Oleh: Justin Salhani
Kanada, Inggris, dan Australia secara resmi mengakui keberadaan Negara Palestina. Langkah ini dipandang sebagai respons simbolik terhadap perang yang terus berlangsung antara Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina di Jalur Gaza, serta perluasan wilayah permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Beberapa negara lain, termasuk Prancis dan Portugal, diperkirakan akan mengikuti langkah tersebut dalam beberapa hari ke depan, menyusul pengumuman pada Minggu (21/9/2025).
Israel merespons pengakuan ini dengan keras. Menjelang pengumuman tersebut, juru bicara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Shosh Bedrosian, menyebut keputusan itu sebagai hal yang “absurd dan merupakan penghargaan bagi terorisme”.
Pada sebuah acara di Yerusalem Timur yang diduduki pada 15 September, Netanyahu menyatakan kepada para pendukungnya bahwa “tidak akan ada negara Palestina”.
Meski dianggap simbolis, sejumlah analis menyebut bahwa pengakuan dari tiga negara tersebut tetap memiliki bobot politik.
“Pengakuan ini penting karena negara-negara yang dekat dengan Amerika Serikat selama ini menahan diri untuk tidak melakukannya sebelum ada kesepakatan damai,” kata Rida Abu Rass, ilmuwan politik asal Palestina, kepada Al Jazeera.
“Langkah ini menunjukkan bahwa negara-negara tersebut kini mengambil posisi berbeda. Dampaknya, Israel makin terisolasi, dan itu punya makna tersendiri,” tambahnya.
Namun, pada hari yang sama saat pengakuan diumumkan, setidaknya 55 warga Palestina tewas akibat serangan Israel di Gaza, termasuk 37 orang di Kota Gaza, yang kembali menjadi sasaran kampanye militer brutal dari Israel.
Realitas di Lapangan Tidak Berubah
Meski mendapatkan pengakuan diplomatik, para analis tetap skeptis bahwa hal ini akan membawa perubahan nyata bagi kehidupan rakyat Palestina yang masih berada di bawah tekanan militer dan blokade Israel.
Sejak Oktober 2023, militer Israel telah menewaskan sedikitnya 65.283 warga Palestina dan melukai 166.575 lainnya dalam serangan ke Gaza. Banyak pihak memperkirakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi. Sementara itu, dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, sebanyak 1.139 orang tewas, dan sekitar 200 orang diculik.
Di Tepi Barat, pasukan Israel dan serangan oleh pemukim bersenjata dilaporkan telah menewaskan lebih dari 1.000 orang Palestina, di tengah ancaman pencaplokan penuh wilayah oleh pemerintah Israel.
Analis memperkirakan pengakuan negara Palestina oleh Kanada, Inggris, dan Australia tidak akan langsung menghentikan agresi Israel.
“Asalkan tidak disertai dengan langkah nyata seperti sanksi, embargo senjata, atau zona larangan terbang untuk melindungi warga Palestina, saya tetap pesimistis,” kata Chris Osieck, peneliti independen yang pernah terlibat dalam investigasi terkait Palestina oleh Forensic Architecture dan Bellingcat.
Tekanan Domestik
Pengakuan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat sebagai tindakan simbolik untuk merespons tekanan dari masyarakat internasional dan pemilih domestik.
“Saya pikir pemerintah negara-negara ini berada di bawah tekanan dari komunitas internasional dan rakyat mereka sendiri untuk bertindak,” ujar Mohamad Elmasry, profesor di Doha Institute for Graduate Studies.
“Ini adalah cara mereka untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan sesuatu, meski tanpa langkah substantif.”
Meski demikian, dengan pengakuan ini, ketiga negara kini dapat menjalin hubungan diplomatik resmi dan menandatangani perjanjian bilateral dengan Pemerintah Palestina. Inggris, misalnya, akan mengakui Husam Zomlot sebagai duta besar Palestina untuk London.
Zomlot menyatakan bahwa pengakuan ini “mengakhiri penolakan Inggris atas hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, merdeka, dan berdaulat di tanah air mereka”.
“Langkah ini merupakan titik balik menuju keadilan, perdamaian, dan koreksi terhadap kesalahan sejarah, termasuk warisan kolonial Inggris, Deklarasi Balfour, dan peran Inggris dalam pengusiran rakyat Palestina,” ujarnya.
Meskipun sebagian besar negara di dunia telah mengakui Negara Palestina, Palestina belum menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Pengakuan ini tidak membawa hak istimewa baru di PBB, atau memungkinkan Palestina menjadi anggota badan antarpemerintah baru – kecuali mendapat dukungan Amerika Serikat,” jelas Abu Rass.
Saat ini, Palestina berstatus sebagai “negara pengamat non-anggota” di PBB. Untuk menjadi anggota penuh, dibutuhkan rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB, yang kemungkinan akan diveto oleh AS.
Tekanan terhadap Israel Meningkat
Di sisi lain, tekanan internasional terhadap Israel semakin menguat, terutama dari Eropa. Kampanye boikot terhadap Israel semakin meluas, bahkan berpotensi mengeluarkan Israel dari ajang seperti Eurovision dan kompetisi olahraga internasional lainnya.
Uni Eropa pun dikabarkan tengah membahas peningkatan tarif atas barang-barang dari Israel dan kemungkinan menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat Israel.
“Pengakuan ini tidak langsung memengaruhi tindakan Israel di Gaza. Namun, hal ini bisa menjadi sinyal bahwa negara-negara tersebut bersedia mengambil langkah nyata, seperti embargo senjata dua arah – tidak menjual ke Israel dan tidak membeli dari produsen senjata Israel,” ujar Abu Rass.
“Menyelamatkan Muka”
Beberapa analis menilai bahwa langkah pengakuan ini lebih merupakan bentuk kompromi politik oleh pemimpin negara-negara Barat, di tengah desakan dari masyarakat domestik dan kelompok pro-Palestina.
“Langkah ini diambil karena meningkatnya tekanan domestik terhadap pemerintah berhaluan tengah-kiri,” kata Abu Rass.
“Mereka seperti sedang menyelamatkan muka,” tambahnya.
Pada Juli lalu, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan akan mengakui Palestina jika Israel tidak mengambil “langkah substansial” untuk mengakhiri perang di Gaza.
Pada Minggu, Starmer menegaskan bahwa pengakuan ini merupakan respons terhadap realitas politik di Israel dan Palestina saat ini.
“Langkah ini bertujuan mendukung solusi dua negara,” kata Starmer. “Langkah ini diambil karena saya melihat solusi dua negara semakin menjauh dan tidak pernah terasa sejauh ini selama bertahun-tahun terakhir.”
Australia juga menyampaikan pengakuan dengan syarat. Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan bahwa “langkah-langkah lanjutan, termasuk pembukaan hubungan diplomatik dan kedutaan, akan dipertimbangkan seiring kemajuan Otoritas Palestina dalam reformasi yang dijanjikan.”
Beban Sejarah Inggris
Pengakuan oleh Inggris juga memiliki dimensi sejarah tersendiri. Lebih dari 100 tahun lalu, pada 1917, Inggris menerbitkan Deklarasi Balfour, yang mendukung pendirian “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi” di wilayah Palestina.
Sebagai sekutu lama Israel, pengakuan Inggris atas Palestina dianggap sebagian pihak sebagai pengakuan atas tanggung jawab historisnya atas penderitaan rakyat Palestina.
“Inggris memiliki beban moral khusus untuk mendukung solusi dua negara,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy dalam pidatonya di PBB pada Juli lalu.
Namun, para analis masih meragukan akan terjadi perubahan nyata dalam waktu dekat.
“Meski semua negara di dunia mengakui Palestina, tidak akan banyak berubah kecuali pendudukan Israel diakhiri,” tegas Abu Rass.
“Tekanan internasional penting, tetapi harus melampaui sekadar pengakuan. Harus disertai dengan sanksi, pemutusan hubungan diplomatik, pengadilan terhadap pelaku kejahatan perang, dan boikot budaya,” katanya.
Justin Salhani adalah seorang jurnalis dan penulis yang tinggal di Paris dan Beirut. Ia juga bekerja sebagai produser dokumenter dan laporan video. Tulisan ini diambil dari opininya di Al Jazeera berjudul Is recognising Palestine a way to ‘save face’ for Western leaders?