Oleh: Omar Koush*
Kunjungan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa ke New York dalam rangka menghadiri Sidang Majelis Umum PBB ke-80 menjadi peristiwa bersejarah yang sarat makna.
Kehadiran Sharaa bukan sekadar agenda diplomasi biasa, melainkan menandai sebuah titik balik bagi Suriah pasca-runtuhnya rezim otoriter Bashar al-Assad.
Bagi rakyat Suriah, kunjungan ini dipandang sebagai momentum yang melampaui seremoni politik.
Setelah melalui masa panjang penuh penderitaan di bawah kekuasaan represif, banyak yang menggantungkan harapan bahwa lawatan Sharaa akan membawa hasil konkret.
Terutama pada upaya memperbaiki kehidupan sehari-hari mereka yang masih terhimpit krisis ekonomi dan jeratan sanksi internasional.
Pentingnya kunjungan
Makna strategis dari kunjungan ini tidak hanya terletak pada kenyataan bahwa Sharaa menjadi presiden Suriah pertama yang berpidato di Majelis Umum sejak Juni 1967.
Ada sejumlah faktor lain yang menegaskan signifikansinya.
Pertama, lawatan tersebut memutus lingkaran isolasi internasional yang membelenggu Suriah selama puluhan tahun.
Rangkaian pertemuan bilateral dengan berbagai pemimpin dunia menjadi bukti nyata. Sharaa bertemu langsung dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, hingga Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Selain itu, ia juga menghadiri sejumlah forum penting, termasuk KTT Concordia Global.
Kedua, kesempatan berbicara di podium PBB dimanfaatkan Sharaa untuk memperkenalkan wajah baru Suriah. Sebuah negara yang berupaya menapaki jalan stabilitas, rekonstruksi, dan pembangunan tata hukum.
Dengan demikian, Suriah ingin keluar dari citra lama sebagai negara konflik dan menghadirkan narasi baru di hadapan dunia internasional.
Ketiga, Sharaa menyampaikan pesan jelas kepada para pemimpin dunia bahwa dirinya tampil sebagai figur politik yang pragmatis.
Fokus utama pemerintahannya ialah memulihkan negeri yang porak-poranda akibat warisan rezim lama, sekaligus membangun hubungan berbasis dialog, kepentingan timbal balik, dan kerja sama regional.
Ia juga berusaha menenangkan kekhawatiran negara-negara tetangga dengan menegaskan bahwa Suriah yang baru tidak akan menjadi sumber ancaman.
Keempat, momentum lawatan ini selaras dengan dinamika baru di kawasan dan dunia internasional yang mulai menyambut positif perubahan di Damaskus.
Dunia kini mencermati langkah-langkah konkret yang ditempuh pemerintahan baru, baik di ranah domestik maupun hubungan luar negeri.
Kelima, dimensi simbolik dari kunjungan ini tak kalah penting. Liputan media internasional yang luas menjadikan Suriah kembali masuk dalam perhatian global.
Sharaa pun muncul sebagai sosok politik yang mendapat sorotan dan pengakuan, sekaligus melambangkan dimulainya fase baru dalam hubungan internasional Suriah.
Hasil kunjungan
Kunjungan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa ke New York merupakan bagian dari agenda strategis pemerintahan baru dalam merumuskan arah kebijakan luar negeri serta menyampaikan suara rakyat Suriah kepada dunia.
Perjalanan ini tidak terjadi tiba-tiba. Persiapan dilakukan jauh hari, dengan menyusun program yang padat dan menyentuh berbagai sisi.
Langkah pertama dimulai dengan pertemuan Sharaa bersama komunitas diaspora Suriah di AS.
Pesan yang ingin ditegaskan jelas: warga Suriah di luar negeri adalah bagian tak terpisahkan dari proyek kebangkitan Suriah baru.
Keahlian, modal, dan pengalaman mereka dibutuhkan untuk mendukung investasi dan pembangunan, yang hasilnya akan kembali kepada seluruh rakyat Suriah.
Memang terlalu dini untuk menilai sepenuhnya hasil kunjungan tersebut. Tidak ada ekspektasi bahwa semua persoalan akan selesai seketika. Namun, sejumlah poin penting dapat dicatat.
Pertama, Sharaa mendengar langsung komitmen AS untuk mulai membuka jalan menuju pencabutan sanksi.
Pertemuan dengan sejumlah anggota Kongres AS memberi sinyal bahwa perkembangan nyata di bidang ini mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Kedua, perundingan terkait perjanjian keamanan dengan Israel belum mencapai titik final, meskipun ada kemajuan. Upaya mediasi yang didorong utusan Amerika, Tom Barrack, belum mampu menjembatani seluruh perbedaan.
Pihak Suriah menolak tuntutan Israel untuk membuka jalur darat menuju Provinsi Suwaida.
Sebaliknya, Sharaa menegaskan bahwa tahap pertama perjanjian keamanan mestinya mengembalikan Israel ke garis gencatan senjata 1974, setelah sebelumnya melakukan penetrasi ke wilayah Suriah.
Jika Israel memiliki kekhawatiran keamanan, hal itu bisa dibicarakan melalui mediator regional dan internasional, termasuk AS.
Dengan kata lain, prasyarat mutlak bagi perdamaian adalah penarikan Israel dari tanah Suriah yang didudukinya pasca-kejatuhan rezim Assad.
Namun, sebagaimana sering terjadi, Israel terlihat kembali menempuh politik tarik-ulur.
Ketiga, sejumlah pernyataan dari pejabat Amerika dan Eropa setelah bertemu dengan Presiden Sharaa dan Menteri Luar Negeri serta Urusan Ekspatriat Asad al-Syibani menunjukkan tanda-tanda keterbukaan ekonomi.
Fokus utama ialah peluang investasi dan pembahasan serius mengenai pencabutan penuh sanksi, termasuk UU “Caesar”.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahkan menegaskan bahwa ia telah berdialog dengan Sharaa tentang tujuan bersama menjadikan Suriah negara yang berdaulat, stabil, dan sejahtera, sejalan dengan komitmen Presiden Donald Trump untuk menghapus sanksi.
Keempat, Menteri Luar Negeri Syibani mengungkapkan bahwa penguatan hubungan, pencabutan sanksi, dan pemulihan ekonomi menjadi topik dominan dalam pertemuan dengan pejabat Barat.
Ia tidak menutup optimismenya bahwa seluruh sanksi, termasuk UU Caesar, akan segera dicabut.
Kelima, Presiden Dewan Eropa Antonio Costa bersama Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menegaskan kembali komitmen Uni Eropa untuk memperluas dialog politik dengan Suriah.
Mereka juga menyatakan kesediaan membantu pemenuhan kebutuhan kemanusiaan mendesak, sekaligus mendukung pemulihan sosial-ekonomi sebagai bagian dari proyek rekonstruksi pascakonflik.
Dimensi ekonomi
Selain agenda politik dan diplomatik, kunjungan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa ke New York juga memiliki bobot ekonomi yang tak kalah penting.
Salah satu pertemuan kunci adalah diskusi meja bundar yang diadakan oleh Kamar Dagang AS.
Forum ini mempertemukan Sharaa dengan perwakilan dari 39 perusahaan raksasa dunia, antara lain Google, Microsoft, Chevron, Bechtel, Boeing, Mastercard, Citi, Visa, Motorola, Abbott, PepsiCo, Shell, TotalEnergies, dan Uber.
Pertemuan tersebut membuka ruang dialog mengenai peluang investasi di Suriah, termasuk potensi di sektor teknologi, energi, infrastruktur, dan kesehatan.
Pesan yang ingin ditegaskan adalah bahwa Suriah pasca-konflik tengah membuka diri untuk menjadi mitra ekonomi yang dapat dipercaya, dengan kebutuhan besar untuk rekonstruksi dan modernisasi.
Sharaa juga mengambil bagian aktif dalam Konferensi Concordia, forum tahunan yang berlangsung paralel dengan Sidang Umum PBB, dan dihadiri oleh investor utama serta pakar ekonomi global.
Tema besar yang dibahas meliputi rekonstruksi, pembangunan berkelanjutan, serta pola kemitraan publik-swasta.
Sorotan khusus jatuh pada sesi dialog yang dipandu oleh mantan Direktur CIA, Jenderal Purnawirawan David Petraeus, dengan menghadirkan Sharaa sebagai tamu utama.
Sesi ini menjadi simbol bahwa isu Suriah kembali menempati panggung global, bukan semata dari sisi konflik, melainkan juga dalam konteks prospek ekonomi.
Partisipasi Suriah di forum Concordia dapat disebut sebagai titik balik ekonomi. Untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, Suriah dipromosikan sebagai tujuan investasi potensial bagi perusahaan Amerika dan mitra global lainnya.
Keterlibatan ini membuka kanal komunikasi langsung antara pemerintah Suriah dan pelaku bisnis internasional, memberikan mereka gambaran awal tentang peluang konkret yang bisa dikerjakan bersama.
Dalam sesi tanya jawab, Sharaa menekankan bahwa ada banyak ruang untuk berbicara dalam bahasa kepentingan bersama.
“Saat ini terdapat kepentingan yang sejalan—saya tidak menyebutnya berseberangan—antara Suriah, Amerika, dan Barat secara umum. Jika kita mau bicara dalam bahasa kepentingan, ada banyak hal yang bisa menjadi dasar kerja sama ke depan,” ujarnya.
Ia juga mencoba menenangkan kekhawatiran terkait isu minoritas dan hak asasi manusia.
Sharaa menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti melakukan pelanggaran akan dihadapkan ke pengadilan.
“Setiap orang yang tangannya berlumuran darah akan dibawa ke meja hukum,” katanya kembali menekankan komitmennya:
Kesimpulan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap isu politik akan selalu berdampak langsung pada ekonomi.
Bagi Suriah, keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan politik—baik di tingkat domestik maupun internasional—akan membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat.
Stabilitas politik akan menjadikan Suriah lebih menarik bagi investor, sekaligus memperkokoh fondasi pembangunan jangka panjang.
Karena itu, perhatian tidak boleh hanya diarahkan keluar, tetapi juga ke dalam negeri. Penataan “rumah dalam negeri” menjadi prioritas.
Langkah-langkah nyata untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat Suriah dalam pemerintahan baru akan menjadi kunci.
Inklusivitas ini tidak hanya memperkuat kohesi sosial, tetapi juga meningkatkan kemampuan bangsa Suriah dalam menghadapi beragam tantangan, baik yang bersifat politik, ekonomi, maupun keamanan.
*Omar Koush merupakan penasihat hukum tentang berbagai masalah hukum, khususnya yang berkaitan dengan Kawasan Timur Tengah. Pengalaman terkini beliau mencakup transaksi di Yordania, Dubai, Arab Saudi, Erbil, dan Kuwait. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Abrazu natāij Ziyārah al-Syara’ Ilā Niyūyūrk”.