Oleh: Helmy Moussa*
Serangan awal Israel ke Iran pada malam 13 Juni mengejutkan publiknya sendiri. Aksi militer yang menyasar target strategis di wilayah Iran itu langsung disusul oleh serangan gabungan dari Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran.
Keberhasilan ini sontak melahirkan euforia nasional dan menenggelamkan hampir seluruh kekhawatiran domestik warga Israel.
Dalam sekejap, peristiwa yang selama ini mendominasi perhatian—mulai dari perang yang telah berlangsung lebih dari 20 bulan di Jalur Gaza, kegagalan demi kegagalan dalam kampanye militer, hingga perseteruan politik dalam negeri mengenai kewajiban militer bagi kelompok ultra-Ortodoks (haredi)—seolah-olah lenyap dari perbincangan.
Alih-alih perpecahan, masyarakat Israel mendadak bersatu mendukung penuh pimpinan militer, kepala dinas intelijen Mossad, dan Perdana Menteri. Keputusan bersama merekalah yang dipersepsikan sebagai penentu sukses serangan ini.
Di mata publik, aksi ini tak ubahnya “mukjizat militer” yang berhasil menyelamatkan negara dari ancaman eksistensial: kemungkinan Iran memiliki bom nuklir dalam hitungan minggu.
Operasi udara yang berhasil menarget tokoh-tokoh penting Iran—dari pejabat keamanan, militer, hingga ilmuwan—menyulut antusiasme luas di kalangan masyarakat Israel.
Di sinilah retorika lama yang selama bertahun-tahun dikampanyekan pemerintah kembali menyeruak ke permukaan: bahwa Republik Islam Iran adalah rezim fasis dengan ideologi serupa Nazi, yang satu-satunya tujuannya adalah melenyapkan negara Yahudi.
Narasi itu terus diperdengarkan, baik ke dalam negeri maupun ke dunia internasional: bahwa tanpa Iran, tak akan ada Hizbullah, Hamas, Jihad Islam, atau kelompok Houthi.
Semua itu disebut sebagai tentakel dari “gurita jahat”, dan selama kepala gurita itu tidak dipenggal di Teheran, maka apa yang disebut “poros kejahatan” akan tetap mengancam eksistensi Israel melalui strategi “sabuk api” di sekelilingnya.
Dalam konteks ini, perdebatan mengenai potensi serangan terhadap program nuklir Iran bukanlah hal baru.
Selama bertahun-tahun, topik ini menjadi tema utama di panggung politik Israel—terutama dalam pidato-pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sejak masa awal kepemimpinannya.
Dua pandangan utama berkembang. Pertama, bahwa Israel tidak mungkin bertindak sendiri dan perlu membangun aliansi regional dengan dukungan AS untuk menggagalkan proyek nuklir Iran.
Pandangan kedua, lebih agresif, menyatakan bahwa Israel bisa bertindak dengan kekuatannya sendiri, dengan atau tanpa dukungan langsung dari Washington.
Namun selama ini, pandangan pertama lebih dominan. Kebanyakan elite militer dan politik menilai bahwa aksi militer terhadap Iran hanya bisa dibenarkan jika negara itu berada dalam kondisi darurat eksistensial.
Pandangan ini, meski berhati-hati, justru menimbulkan rasa cemas yang mendalam di kalangan warga Israel.
Kini, dengan meletusnya perang yang diumumkan sebagai “perang tanpa pilihan”, pemerintah memasarkan narasi bahwa aksi ini tidak bisa ditunda.
Intelijen Israel disebut telah menangkap sinyal bahwa Iran tengah bersiap menggandakan persenjataan rudal balistiknya: dari 3.000 unit saat serangan Hamas 7 Oktober lalu menjadi 8.000 unit dalam tahap awal, dan diperkirakan mencapai 20.000 unit di tahap berikutnya.
Persenjataan itu—rudal balistik dengan hulu ledak seberat satu ton atau lebih—diproyeksikan sebagai ancaman yang setara, bahkan mungkin lebih besar dari, senjata nuklir.
Pemerintah Israel menambahkan bahwa meskipun rezim Bashar al-Assad di Suriah runtuh dan Hizbullah mengalami pukulan keras, Iran masih teguh pada proyek “penghancurannya”, dengan tekad membantu para sekutunya untuk bangkit kembali.
Dengan latar inilah, pagi 13 Juni menjadi titik balik bagi masyarakat Israel. Kejutan itu melahirkan harapan, membangkitkan rasa percaya diri, dan menumbuhkan keyakinan bahwa dominasi Iran bisa dipatahkan.
Kegembiraan atas keberhasilan serangan udara Israel berpadu dengan harapan akan perubahan strategis di Iran.
Namun dalam perayaannya, terselip pula kesombongan dan sikap meremehkan lawan—sebuah kombinasi yang tak jarang membawa konsekuensi berbahaya dalam sejarah konflik Timur Tengah.
Penayangan langsung serangan terhadap kantor televisi pemerintah Iran di Teheran oleh jet-jet tempur Israel disambut sebagai pukulan telak terhadap “rezim para mullah”.
Bagi banyak warga Israel, bahkan yang sebelumnya tak mengenal satu pun nama pejabat tinggi Iran, tayangan itu langsung meyakinkan mereka bahwa akhir kekuasaan di Teheran sudah dekat.
Keyakinan itu semakin kuat karena nama-nama seperti Reza Pahlavi—putra mahkota terakhir dari dinasti Pahlavi yang kini bermukim di pengasingan dan dikenal dekat dengan kalangan Israel dan Yahudi di AS—mendadak mencuat dalam diskusi publik sebagai sosok potensial bagi masa depan Iran.
Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama. Ketika Iran mulai meluncurkan serangan balasan yang menyasar kawasan strategis dan wilayah permukiman di Israel, kenyataan pahit mulai menggantikan euforia.
Serangan balasan itu membuktikan bahwa meskipun Israel mampu menimbulkan kerusakan signifikan di Iran, Iran pun memiliki kemampuan serupa terhadap Israel.
Kesadaran ini menumbuhkan pemahaman baru di kalangan masyarakat dan elite politik: bahwa menghilangkan ancaman Iran tidaklah mudah, dan keberhasilan strategis membutuhkan pengorbanan.
Diskursus publik pun berubah. Harapan awal bahwa perang ini akan berlangsung selama seminggu mulai direvisi menjadi beberapa pekan—namun dengan harapan kuat agar tak berkembang menjadi perang panjang yang melelahkan.
Yang menarik, dalam hari-hari awal perang, suasana media di Israel menjadi senyap dari kritik.
Hampir tidak ada satu pun media besar yang mempertanyakan keputusan menyerang Iran.
Koalisi pemerintahan Netanyahu mendapat dukungan luas, bahkan dari kelompok oposisi terbesar—kecuali wakil-wakil dari minoritas Arab Israel.
Sejak awal, tujuan resmi dari serangan ini adalah menggagalkan program nuklir Iran dan menghancurkan kemampuan misilnya.
Tapi segera saja, para politisi garis keras seperti Menteri Pertahanan Israel Katz mulai menyerukan tujuan yang lebih ambisius: menggulingkan pemerintahan Islam di Iran.
Seruan ini memicu keprihatinan diam-diam dari sebagian elite. Beberapa pihak mulai menyuarakan kritik terhadap perluasan tujuan perang.
Mereka menganggap dua sasaran awal sudah cukup realistis dan menantang, dan bahwa perlu dipikirkan jalan keluar diplomatik yang bisa menjamin Iran tidak akan memiliki senjata nuklir—tanpa harus menggulingkan rezimnya.
Namun suara-suara ini berhadapan dengan tuntutan yang lebih keras. Kelompok ekstrem bahkan mengusulkan agar Israel dan sekutunya tidak hanya memaksakan syarat-syarat politik, melainkan juga ikut mengawasi kurikulum pendidikan di Iran, agar negeri itu “dibebaskan” dari ajaran permusuhan terhadap Barat dan Yahudi.
Dalam analisisnya di Maariv, Ben Caspit—salah satu pengkritik paling keras Netanyahu—menggambarkan bagaimana sang perdana menteri kini berada dalam “keadaan ekstase”.
Menurut Caspit, Netanyahu yang selama ini dikenal sebagai “bapak ancaman bom Iran” kini dipuja sebagai “bapak bangsa”.
“Saya tidak pernah berubah pendapat tentang dia. Dia pun tidak berubah. Namun yang memaksanya untuk berhenti menunda dan mulai bertindak adalah bencana 7 Oktober. Bahkan saya tidak yakin bahwa keputusannya ini sepenuhnya murni, sebab dorongan menghindari proses hukumnya yang baru dimulai mungkin juga turut berperan,” tulis Caspit.
Pandangan Caspit mencerminkan opini yang cukup luas di kalangan masyarakat Israel. Dalam tradisi politik yang dikenal dengan prinsip “diam saat senjata berbicara”, banyak warga menyambut keputusan perang sebagai tindakan kepemimpinan berani.
Sejak serangan ke Iran diluncurkan dua pekan lalu, hampir seluruh tokoh oposisi Israel—termasuk Yair Lapid, Benny Gantz, Avigdor Lieberman, hingga Yair Golan—beralih haluan, memberi dukungan kepada pemerintah.
Sebuah pergeseran politik yang mengejutkan, mengingat hanya dua hari sebelumnya, mereka mengajukan RUU untuk membubarkan parlemen sebagai jalan menggulingkan Netanyahu.
Bahkan ketika partai-partai Arab Israel mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah pada Senin lalu, seluruh fraksi oposisi Zionis bersatu untuk menggagalkannya—dan bahkan mengecam anggota Arab karena dianggap mencoba menjatuhkan pemerintahan di tengah apa yang dipandang sebagai perang untuk kelangsungan hidup bangsa.
Dengan demikian, sebuah pergeseran drastis terjadi di Israel: dari oposisi yang keras menjadi front politik yang nyaris bulat mendukung perang.
Situasi ini menunjukkan betapa dalam dan kuatnya ketakutan yang terpatri terhadap ancaman Iran—dan bagaimana, dalam kondisi darurat, seluruh spektrum politik bisa mendadak menyatu di bawah panji nasionalisme dan survival.
Upaya menggulingkan pemerintahan melalui parlemen sempat mengemuka hanya sehari sebelum Israel meluncurkan serangan ke Iran.
Meski mayoritas oposisi menolak menghapus usulan pembubaran parlemen dari agenda sidang dan bersikeras agar pemungutan suara tetap dilakukan, mosi tersebut akhirnya kandas—dijegal oleh dukungan faksi ultra-Ortodoks (Haredi).
Tak sampai 24 jam kemudian, serangan udara besar-besaran ke Iran diluncurkan. Seketika, peta politik berubah.
Para pemimpin oposisi mendadak berdiri sejajar dengan pemerintahan Netanyahu, menyatakan dukungan total terhadap “perang eksistensial” ini.
Di tengah gelombang patriotisme itu, kenyataan politik tetap berbicara. Bagi kalangan oposisi, terutama mereka yang selama ini vokal menentang Netanyahu secara pribadi, penyesuaian sikap adalah keniscayaan.
Mereka membaca arah angin opini publik—yang mayoritas menyambut serangan ke Iran sebagai langkah berani dan perlu.
Bahkan tokoh militer seperti Jenderal Yair Golan—yang sebelumnya mengecam dua tokoh sayap kanan, Itamar Ben Gvir dan Bezalel Smotrich, sebagai “semacam Nazi”—terpaksa bergabung dalam barisan yang sama dengan mereka.
Dalam atmosfer krisis yang didefinisikan sebagai “perang untuk bertahan hidup”, ruang bagi oposisi atau silang pendapat hampir tak tersedia.
Namun di balik persatuan semu itu, suara-suara peringatan mulai bermunculan. Sejumlah analis dan tokoh militer menekankan bahwa kemenangan sesungguhnya belum tercapai, dan bahwa jalan menuju penyelesaian—baik militer maupun diplomatik—masih panjang dan berat.
Yossi Melman, analis senior di Haaretz, menulis bahwa rakyat Israel kini harus siap menanggung dampak penuh dari keputusan pemerintah: mulai dari tekanan ekonomi, sosial, hingga psikologis.
Ia mengingatkan bahwa keberhasilan militer yang dicapai hingga kini bersifat taktis dan operasional, belum tentu berujung pada keberhasilan strategis jangka panjang.
“Tidak ada jaminan bahwa keberhasilan ini akan mengubah Israel menjadi negara yang hidup dalam keamanan abadi. Yang pasti, kita telah menapaki jalur yang membuat kita terus hidup di ujung pedang,” tulis Melman.
Peringatan serupa datang dari mantan Kepala Staf sekaligus mantan Perdana Menteri, Ehud Barak.
Dalam kolomnya di Haaretz, Barak mengakui pentingnya perang ini namun menganggap euforia yang melanda publik, media, dan bahkan pernyataan Netanyahu—yang mengklaim bahwa ancaman nuklir Iran telah dilenyapkan—sebagai reaksi yang prematur.
“Seperti dikatakan Kepala Staf Eyal Zamir dengan tepat, kita harus tetap rendah hati dan terhubung dengan realitas secara seimbang. Kita menghadapi ujian berat, panjang, dan menyakitkan. Semua warga harus bersiap untuk menanggung beban bersama, tapi kepemimpinan harus mengelola proses ini dengan kebijaksanaan dan tanggung jawab,” tulis Barak.
Dalam suasana ini, hasil survei yang dirilis oleh Maariv Jumat lalu memberikan gambaran menarik.
Serangan ke Iran dan capaian militer yang diklaim pemerintah telah memberikan lonjakan elektoral bagi partai Likud pimpinan Netanyahu—naik lima kursi menjadi 27, angka tertinggi sejak tragedi 7 Oktober 2023.
Namun, lonjakan ini tidak memperbesar kekuatan blok sayap kanan secara keseluruhan. Kenaikan suara Likud justru menggerus basis pendukung dari partai sekutu seperti Partai Zionisme Religius (Smotrich) dan Partai Kekuatan Yahudi (Ben Gvir).
Berdasarkan hasil survei yang dirilis harian Maariv, peta perolehan kursi di Knesset menunjukkan pergeseran menarik dalam lanskap politik Israel pascaserangan ke Iran.
Partai Likud yang dipimpin Benjamin Netanyahu meraih 27 kursi, diikuti oleh Yisrael Beitenu dengan 19 kursi.
Partai Demokrat menempati posisi ketiga dengan 14 kursi, disusul oleh Kamp Resmi dan Yesh Atid yang masing-masing memperoleh 13 kursi.
Partai-partai keagamaan seperti Shas dan Yahadut HaTorah masing-masing mendapatkan 10 dan 8 kursi.
Sementara itu, partai Kekuatan Yahudi yang sebelumnya merupakan sekutu penting Likud hanya memperoleh 6 kursi—jumlah yang sama dengan Ra’am, partai Islam moderat. Adapun Front Demokratik Arab memperoleh 4 kursi.
Peta ini mencerminkan dinamika dukungan yang berubah di tengah suasana perang, dengan Likud menguat namun sebagian dari kenaikan tersebut tampaknya menggerus mitra koalisinya sendiri, sementara blok oposisi tetap mempertahankan kekuatan yang cukup besar.
Secara keseluruhan, blok oposisi terhadap Netanyahu mengumpulkan 59 kursi, sementara koalisi pemerintahnya hanya meraih 51 kursi. Sepuluh kursi lainnya berasal dari partai-partai Arab Israel.
Yang tak kalah penting adalah polarisasi opini masyarakat Israel terkait tujuan perang. Meskipun banyak kota di Israel mengalami kerusakan akibat serangan balasan Iran, hanya 46 persen warga yang mendukung fokus pada penghapusan ancaman nuklir dan rudal balistik.
Sementara 43 persen lainnya menilai bahwa tujuan perang seharusnya juga mencakup penggulingan rezim di Teheran.
Dengan demikian, meskipun Israel saat ini masih bergelora oleh narasi kemenangan, sinyal-sinyal peringatan dari kalangan militer dan analis mulai mengemuka.
Mereka mengingatkan: dalam perang seperti ini, keberhasilan militer hanyalah satu sisi dari koin. Di sisi lain, masih menanti biaya sosial, politik, dan strategis yang belum sepenuhnya dihitung.
*Helmy Moussa adalah seorang jurnalis yang mengkhususkan diri dalam urusan Israel. tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Asbāb al-Altāfāf Isrāīli Ḥaul Taayīd Dzharb Irān”.