Sunday, November 17, 2024
HomeAnalisis dan OpiniOPINI | Deklarasi Beijing harus berbeda dengan Perjanjian Oslo

OPINI | Deklarasi Beijing harus berbeda dengan Perjanjian Oslo

China jangan membangun rekonsiliasi atas dasar ekonomi dan ekspansi bisnis ke Timur Tengah. Perjanjian Oslo pada 1993 yang lebih digerakkan oleh invasi bisnis Israel di Timur Tengah harus menjadi pelajaran

Oleh: Pizaro Gozali Idrus*

Hamas, Fatah, dan 12 faksi di Palestina pada Selasa (23/7) sepakat meneken perjanjian rekonsiliasi dengan perantara China. Perjanjian ini menjadi tonggak baru dalam menyatukan faksi-faksi di Palestina yang terfragmentasi.

Dalam butir perjanjian tersebut, keempat belas faksi sepakat untuk mengakhiri perpecahan dan mencapai persatuan nasional Palestina yang mencakup semua kelompok. Mereka juga berkomitmen mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Menurut Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina yang merupakan salah satu faksi yang menandatangani, setidaknya ada empat poin utama dalam kesepakatan ini.

Pertama, pembentukan pemerintahan persatuan nasional sementara. Kedua, pembentukan kepemimpinan Palestina yang bersatu menjelang pemilu mendatang. Ketiga, pembentukan Dewan Nasional Palestina yang baru. Keempat, deklarasi umum persatuan dalam menghadapi serangan kolonial Israel yang masih terus berlangsung (Al Jazeera, 2024).

Pejabat tinggi Hamas Mousa Abu Marzouk dalam konferensi pers mengatakan bahwa kesepakatan ini merupakan jalan untuk menyelesaikan perjalanan perjuangan ini adalah persatuan nasional.

AS dan Otoritas Palestina kian tak populer

Terwujudnya perjanjian ini di Tiongkok terjadi di tengah semakin tidak populernya AS di Timur Tengah. Dalam konteks regional, semakin banyak negara Arab yang mendekat ke China karena faktor ekonomi. Dukungan tanpa henti AS terhadap genosida yang dilakukan kolonial Israel telah melahirkan gelombang kemarahan global.

Turunnya kepercayaan dunia kepada AS berdampak pada Palestina. Beberapa bulan lalu, Menlu AS Anthony Blinken masih menjajakan ke negara-negara Arab agar Mahmoud Abbas dapat memimpin Gaza pasca perang. Tapi ide ini disambut dingin. Di Palestina sendiri, popularitas Abbas yang selama ini didukung Barat, kian menurun.

Baca juga: Kata AS, UNRWA bukan organisasi teroris

Survei Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR), yang berbasis di Tepi Barat, pada Desember 2023 menunjukkan bahwa 90% warga Palestina meminta Abbas mundur.

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari perjanjian ini adalah sifatnya yang masih “komitmen bersama”. Belum ada detail rinci pelaksanaan teknis bagaimana pemerintahan persatuan itu akan diwujudkan dan apa peran yang akan dimainkan Hamas di dalam.

Kesepakatan ini juga akan berlaku paska perang, yang masih membuka celah lebar perubahan dinamika kedepan. Terlebih jika ada perubahan politik besar di AS paska pemilu November.

Meski begitu, kesepakatan ini telah menyepakati dibentuknya pemerintahan persatuan interim atau pemerintahan sementara.

Pemerintahan ini akan menjalankan kekuasaannya atas seluruh wilayah Palestina, yakni Tepi Barat, Yerusalem dan Jalur Gaza. Dengan syarat: pemerintahan ini mulai menyatukan seluruh institusi Palestina di wilayah-wilayah tersebut.

Hal ini dilakukan sampai terbentuknya Dewan Nasional atau DPR-nya Palestina yang baru sesuai undang-undang pemilu Palestina. Dewan legislatif yang dimpimpin PLO selama ini hampir tidak berfungsi untuk mengevauasi Otoritas Palestina. Tak heran, Perjanjian Rekonsiliasi 14 salah satunya menargetkan digelarnya pemilu terbaru paska genosida Israel untuk menetapkan pemerintahan baru lewat pemilu demokratis.

