Wednesday, June 11, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Apakah aksi kapal Madleen membawa dampak nyata?

OPINI: Apakah aksi kapal Madleen membawa dampak nyata?

Oleh: Dr. Mahmoud Al Hanafi

Pada Senin dini hari (9 Juni 2025), pasukan komando Israel menyerbu kapal Madleen bagian dari armada kebebasan (Freedom Flotilla Coalition).

Kapal itu mengangkut 12 aktivis internasional dan sejumlah kecil bantuan kemanusiaan sebagai bentuk protes terhadap blokade laut atas Jalur Gaza.

Serangan dilakukan saat kapal tengah berlayar di perairan internasional, mendekati pantai Gaza.

Laporan yang diterima menyebutkan bahwa sebelum kapal diserbu, sistem komunikasinya mengalami gangguan, dan pesawat nirawak Israel menyemprotkan zat putih yang menyebabkan iritasi.

Para aktivis sempat merekam detik-detik terakhir sebelum kontak dengan kapal terputus—terlihat mereka mengenakan rompi pelampung, bersiap untuk ditangkap, dan menyerukan agar ponsel dibuang ke laut guna melindungi informasi sensitif.

Kementerian Luar Negeri Israel kemudian menyatakan bahwa kapal Madelene sedang dibawa ke wilayah Israel.

Pemerintah Israel menyebut misi kapal ini sebagai “aksi teatrikal media”, dan menyampaikan bahwa bantuan di kapal akan disalurkan ke Gaza melalui saluran resmi, sedangkan para penumpang akan dipulangkan ke negara asal masing-masing.

Namun, keberangkatan kapal ini terjadi di tengah kondisi Gaza yang mengalami pengepungan total—darat, laut, dan udara—sejak lebih dari tiga bulan terakhir, usai agresi militer besar-besaran yang memicu krisis kemanusiaan tak tertandingi.

Kekurangan bahan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya telah melumpuhkan kehidupan dua juta warga Gaza.

Makna di balik nama Madleen

Kapal Madleen diluncurkan pada musim semi 2025 sebagai respons atas memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza.

Nama Madleen diambil dari nama perempuan pertama yang menjadi nelayan di Gaza, sebuah simbol ketahanan dan keteguhan rakyat Palestina, khususnya kaum perempuan.

Aktivis-aktivis internasional terkemuka turut serta dalam misi ini, termasuk aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, dan aktor asal Irlandia, Liam Cunningham.

Mereka berharap kehadiran mereka dapat menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Gaza.

Meskipun hanya membawa bantuan dalam jumlah kecil, kapal ini memuat pesan kuat: menolak normalisasi pengepungan dan menegaskan hak sipil untuk menentang ketidakadilan melalui cara damai.

Aksi ini menyusul insiden serangan terhadap kapal Al-Dhamir—juga bagian dari armada kebebasan—yang diserang oleh 2 drone tak dikenal di Laut Tengah dekat Malta pada awal Mei 2025.

Serangan itu menghambat pelayaran kapal, dan para penyelenggara menuduh Israel sebagai pihak bertanggung jawab.

Meski tak diakui secara resmi, serangan terhadap kapal sipil di perairan internasional dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum laut dan norma kemanusiaan.

Thunberg, yang sedianya akan berlayar dengan Al-Dhamir, menegaskan bahwa mereka “akan terus mencoba, apa pun rintangannya.”

Ia menyebut, risiko misi ini tak sebanding dengan bahaya nyata yang dihadapi warga Gaza, serta bahaya lebih besar berupa diamnya dunia internasional atas kejahatan yang sedang berlangsung.

Para aktivis menggarisbawahi bahwa mereka telah berkonsultasi dengan lembaga hukum dan HAM internasional guna menjamin perlindungan hukum bagi para sukarelawan.

Mereka juga menekankan bahwa intervensi bersenjata terhadap kapal sipil damai di perairan internasional jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional—sesuatu yang memang akhirnya terjadi.

Patut dicatat pula bahwa pemerintah Inggris—yang benderanya dikibarkan kapal Madleen—menolak permintaan Israel untuk mencegah keberangkatan kapal dari Eropa. Penolakan ini dinilai sebagai sinyal politik penting: tidak ada dasar hukum yang sah untuk melarang pelayaran tersebut.

Secara keseluruhan, Madleen merupakan wujud dari upaya kolektif masyarakat sipil internasional.

Hal itu menggabungkan simbol kemanusiaan, tekanan moral, serta bentuk protes sipil yang damai.

Aksi ini menjadi pengingat bahwa blokade Gaza, yang telah berlangsung hampir 17 tahun, masih terus menutup akses hidup bagi dua juta manusia.

Ketika pemerintah dunia gagal memenuhi tanggung jawab hukum dan moral mereka, maka inisiatif seperti ini menjadi suara perlawanan terakhir.

Sebagaimana disampaikan Liam Cunningham saat pelepasan kapal dari pelabuhan Catania, Italia.

“Jika pemerintah tak lagi menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum internasional, maka tanggung jawab itu jatuh ke tangan kita, rakyat biasa.”

Upaya lama tembus blokade

Perjalanan kapal Madleen bukanlah babak baru tanpa sejarah. Ia menjadi episode terbaru dalam deretan panjang upaya mematahkan blokade laut atas Gaza, yang telah berlangsung hampir dua dekade.

Upaya pertama yang berhasil tercatat pada Agustus 2008, ketika dua kapal milik gerakan Free Gaza Movement—yakni kapal Liberty dan Free Gaza—berhasil merapat ke Pelabuhan Gaza.

Kedua kapal tersebut mengangkut sejumlah aktivis solidaritas internasional serta bantuan kemanusiaan simbolik.

Aksi ini memicu perhatian dunia, dan disusul dengan beberapa pelayaran lain pada tahun yang sama, termasuk oleh kapal Dignity.

Namun, keberhasilan ini tak berlangsung lama. Israel segera memperketat blokade laut dan mulai rutin mencegat kapal-kapal yang mencoba merapat ke Gaza.

Puncak ketegangan terjadi pada Mei 2010 saat enam kapal dalam Freedom Flotilla, termasuk kapal Mavi Marmara asal Turki, mencoba mengirim bantuan ke Gaza.

Pasukan komando Israel mencegat konvoi tersebut di perairan internasional. Serangan di atas Mavi Marmara menewaskan sembilan aktivis dan melukai puluhan lainnya.

Seorang korban kemudian meninggal dunia setelah dirawat dalam kondisi koma.

Sebuah laporan PBB mengecam insiden tersebut dan mengungkap bahwa beberapa korban tewas ditembak dari jarak sangat dekat, bahkan terkesan dieksekusi.

Tragedi itu menyebabkan krisis diplomatik antara Israel dan Turki. Di bawah tekanan internasional, Israel kemudian melonggarkan sebagian blokade darat pada Juni 2010, terutama terkait izin masuk barang-barang sipil. Namun, blokade laut tetap diberlakukan hingga kini.

Sejak insiden Mavi Marmara, armada kebebasan terus berusaha menembus blokade dengan cara damai guna menghindari pertumpahan darah.

Antara 2011 dan 2018, sejumlah kapal dan perahu lain mencoba berlayar ke Gaza, termasuk “Kapal Perempuan” (Women’s Boat to Gaza).

Semuanya dicegat oleh angkatan laut Israel, namun penumpangnya ditahan secara temporer lalu dideportasi.

Meski tidak berhasil mencapai Gaza, upaya-upaya ini tetap memegang peran penting. Mereka memaksa dunia untuk menatap kembali realitas blokade, menciptakan tekanan diplomatik, dan berkontribusi pada sejumlah konsesi kecil, termasuk permintaan maaf Israel kepada Turki pada 2016.

Blokade laut: Antara legalitas dan legitimasi

Tindakan Israel yang berulang kali menghadang kapal sipil di perairan internasional memunculkan perdebatan luas tentang legalitas blokade atas Gaza.

Menurut hukum humaniter internasional, blokade hanya bisa dibenarkan jika tidak dimaksudkan untuk menghukum warga sipil atau menghalangi mereka dari kebutuhan dasar.

Pasal 33 Konvensi Jenewa Keempat secara eksplisit melarang hukuman kolektif, dan sejumlah laporan PBB telah menyimpulkan bahwa blokade atas Gaza melanggar prinsip tersebut, sebab dampaknya paling besar justru dirasakan oleh warga sipil.

Dari sudut pandang hukum laut internasional, blokade yang diberlakukan tanpa mandat Dewan Keamanan PBB atas wilayah yang tidak berstatus negara berdaulat, apalagi yang menyasar penduduk sipil, tidak memiliki dasar hukum yang kokoh.

Intersepsi terhadap kapal sipil di laut lepas, seperti dalam kasus Mavi Marmara, Al-Dhamir, dan kini Madleen, melampaui norma internasional yang berlaku.

Dokumen hukum seperti San Remo Manual dan Newport Manual mengatur bahwa penggunaan kekerasan terhadap kapal sipil hanya dapat dibenarkan setelah pemberian peringatan yang jelas dan jika kapal menolak diperiksa.

Israel dituduh sering mengabaikan prosedur ini, dan dalam sejumlah kasus, melakukan serangan tanpa peringatan—tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum laut.

Beberapa ahli hukum internasional bahkan menyebut praktik ini sebagai bentuk “pembajakan maritim yang dilegalkan negara”.

Komisi penyelidikan PBB pada 2011 menyimpulkan bahwa penggunaan kekuatan terhadap kapal Mavi Marmara tergolong “berlebihan dan tak dapat dibenarkan”.

Sementara Dewan HAM PBB menolak seluruh dasar hukum blokade, dan menyatakan bahwa dua juta warga Gaza saat ini menjadi korban dari bentuk hukuman kolektif.

Sebagai kekuatan pendudukan de facto di Gaza, Israel berkewajiban menurut hukum internasional untuk menjamin akses bantuan kemanusiaan dan melindungi warga sipil.

Palang Merah Internasional telah menyebut blokade ini sebagai “penghimpitan ilegal”, sementara Uni Eropa menggambarkannya sebagai tindakan yang “tidak dapat diterima”.

Daya gedor kapal-kapal kecil

Setelah menelusuri jejak sejarah dan dasar-dasar hukum yang menyelimuti upaya menembus blokade laut Gaza, pertanyaan yang tak terelakkan muncul: sejauh mana inisiatif-inisiatif sipil seperti pelayaran kapal Madeleine dapat benar-benar mengubah keadaan atau bahkan mengakhiri blokade?

Secara praktis, keunggulan militer Israel di Laut Tengah menjadikan misi semacam ini nyaris mustahil untuk benar-benar mencapai pantai Gaza.

Sejak 2008, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa Israel akan mengerahkan seluruh instrumen yang dimilikinya—dari tekanan diplomatik dan kanal hukum, hingga intervensi militer langsung—untuk mencegah kapal internasional berlabuh di Gaza tanpa izinnya.

Kemungkinan keberhasilan logistik atau “menembus” blokade secara fisik sangat kecil, kecuali terjadi perubahan besar seperti keterlibatan kapal militer negara sahabat atau kehadiran perlindungan resmi dari PBB—sesuatu yang saat ini belum tersedia.

Realitas ini kembali terulang dalam perjalanan Madelene. Ketika mendekati perairan teritorial Palestina, kapal itu dicegat oleh angkatan laut Israel di perairan internasional dan dipaksa berbelok ke Pelabuhan Ashdod.

Para aktivis ditahan, termasuk jurnalis Al Jazeera Mubasher, Omar Fayyad. Tindakan ini memicu kecaman internasional luas karena dianggap melanggar hukum laut dan prinsip-prinsip kebebasan pelayaran.

Namun, menilai efektivitas misi-misi ini hanya dari sisi keberhasilan fisik atau logistik akan menjadi pendekatan yang sempit. Nilai dari inisiatif-inisiatif ini justru kerap terletak pada efek politik, sorotan media, dan tekanan moral yang mereka timbulkan.

Tragedi Mavi Marmara tahun 2010, misalnya, tidak sia-sia: peristiwa itu mengubah percakapan global tentang Gaza dan mendorong Israel untuk melonggarkan sebagian pembatasan darat.

Kini, hadirnya tokoh publik seperti Greta Thunberg dalam kampanye Freedom Flotilla menambah dimensi baru.

Dukungan figur terkenal memperluas jangkauan pesan dan membawa isu Gaza ke jantung opini publik global.

Fakta bahwa kapal-kapal terus diberangkatkan, meski selalu dicegat, telah membantu mencegah normalisasi blokade dan menjaga Gaza tetap hidup dalam kesadaran internasional.

Para aktivis juga berhasil membingkai blokade bukan sebagai kebijakan keamanan, melainkan sebagai bentuk slow violence—kekerasan lambat yang menghancurkan kehidupan secara sistematis dan berkepanjangan.

Istilah “genosida lambat”, yang digaungkan oleh sejumlah tokoh termasuk Thunberg, bukan sekadar retorika, tapi ekspresi dari penderitaan struktural yang ditimbulkan oleh pengepungan ini.

Dari perspektif hukum, upaya-upaya ini mengirimkan pesan moral yang tajam. Bahwa blokade atas Gaza tidak memiliki legitimasi internasional, dan bahwa ada suara-suara independen yang berani menantangnya dengan mengatasnamakan hukum dan hak asasi manusia.

Ketika para relawan sipil tanpa senjata menghadapi armada militer, mereka mengungkap kemacetan moral komunitas internasional, sekaligus mewakili tugas kemanusiaan yang telah lama diabaikan oleh negara-negara.

Aktor dan aktivis Irlandia, Liam Cunningham, menyatakan bahwa kegagalan negara-negara untuk menjalankan kewajiban hukumnya telah mendorong masyarakat sipil untuk bertindak.

Dengan demikian, setiap pelayaran semacam ini—betapapun kecil dan simbolis—ikut menambah beban politik dan moral atas kelanjutan blokade, sekaligus menyeret negara-negara besar kembali ke dalam sorotan.

Namun tetap harus diakui bahwa blokade Gaza tidak akan runtuh hanya karena satu kapal atau satu ekspedisi. Akar persoalannya jauh lebih dalam.

Masalah ini berpangkal pada keberadaan sebuah sistem pendudukan yang tidak bisa ditawar, melainkan harus diakhiri secara menyeluruh.

Lebih dari itu, sistem tersebut tidak bertahan semata karena kekuatan internalnya, tetapi juga karena dukungan sistematis dari kekuatan internasional yang menyediakan perlindungan politik dan militer.

Hal inilah yang menjadikan perjuangan melawan pendudukan sebagai proyek yang kompleks dan panjang.

Maka, dalam konteks inilah, setiap kapal yang berlayar bukan sekadar kendaraan pembawa bantuan, melainkan simbol perlawanan terhadap sistem global yang menyangkal keadilan.

*Dr. Mahmoud Al Hanafi adalah seorang pengajar Hak Asasi Manusia di Universitas Internasional Lebanon. Ia juga menjabat sebagai direktur Asosiasi Palestina untuk Hak Asasi Manusia, pengajar di Akademi Hak Pengungsi, direktur cabang Pusat Studi Timur Tengah di Lebanon dan penasihat hukum dalam masalah-masalah wilayah Palestina yang diduduki. Ia juga merupakan asisten profesor di Universitas Al Jinan. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Hal Hunāka Jadwā Ḥaqīqiyyah Mimmā Qāma Bihi Nusyaṭhāa Safīnah Mādlīn?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular