Oleh: Abdul Rahman Al-Hajj
Setelah menyelesaikan tahapan dasar pembentukan pemerintahan baru, Presiden Al-Sharaa mulai dihadapkan pada gelombang tantangan lanjutan yang tidak kalah berat dibandingkan rintangan awal yang muncul sejak detik pertama pengambilalihan kekuasaan.
Tantangan tersebut mencakup upaya kudeta yang gagal oleh sisa-sisa rezim lama di wilayah pesisir pada 6 Maret 2025, peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Insiden Pesisir”, hingga upaya konsolidasi kekuatan oleh sejumlah faksi di Suriah bagian timur dan selatan yang bersekutu dengan negara-negara asing demi menggoyahkan pemerintah pusat.
Di saat bersamaan, pemerintah juga harus membangun institusi militer nasional serta mengintegrasikan kekuatan revolusioner yang sebelumnya terlibat dalam operasi “Penangkalan Agresi”.
Lima bulan telah berlalu sejak rezim lama tumbang. Namun, meskipun telah dilakukan berbagai upaya intensif bersama para sekutu regional dan internasional, situasi ekonomi masih stagnan.
Sanksi Amerika Serikat (AS) yang memberatkan belum dicabut sepenuhnya, dan pelonggaran sebagian sanksi belum membuahkan hasil nyata.
Di tengah tekanan ini, Presiden Al-Sharaa menyadari bahwa pemerintahannya membutuhkan strategi yang efektif dan menyeluruh.
Membangun kekuatan melalui perdamaian
Pada awalnya, pendekatan yang diambil Al-Sharaa lebih bersandar pada prinsip-prinsip dasar, yang meski belum membentuk strategi utuh, perlahan berkembang seiring dinamika krisis.
Dengan bertambahnya waktu dan kompleksitas situasi, prinsip-prinsip itu menjelma menjadi kerangka strategi yang jelas dan konsisten.
Seiring perkembangan ini, citra Al-Sharaa sebagai pemimpin militer yang garang dalam perang melawan agresi perlahan memudar.
Sebaliknya, tampil sosok negarawan yang mengutamakan rekonsiliasi. Ia menilai secara realistis bahwa kelanjutan perang tidak akan otomatis membawa kedamaian, bahkan justru dapat menunda atau menghancurkan proses pembangunan negara.
Al-Sharaa memahami bahwa momentum perubahan yang telah tercipta harus dimanfaatkan seutuhnya.
Tujuannya bukan sekadar mempertahankan kekuasaan, melainkan merestorasi hubungan luar negeri Suriah serta menetralkan lingkungan politik domestik dan regional yang telah terkontaminasi oleh kebijakan rezim sebelumnya.
Jika ingin menciptakan stabilitas dan mengembalikan posisi Suriah di tataran internasional, ia harus mengedepankan penyelesaian damai, bukan konfrontasi.
Dengan pendekatan itu, Al-Sharaa memutuskan untuk menjadikan perdamaian sebagai fondasi utama dalam membangun kekuatan negara.
Ia menilai bahwa penggunaan kekuatan secara berlebihan justru akan merusak sisa kekuatan yang ada.
Maka, ia mengusung pendekatan penyelesaian konflik total—menyasar “nol masalah”—untuk memperkuat stabilitas internal dan membuka kembali pintu hubungan luar negeri.
Langkah pertama adalah menjalin kemitraan baru melalui para sekutu internasional. Ia segera memperkenalkan wajah baru pemerintahan Suriah dan agenda kebijakannya, dengan memperhitungkan sensitivitas ideologi yang melekat pada pemerintahan baru.
Serangkaian pernyataan publik disampaikan melalui media internasional untuk meyakinkan berbagai negara bahwa Damaskus tidak lagi menjadi ancaman atau sumber ketidakstabilan regional, melainkan mitra yang fokus pada pembangunan dan masa depan.
Pendekatan ini berhasil mengejutkan banyak pihak dan menggambarkan sikap rasional serta moderat yang tidak banyak diduga sebelumnya.
Mengandalkan pengaruh sekutu
Presiden Al-Sharaa secara tegas meninggalkan semua kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Bashar al-Assad.
Ia berhasil memasarkan citra Suriah yang baru—Suriah yang ingin dicontoh banyak negara—tetapi keberhasilan ini tidak mungkin terjadi tanpa sokongan kuat dari negara-negara sekutu.
Al-Sharaa bersandar pada tiga negara kunci yang paling berkepentingan dengan stabilitas Suriah: Turki, Arab Saudi, dan Qatar.
Ketiga negara ini memiliki tujuan utama yang sejalan: mengeluarkan pengaruh Iran dari Suriah, menghentikan aliran senjata ke Hizbullah, memberantas produksi dan perdagangan narkoba jenis captagon yang menjadi ancaman global, serta mendorong stabilitas regional yang menjadi syarat utama bagi pembangunan kawasan.
Awalnya, mayoritas negara Arab menyikapi perubahan rezim di Suriah dengan kehati-hatian tinggi, kecuali Turki dan Qatar.
Al-Sharaa menyadari sejak awal perlunya dukungan Arab yang seimbang untuk mengimbangi dukungan regional yang sudah terlebih dulu diberikan oleh Turki.
Turki menjadi negara pertama yang mengirim utusan tingkat tinggi ke Damaskus setelah jatuhnya rezim Assad, sebuah langkah yang dapat dimengerti mengingat kedekatannya dengan oposisi selama 14 tahun revolusi.
Namun, untuk menghapus jejak masa lalu dan menyudahi konflik lama, Suriah membutuhkan pelukan dari dunia Arab.
Sebuah kebutuhan strategis untuk menciptakan keseimbangan antara utara dan selatan, serta membuka jalan bagi reintegrasi regional yang lebih luas.
Turki dan Qatar memainkan peran penting dalam membuka jalur komunikasi antara Damaskus dan Riyadh.
Dalam waktu singkat, Presiden Al-Sharaa menyampaikan berbagai sinyal politik positif kepada Arab Saudi.
Ia menyatakan komitmennya terhadap hubungan strategis dan luar biasa dengan kerajaan tersebut. Upaya itu membuahkan hasil: Putra Mahkota Mohammed bin Salman menerima Al-Syar’ di Riyadh, dan sebuah fase baru dimulai.
Arab Saudi, setelah meyakini bahwa mendukung pemerintahan baru di Damaskus akan membawa manfaat regional yang luas, tidak ragu memberikan dukungan politik dan finansial.
Hal ini memperkuat langkah-langkah Suriah untuk kembali ke panggung internasional dan mempercepat proses pelonggaran sanksi yang selama ini membelenggu, khususnya sanksi yang dijatuhkan akibat kekerasan sistematis di era Assad.
Dengan menguatnya posisi Suriah di arena diplomasi, serta mengalirnya dukungan Arab dan Eropa, upaya untuk mencabut sanksi semakin memperoleh momentum.
Sebagian besar sanksi dari negara-negara Eropa kini telah dicabut, dibekukan, atau diringankan.
Meski begitu, sanksi dari AS masih menjadi hambatan utama yang belum terpecahkan.
Hingga kini, pemerintahan Al-Sharaa terus memanfaatkan seluruh saluran diplomatik dan hubungan internasional barunya untuk menuntaskan persoalan sanksi, terutama yang berkaitan dengan Bank Sentral Suriah dan sistem transfer keuangan internasional SWIFT.
Tantangan utamanya adalah membongkar pendekatan hati-hati Washington yang cenderung terpengaruh oleh sikap Israel dalam menyikapi pemerintahan baru Damaskus.
Bertumpu pada legitimasi revolusi
Meskipun hubungan antara Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) dan revolusi Suriah mengalami dinamika yang beragam sepanjang waktu, pada akhirnya kelompok ini mengadopsi bendera revolusi saat mereka merancang dan melancarkan Operasi Penangkalan Agresi yang berhasil menggulingkan rezim Assad.
Pasca kemenangan pasukan komando militer, Presiden Sharaa perlu memperluas basis sosial untuk mengonsolidasikan pemerintahan baru.
Hal ini tidak mungkin dicapai tanpa mengaitkan kemenangan tersebut pada akumulasi panjang perjuangan sejak hari pertama revolusi meletus pada 2011. Ia pun melakukannya.
Pidato-pidato politik serta pernyataan resmi kini senantiasa menegaskan bahwa legitimasi pemerintahan berasal dari revolusi rakyat, bukan semata kelompok tertentu.
Namun, legitimasi ini bukan tanpa tantangan. Semakin kuat ia digunakan sebagai landasan pemerintahan, semakin tinggi pula ekspektasi publik agar revolusi diwujudkan dalam bentuk sistem politik demokratis yang plural, menjunjung tinggi kebebasan individu dan publik, serta menjaga martabat kemanusiaan rakyat Suriah.
Ini berarti bahwa pemerintah harus segera menyelenggarakan dialog nasional, merumuskan deklarasi konstitusional, dan membentuk pemerintahan transisi yang mencerminkan keragaman masyarakat Suriah.
Sampai saat ini, keseriusan pemerintah dalam merespons aspirasi rakyat telah memperkuat dukungan sosial terhadap pemerintahan pusat di Damaskus, serta menciptakan stabilitas di berbagai wilayah negara.
Menghadapi ancaman perpecahan dan pemberontakan
Presiden Syar’ mengadopsi pendekatan inspiratif dari sejarah Nabi Muhammad SAW saat menaklukkan Mekah, yakni memberikan amnesti bagi lawan-lawannya yang meletakkan senjata.
Dengan prinsip serupa, ia mengumumkan bahwa pemerintah baru akan memberikan pengampunan kepada semua anggota militer dan keamanan lama, kecuali mereka yang terlibat langsung dalam kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat.
Namun, pemberontakan bersenjata oleh sisa-sisa rezim di wilayah pesisir menandai pengecualian dari kebijakan ini.
Pemerintah terpaksa merespons dengan kekuatan militer, dan jatuhnya korban menjadi harga yang tak terhindarkan untuk mempertahankan stabilitas.
Di sisi lain, pemerintah lebih memilih diplomasi dalam menangani kelompok Kurdi yang tergabung dalam Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan mendirikan pemerintahan otonom di timur laut Suriah.
Dengan memanfaatkan persilangan kepentingan antara AS, Turki, dan stabilitas kawasan, serta rencana penarikan militer AS dari timur Sungai Eufrat, Al-Sharaa berhasil membawa pihak-pihak tersebut ke meja perundingan.
Hasilnya, tercapai kesepakatan resmi yang ditengahi AS, menyepakati pengakuan otoritas pusat di Damaskus dan integrasi pasukan SDF ke dalam militer nasional.
Kesepakatan ini kini memasuki tahap implementasi, meski menghadapi resistensi dari sejumlah pimpinan SDF yang khawatir kehilangan proyek otonomi mereka.
Selain itu, adanya intervensi dari pihak-pihak lain yang ingin menggagalkan stabilitas demi membuka peluang keterlibatan internasional baru atau pengaruh Rusia dalam mendukung desentralisasi yang mengarah pada pemisahan wilayah.
Hal serupa terjadi di selatan, khususnya di Suwayda, ketika salah satu tokoh utama komunitas Druze berusaha menggagalkan upaya pemerintah untuk menegakkan kendali di provinsi tersebut.
Bahkan, terdapat upaya komunikasi dengan Israel. Namun Sharaa tetap menjaga hubungan dengan elemen-elemen lokal yang mendukung pemerintah, dan menahan diri untuk tidak terjebak dalam konfrontasi terbuka.
Bahkan ketika sempat terjadi bentrokan di kawasan Jaramana dekat ibu kota antara pasukan pemerintah dan milisi loyalis tokoh Druze Sheikh al-Hajri, pemerintah mampu mengakhiri konflik melalui kesepakatan damai dan pengembalian keamanan.
Pernyataan-pernyataan Israel yang menyinggung perlindungan terhadap komunitas Druze Suriah, serta serangan militer terhadap instalasi pemerintah untuk mendukung milisi Jaramana.
Hal itu justru memperkuat basis sosial kelompok separatis dan mendorong agenda pembentukan pemerintahan otonom di Suwayda yang pro-Israel.
Dalam pembangunan institusi negara, Al-Sharaa juga menghindari pembersihan politik secara besar-besaran.
Ia lebih memilih pendekatan inklusif dengan melibatkan kader-kader lama dalam struktur pemerintahan baru.
Di saat yang sama, ia berupaya membangun kembali militer melalui formula kompromi: pertukaran senjata dengan partisipasi dalam lembaga negara. Proses ini tidaklah instan, mengingat membangun militer dari nol memerlukan waktu dan konsistensi.
Ia juga membuka pintu bagi para pembelot militer dari masa lalu untuk kembali bergabung dengan tentara nasional, mencegah konflik internal yang berpotensi memecah belah, serta menjamin komitmen semua pihak terhadap stabilitas negara.
Meski proses integrasi kelompok-kelompok bersenjata ke dalam militer masih di tahap awal dan berjalan lambat, penyediaan pendanaan serta peralatan militer strategis menjadi prioritas untuk menjamin kelangsungannya.
Menimbang hasil akhir
Hingga kini, Presiden Sharaa tetap menunjukkan komitmennya terhadap strategi yang telah ia tetapkan.
Strategi yang tidak lazim namun penuh harapan ini terbukti berhasil membawa Suriah ke arah stabilitas, sekaligus menjaga hubungan internasional tetap terkendali, termasuk menahan diri dari konfrontasi dengan Israel yang sempat menggoda untuk dijadikan alat tekanan terhadap Damaskus.
Strategi ini juga memungkinkan Suriah untuk menavigasi kepentingan global yang saling bertentangan—antara Eropa, Rusia, AS, Turki, dan negara-negara Arab—sekaligus memberikan jaminan atas keamanan kawasan dan memperkuat posisi Suriah sebagai negara penentu stabilitas regional.
Strategi “kekuatan lewat perdamaian” yang dipadukan dengan pendekatan rekonsiliasi dan pembagian kekuasaan ini berhasil mengembalikan logika negara dan memperkuat tekad untuk membangunnya.
Namun, lambannya hasil konkret yang dirasakan rakyat bisa menggerus legitimasi pemerintahan baru jika tidak segera diimbangi oleh 2 hal.
Yaitu, pencapaian nyata yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat, serta pelibatan lebih luas terhadap kalangan profesional dan kompeten dalam lembaga-lembaga pemerintahan, untuk menghindari eksklusivitas dan menjaga kepercayaan publik.
*Abdul Rahman Al-Hajj adalah akademisi dan peneliti yang mengkhususkan diri dalam gerakan Islamis. Ia adalah direktur Yayasan Memori Suriah dan mantan penasihat pendidikan Perdana Menteri Pemerintah Sementara Suriah. Sebelumnya, ia menjabat sebagai profesor universitas di Universitas Ilmu Sosial Ankara dan peneliti di Pusat Penelitian dan Studi Kebijakan Arab (Doha). Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “4 Istirātījiyyāt Hāsimah Yahkumu bihā al-Syara'”.