Seperti diketahui, pemilu terakhir terjadi pada tahun 2006. Hingga bertahun-tahun kemudian, pemilu selalu batal digelar. Otoritas Palestina selalui mengklaim pemilu belum bisa dilaksanakan karena faktor keamanan dan tidak mendapat restu penjajah. Sebuah alibi yang tidak sepenuhnya diterima faksi-faksi Palestina. Sebab alasan lain yang dipercayai banyak pihak adalah kian merosotnya reputasi PLO di tengah masyarakat Palestina. Jika pemilu digelar, PLO diprediksi akan kalah.

Baca juga: OPINI | Jangan merasa “pede” bisa bujuk Israel

PLO merupakan koalisi partai-partai yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1993, dan membentuk pemerintahan baru di Otoritas Palestina. Fatah mendominasi PLO dan PA, pemerintahan sementara Palestina di Tepi Barat yang dijajah Israel setelah perjanjian tahun 1993 yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo. Namun, Hamas bukan pihak dalam perjanjian tersebut dan tidak mengakui Israel.

Salah satu kritik yang banyak ditujukan kepada Fatah dan Otoritas Palestina mereka lebih memilih jalan negosiasi dan menjauhi perlawanan. Kondisi itu membuat Israel dengan leluasa menangkap para warga Palestina di Tepi Barat.

Dalam kesepakatan pertukaran tawanan pertama antara Hamas dan Penjajah Israel pada November 2023, para sandera Palestina yang dibebaskan justru berasal dari Tepi Barat dan Jerusalem. Hamas dinilai lebih dapat berbuat aksi nyata membebaskan tawanan-tawanan Palestina dari kejamnya penjara penjajah.

Peluang gagal

Upaya rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah sejatinya bukan hanya kali ini terjadi. Pada tahun 2007, keduanya juga meneken Hamas-Fatah Agreement di Mekkah. Tujuannya pun Hampir sama dengan kesepakata Beijing 2024. Antara lain menjadikan dialog sebagai solusi untuk menyelesaikan perselisihan politik internal Palestina dan membentuk pemerintahan persatuan nasional Palestina.

Saat itu, ketegangan antara Hamas dan Fatah terjadi karena Hamas sebagai pemenang pemilu tidak mau mengakui penjajah Israel. Namun kini seruan agar mereka bersatu semakin meningkat seiring genosida yang terus dilakukan penjajah Israel yang membuat faksi-faksi Palestina, khususnya PLO tidak ada kata lain harus maju ke meja rekonsiliasi.

Namun pelajaran lain yang harus dipikirkan adalah rekonsiliasi ini juga tidak boleh dibangun China atas dasar ekonomi semata dan ekspansi bisnis ke Timur Tengah. Perjanjian Oslo pada 1993 yang lebih digerakkan oleh invasi bisnis Israel di Timur Tengah harus menjadi pelajaran.

Bukanlah suatu kebetulan bahwa tingkat investasi asing Israel langsung mencapai puncaknya pada tahun 1995 sebesar $3,6 miliar dari hanya $686 juta pada tahun 1991 paska perjanjian Oslo.

Baca juga: Hamas, Superpower Baru di Dunia Arab

Namun perlahan tapi pasti, upaya perdamaian menjadi buntu. Penindasan yang dilakukan penjajah terus terjadi. Hingga meletuslah Intifadhah jilid II tahun 2000. [Lihat: Bouillon, Markus. (2004). The Peace Business: Money and Power in the Palestine-Israel Conflict. New York: IB Tauris]

Banyak warga Palestina menilai satu-satunya hal yang dihasilkan oleh “proses perdamaian” Oslo adalah pengayaan pejabat senior PLO, anggota keluarga serta rekan mereka yang dengan rakus menyedot dana publik untuk membeli mobil dan membangun rumah-rumah mewah, khususnya di Ramallah dan Jalur Gaza.

Semoga hal itu tidak kembali terulang dan dan segala langkah politik yang diambil bertujuan untuk kepentingan bangsa Palestina demi mendapatkan kemerdekaan yang hakiki dan perdamaian yang abadi. Aamiin.

* Penulis adalah Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue. Kandidat Ph.D pada Center for Policy Research USM Malaysia. Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular