sektor ekonomi tidak akan maksimal tanpa pencabutan sanksi internasional—terutama sanksi Amerika Serikat yang menjadi penghalang utama pemulihan ekonomi Suriah.

Selain merintangi pembangunan, sanksi-sanksi itu juga menjadi kendala besar bagi lebih dari 12 juta pengungsi yang berharap dapat kembali ke tanah air mereka, namun mendapati Suriah masih belum memiliki kemampuan untuk menyediakan layanan dasar.

Dengan lebih dari 90 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, tantangan sosial dan ekonomi Suriah tetap berat.

Karenanya, posisi Prancis tampak tidak hanya berlandaskan kepentingan ekonomi dan geopolitik, tapi juga kalkulasi strategis dalam menciptakan stabilitas regional yang berkelanjutan.

Suriah yang baru berperan sebagai negara yang damai, inklusif, dan berdaulat, bukan sebagai medan tempur pengaruh asing yang tiada henti.

*Omar Kush adalah jurnalis dan peneliti Suriah yang tinggal di Turki. Ia rutin menulis di sejumlah situs dan majalah Arab, serta telah menerbitkan sejumlah buku, penelitian, dan artikel. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mādzā Yurīdu Mākrūn Min Al-Syara’?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular