Friday, June 13, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Freedom Flotilla berhasil capai misinya

OPINI – Freedom Flotilla berhasil capai misinya

Oleh: Yara Hawari

Pada dini hari 9 Juni, kapal layar Madleen yang membawa 12 aktivis dari tujuh negara dicegat pasukan Israel di perairan internasional, tak jauh dari pesisir Jalur Gaza.

Kapal ini telah berlayar selama lebih dari sepekan, membawa bantuan kemanusiaan berupa pasokan makanan—simbolik dalam jumlah, namun besar dalam makna.

Di antara aktivis di atas kapal terdapat Greta Thunberg, sosok muda yang selama ini tak henti dihujat oleh para politisi Israel karena dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Pihak penyelenggara, Freedom Flotilla Coalition (FFC), menyadari sejak awal bahwa misi ini kemungkinan besar tidak akan berhasil menembus blokade laut Israel.

Bahkan, bantuan yang dibawa Madleen nyaris tidak berarti dibanding kebutuhan harian rakyat Gaza.

PBB memperkirakan bahwa setidaknya dibutuhkan 500 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar warga di wilayah yang terkepung itu.

Namun demikian, Madleen telah menyelesaikan misinya—yakni mengirimkan pesan kuat kepada dunia: Gaza tidak dilupakan.

Keberangkatan kapal ini adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap kelumpuhan hukum internasional dan kelambanan komunitas global dalam menghentikan blokade dan kekerasan sistemik yang menimpa dua juta lebih penduduk Gaza.

Dalam beberapa bulan terakhir, FFC telah mengorganisasi berbagai upaya untuk menembus blokade.

Pada Mei lalu, kapal Conscience yang juga dirancang untuk menuju Gaza diserang oleh drone tak jauh dari wilayah Malta.

Kerusakan yang ditimbulkan membuat kapal tersebut tak dapat melanjutkan perjalanan.

Koalisi ini bukan baru berdiri kemarin. Sejak 15 tahun lalu, mereka konsisten menyuarakan solidaritas terhadap rakyat Palestina.

Salah satu peristiwa paling dikenal adalah tragedi Mavi Marmara pada 2010, ketika enam kapal dari Turki berlayar menuju Gaza namun dicegat pasukan Israel di laut lepas.

Serangan terhadap kapal Mavi Marmara menewaskan sembilan aktivis—semuanya warga negara Turki. Hingga kini, keadilan bagi para korban belum ditegakkan.

Noam Chomsky, dalam refleksinya usai insiden tersebut, mencatat bahwa selama puluhan tahun Israel telah berkali-kali membajak kapal sipil di perairan internasional. Mereka menculik atau membunuh penumpang, bahkan menahan mereka bertahun-tahun.

“Israel yakin bisa bertindak sewenang-wenang karena AS membiarkannya, dan Eropa cenderung mengikuti AS,” tulis Chomsky.

Secara hukum, pencegatan atas kapal Mavi Marmara maupun Madleen di perairan internasional tidak sah.

Tidak ada dasar hukum yang memberi kewenangan kepada Israel untuk menahan warga sipil asing yang tengah melakukan misi kemanusiaan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Huwaida Arraf, pengacara keturunan Palestina-Amerika sekaligus pengorganisir FFC, bahwa para relawan tersebut tidak berada dalam yurisdiksi Israel dan tidak dapat dikriminalisasi.

“Karena memberikan bantuan atau menantang blokade ilegal. Penahanan mereka bersifat sewenang-wenang dan harus segera dihentikan,” katanya.

Gaza terletak di tepi Laut Tengah, namun ironisnya, selama puluhan tahun wilayah ini nyaris sepenuhnya terputus dari laut dan dunia sekitarnya.

Sejak 2007, Israel secara resmi memberlakukan blokade udara, darat, dan laut terhadap Gaza.

Namun, pembatasan akses terhadap pesisir Gaza sejatinya telah dilakukan jauh sebelumnya oleh angkatan laut Israel, yang secara sistematis memantau dan menekan setiap upaya konektivitas maritim dari dan ke wilayah itu.

Perjanjian Oslo 1993 tidak memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat Palestina atas perairan mereka sendiri.

Sebagai gantinya, mereka hanya diberikan hak terbatas untuk mengakses hingga 20 mil laut (sekitar 37 kilometer) dari garis pantai Gaza untuk keperluan menangkap ikan, rekreasi, serta eksplorasi sumber daya alam, termasuk gas alam.

Jarak itu hanyalah 10 persen dari batas kedaulatan maritim 200 mil laut sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Namun, bahkan hak terbatas itu pun secara konsisten dilanggar. Wilayah laut yang diizinkan bagi nelayan Palestina terus dikerdilkan oleh otoritas Israel.

Akibatnya, nelayan Gaza dipaksa menangkap ikan dalam area sempit yang telah mengalami eksploitasi berlebihan.

Tradisi maritim yang sejak lama menjadi identitas pesisir Gaza pun kian tergerus. Industri perikanan lokal hancur, dan nelayan menjadi target langsung serangan.

Sejak agresi militer terbaru yang banyak disebut sebagai genosida, nelayan-nelayan Gaza tidak hanya kehilangan ruang gerak, tapi juga nyawa, perahu, dan peralatan mereka.

Salah satu korban dari kehancuran ini adalah Madleen Kulab, satu-satunya nelayan perempuan di Gaza.

Ibu 4 anak ini berkali-kali terusir dari rumahnya, dan kini bertahan hidup di hunian yang rusak. Ia tak lagi bisa melaut.

Namanya kini diabadikan dalam kapal Freedom Flotilla, sebagai simbol keteguhan dan kehilangan yang mendalam.

Di tengah situasi ini, hukum internasional memberikan mandat yang jelas: negara-negara anggota PBB memiliki kewajiban bertindak ketika kejahatan berat seperti genosida tengah berlangsung.

Termasuk dalam mandat ini adalah sanksi, embargo senjata, dan tindakan konkret lainnya untuk menghentikan pelanggaran.

Sayangnya, banyak negara, termasuk Uni Eropa—tempat asal sebagian besar aktivis kapal Madleen—gagal memenuhi tanggung jawab tersebut.

Alih-alih menjatuhkan sanksi, mereka terus memasok senjata ke Israel, meski opini publik di Eropa secara mayoritas menentang kebijakan tersebut.

Para aktivis yang menaiki Madleen memahami bahwa mereka nyaris mustahil tiba di Gaza. Namun, mereka tetap memilih menempuh risiko besar demi menunjukkan bentuk solidaritas yang nyata.

Aksi ini bukan hanya tantangan terhadap blokade fisik, tapi juga terhadap kebungkaman politik yang melingkupi banyak negara.

Greta Thunberg menegaskan semangat mereka: “Apa pun rintangannya, kita harus terus mencoba, karena ketika kita berhenti mencoba, di situlah kemanusiaan kita hilang.”

Kapal Madleen memang gagal mencapai pantai Gaza, namun misinya menembus batas-batas geografis dan menggugah nurani global.

Blokade itu kini terlihat, dan tak akan berlangsung selamanya. Setiap kapal yang dihentikan, setiap aktivis yang ditahan, dan setiap bentuk perlawanan sipil adalah penegasan bahwa Gaza tidak dilupakan.

Selama kebebasan belum ditegakkan dan keadilan belum hadir, laut akan terus menjadi medan perjuangan demi pembebasan Palestina.

*Yara Hawari adalah salah satu direktur Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina. Sebelumnya, ia menjabat sebagai peneliti kebijakan Palestina dan analis senior. Yara menyelesaikan gelar doktornya dalam Politik Timur Tengah di University of Exeter, tempat ia mengajar berbagai mata kuliah sarjana dan terus menjadi peneliti kehormatan. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera dengan judul “The Freedom Flotilla Achived its Mission”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular