Friday, October 10, 2025
HomeBeritaOPINI - Dua tahun Operasi Taufan Al Aqsha, Hamas capai tujuan utama

OPINI – Dua tahun Operasi Taufan Al Aqsha, Hamas capai tujuan utama

Oleh: Chaim Levinson

Perang di Gaza yang berlangsung selama 22 bulan diperkirakan segera berakhir. Meski rincian penarikan pasukan Israel dari fase kedua belum diumumkan secara menyeluruh, hal tersebut diyakini tidak akan mengubah gambaran besar yang telah terbentuk. Bertolak belakang dengan klaim sejumlah pihak di pemerintahan Israel, terutama dari kubu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa wajah Timur Tengah tidak mengalami perubahan signifikan.

Perang telah membawa penderitaan besar, terutama bagi warga sipil Israel dan Palestina. Ribuan nyawa melayang, banyak yang terluka secara fisik dan psikologis, serta kehilangan tempat tinggal. Namun, tidak ada negara yang runtuh, tidak ada kekuatan baru yang muncul, dan tidak ada ideologi besar yang benar-benar tergantikan.

Pada 7 Oktober 2023, pemimpin Hamas Yahya Sinwar melancarkan serangan yang dianggap sebagai bentuk “serangan bunuh diri strategis”—dengan tujuan menghancurkan sistem dari dalam, tanpa memperhitungkan keselamatan sendiri. Kini, dua tahun setelahnya, Hamas tetap bertahan sebagai organisasi, meski kehilangan kekuatan militer dan kendali atas Gaza.

Hamas mampu mempertahankan struktur organisasinya hingga hari terakhir pertempuran. Tidak ada perpecahan internal yang berarti, tidak ada upaya negosiasi mandiri untuk menyerah, dan tidak ada jual beli tawanan yang dilakukan oleh faksi internal. Meski menghadapi ancaman dari milisi pro-Israel di Gaza, keberadaan kelompok tersebut dianggap tidak signifikan dan diyakini akan runtuh begitu perlindungan militer Israel dicabut. Hamas pun diyakini masih memiliki peluang untuk tetap relevan ke depan.

Meski secara militer kalah, Hamas mengklaim dua pencapaian utama. Pertama, berhasil mengangkat kembali isu Palestina ke panggung dunia. Strategi lama Israel yang mencoba mengabaikan isu Palestina dan membangun hubungan dengan negara-negara Arab tanpa melibatkan Otoritas Palestina, kini mendapat tantangan serius. Hamas justru berhasil menjadikan Gaza sebagai simbol perjuangan, yang mengundang simpati luas, termasuk dari masyarakat Barat.

Perdana Menteri Netanyahu menilai bahwa negara Palestina adalah “imbalan bagi terorisme”. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa simpati masyarakat internasional justru lebih berpihak pada Gaza sebagai korban. Gencatan senjata yang kini mulai berlaku menjadi semacam pengakuan terhadap kembalinya isu Palestina, bahkan dibarengi dengan kemungkinan solusi berupa negara merdeka, sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Amerika Serikat.

Pencapaian kedua adalah pembebasan tahanan Palestina. Bagi banyak pihak, pengorbanan puluhan ribu warga Gaza demi membebaskan 250 tahanan dianggap tidak sebanding. Namun dalam perspektif masyarakat Palestina, tahanan-tahanan tersebut dianggap sebagai pahlawan yang ditangkap secara tidak adil oleh otoritas Israel.

Hamas berhasil membebaskan mereka, sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh Otoritas Palestina selama bertahun-tahun. Pesan yang ingin disampaikan Hamas jelas: setiap pejuang yang ditangkap akan tetap dibebaskan, cepat atau lambat. Hal ini memperkuat posisi Hamas di mata para pendukungnya.

Pihak lain yang memperoleh keuntungan strategis dari perang ini adalah Qatar. Negara kecil di Teluk ini memainkan peran penting dalam diplomasi regional dan internasional. Meskipun kerap dituduh mendukung kelompok ekstremis oleh Israel, Qatar justru dipandang sebagai mitra penting oleh Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya.

Selama konflik berlangsung, Qatar menjadi perantara utama dalam proses negosiasi gencatan senjata dan pembebasan tawanan. Peran tersebut memperkuat posisi diplomatiknya di panggung global, melengkapi strategi jangka panjang negara tersebut dalam membangun kekuatan melalui sektor olahraga, pendidikan, dan investasi.

Israel tetap mengandalkan keunggulan militernya, khususnya di udara. Namun keunggulan tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan capaian diplomatik. Serangan udara yang dilancarkan hingga ke ibu kota Qatar, Doha, misalnya, dinilai sebagai langkah yang justru memperburuk posisi Israel di mata dunia.

Dalam konflik dengan Hezbollah, Israel mencatat keberhasilan karena strategi dan koordinasi intelijen yang matang. Di Suriah, Israel mulai bergerak menuju kesepakatan diplomatik guna menggantikan serangan udara yang tidak efektif.

Namun, dalam konteks Iran, meski Israel mampu melumpuhkan sejumlah target strategis, belum ada kesepakatan politik yang memperkuat pencapaian militer tersebut. Sejarah menunjukkan, seperti Mesir pasca-1967, bahwa kekalahan militer tidak berarti akhir. Dengan strategi baru, diplomasi, dan perhitungan matang, pihak yang sebelumnya kalah bisa bangkit dan mengubah peta politik kawasan.

Iran kini tampaknya tengah berada dalam fase tersebut. Meski detail lengkap situasi di negara itu belum sepenuhnya diketahui publik, diperkirakan bahwa Teheran sedang merancang respons strategis yang akan menjadi faktor penting dalam dinamika kawasan ke depan.

Penulis adalah seorang jurnalis dan editor Israel, yang terkenal karena karyanya di surat kabar Israel, Haaretz . Jurnalisme investigasinya telah membuatnya populer di wilayah tersebut. Opini ini diambil dari tulisannya di Haaretz berjudul Even if It Loses Governance of Gaza, Hamas Has Achieved Its Goal

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler