Oleh: Ahmad Al-Hila
Pelaksanaan perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan pendudukan Israel mengalami kebuntuan dalam beberapa minggu terakhir, meskipun komunikasi politik terus berlanjut.
Hal ini disebabkan oleh kelicikan Netanyahu dan ketidakmauannya untuk berkomitmen, terutama penolakannya untuk memasuki tahap kedua perjanjian.
Ia terus berusaha memperpanjang tahap pertama dan melanjutkan pembebasan tawanan sebagai syarat untuk mengizinkan kembali masuknya bantuan dan obat-obatan ke Gaza.
Bahaya dari strategi perpanjangan yang dilakukan Netanyahu adalah bahwa hal itu tidak mengharuskannya untuk memenuhi komitmen dalam perjanjian awal.
Terutama janjinya untuk menghentikan agresi dan melakukan penarikan penuh dari Jalur Gaza sebagai langkah awal rekonstruksi.
Selain itu, strategi ini juga menciptakan jalur baru dengan konsep bantuan sebagai imbalan bagi tahanan secara bertahap. Tujuannya untuk menghilangkan kartu tawar-menawar utama pihak Palestina.
Netanyahu dan upaya melarikan diri
Netanyahu lebih memilih untuk tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata yang ia tandatangani secara terpaksa di bawah tekanan utusan Amerika, Steven Witkoff, karena beberapa alasan utama:
Pertama, potensi jatuhnya pemerintahannya. Jika ia memenuhi perjanjian dengan menghentikan perang di Gaza dan menarik pasukan secara penuh, pemerintah koalisinya kemungkinan besar akan runtuh.
Hal ini akan memaksanya menghadapi pemilu baru, di mana semua survei menunjukkan bahwa ia akan kalah. Dengan kata lain, ia akan menjadi minoritas di Knesset dan kehilangan posisinya sebagai Perdana Menteri, yang menandai akhir dari karier politiknya yang suram.
Kedua, ancaman investigasi dan pertanggungjawaban. Netanyahu bisa menghadapi komisi penyelidikan resmi yang mungkin menyalahkannya secara historis atas kegagalan dalam peristiwa 7 Oktober (Operasi Thaufan Al-Aqsha). Selain itu, ia juga gagal mencapai tujuan perang brutalnya terhadap Gaza, yang berdampak strategis bagi Israel baik secara internal maupun eksternal.
Ketiga, persepsi kekalahan oleh sayap kanan Israel. Bagi kelompok sayap kanan ekstrem di Israel, perjanjian ini adalah kekalahan besar. Perang Israel di Gaza dinilai gagal, sehingga merusak citra negara itu sebagai kekuatan yang ditakuti di Timur Tengah.
Tentara Israel tidak lagi dianggap sebagai pasukan yang tak terkalahkan. Pada saat yang sama, Mahkamah Internasional sedang mempertimbangkan kasus genosida terhadap Israel, sementara Netanyahu sendiri menghadapi surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional atas kejahatan perang.
Pandangan kelompok sayap kanan Israel ini tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan pemerintahan Amerika Serikat, yang berusaha mencapai beberapa tujuan utama:
- Menghentikan perang di Gaza, karena kelanjutannya dapat berdampak negatif terhadap kunjungan Presiden Trump ke Arab Saudi dalam satu atau dua bulan ke depan. Trump ingin menjalin kemitraan ekonomi dan mewujudkan “perdamaian” melalui normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
- Pembebasan tawanan, terutama warga negara Amerika, sebagai pencapaian politik yang ingin dimanfaatkan Trump sebagai keberhasilan besar dalam bulan-bulan pertama pemerintahannya.
Hal ini menjelaskan mengapa utusan khusus Amerika untuk urusan tawanan, Adam Boehler, secara langsung berkomunikasi dengan Hamas.
“Kami bukan agen Israel. Amerika memiliki kepentingan sendiri yang membuatnya harus berkomunikasi langsung dengan Hamas,” kata Menteri Urusan Strategis Israel, Ron Dermer, ketika Israel menyampaikan keberatannya.
Perbedaan pandangan antara Washington dan Netanyahu ini belum mencapai titik kritis yang memaksa pemerintahan Amerika untuk menekan Netanyahu agar melaksanakan tahap kedua perjanjian gencatan senjata.
Netanyahu saat ini mengerahkan sekutu-sekutunya di Washington untuk menekan pemerintahan Trump agar menghentikan komunikasi langsung dengan Hamas dan mendukung tuntutannya.
Ia takut jika Amerika mencapai kesepakatan langsung dengan Hamas, ia tidak akan bisa menolak perjanjian tersebut karena tekanan dari Presiden Trump.
Selain itu, komunikasi langsung antara Amerika dan Hamas juga menghilangkan monopoli informasi yang selama ini hanya datang dari Israel.
Selama ini, Israel memanfaatkan posisinya untuk menggambarkan Hamas dan rakyat Palestina sebagai teroris dan “binatang buas” dalam upaya mendiskreditkan mereka di mata dunia.
Hamas dan realitas sulit
Hamas menghadapi situasi kemanusiaan yang sulit dan kompleks di Jalur Gaza. Hamas berusaha keras untuk menembus blokade yang melumpuhkan Gaza dengan menyediakan kebutuhan dasar bagi rakyat Palestina, sambil tetap mempertahankan hak-hak nasional mereka.
Strategi negosiasi Hamas didasarkan pada beberapa prinsip utama, di antaranya:
- Pertama: Menjaga perjanjian gencatan senjata yang telah ditandatangani dan ditegaskan dengan darah rakyat Palestina. Perjanjian ini telah memberikan pencapaian penting bagi Gaza. Seperti kembalinya para pengungsi, kemungkinan penghentian tembak-menembak yang berkelanjutan, penarikan penuh tentara pendudukan, rekonstruksi, serta masuknya bantuan kemanusiaan.
- Kedua: Hamas merespons secara positif terhadap setiap manuver negosiasi atau usulan dari mediator, asalkan menjadi bagian dari perjanjian atau mengarah pada implementasi perjanjian utama. Hal itu mencakup penarikan pasukan pendudukan, penghentian agresi, dan rekonstruksi. Dengan kata lain, Hamas lebih mementingkan substansi daripada bentuk.
Dalam konteks ini, beberapa ide dan proposal sedang dipertimbangkan, seperti pembebasan sejumlah tawanan dalam jumlah terbatas—mungkin termasuk mereka yang memiliki kewarganegaraan Amerika—sebelum tahap kedua dimulai. Atau, pembebasan semua tawanan sekaligus dengan komitmen penuh terhadap semua kewajiban dalam perjanjian yang telah disepakati.
Namun, Netanyahu terus menghindar dan mencoba melewati akhir bulan Maret tanpa adanya kesepakatan yang memaksanya untuk menghentikan perang.
Ia melakukan ini untuk menjaga stabilitas koalisi pemerintahannya yang ekstremis serta memastikan pengesahan anggaran negara pada akhir bulan ini.
Jika anggaran tidak disetujui, pemerintahannya bisa runtuh secara konstitusional, yang dapat mengarah pada pemilu dini—tantangan besar bagi Netanyahu dan mitranya, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mungkin gagal kembali ke Knesset (parlemen).
Apakah Washington akan bertindak?
Sudah jelas bahwa pertimbangan Netanyahu lebih bersifat pribadi, berkaitan dengan masa depan politiknya dan kelangsungan koalisi ekstremisnya.
Perhitungannya ini tidak mencerminkan konsensus nasional dan bahkan tidak didukung oleh mayoritas opini publik Israel. Mereka menginginkan pembebasan tawanan sekaligus dan penghentian perang, meskipun Hamas tetap menjadi bagian dari lanskap politik di Gaza.
Proses negosiasi menunjukkan bahwa mediator Qatar dan Mesir berkomitmen pada implementasi perjanjian yang telah disepakati.
Namun, meskipun Amerika Serikat (AS) menekan Netanyahu untuk menandatangani perjanjian itu. Mereka tetap berpihak pada Israel dan mencoba membantu Netanyahu dalam manuver politiknya.
Dengan membiarkan Gaza terancam “neraka” dan tetap diam terhadap penghentian bantuan kemanusiaan—yang seharusnya menjadi bagian dari tahap pertama perjanjian—Washington berusaha menekan Hamas agar memberikan konsesi yang sejalan dengan tuntutan keras Netanyahu.
Pertarungan diplomasi ini masih berlangsung, dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Namun, perang besar dan agresi terbuka terhadap Gaza tampaknya tidak mungkin dilanjutkan karena penolakan publik Israel serta perbedaan dengan visi Presiden Trump sejauh ini.
Karena opsi perang besar tidak lagi realistis, Israel kini menggunakan penghentian bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang terhadap warga sipil di Gaza.
Tujuannya untuk mencapai tujuan politik—suatu bentuk hukuman kolektif yang tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meskipun rakyat Palestina menghadapi bencana kemanusiaan yang sangat parah, posisi Netanyahu juga tidak kuat untuk memaksakan syarat-syaratnya.
Ia telah gagal secara militer, kehilangan kepercayaan publik Israel, serta terlibat dalam konflik internal dengan pimpinan aparat keamanan.
Salah satu bukti terbaru dari ketegangan ini adalah perselisihan terbuka antara Netanyahu dan kepala Shin Bet, Ronen Bar, yang sebagian dipicu oleh isu tahanan. Netanyahu dituduh memperlambat penyelesaiannya demi kepentingan politik pribadinya.
Aparat keamanan Israel percaya bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membebaskan tawanan, setelah Netanyahu sebelumnya menyia-nyiakan banyak peluang.
Namun, bagi Netanyahu, mempertahankan eskalasi dan mengangkat slogan perang tetap menjadi prioritas untuk menghindari pertanggungjawaban atas kegagalannya. Ini menjadikan isu tawanan sebagai medan konflik internal di Israel sendiri.
Faktor penentu dalam negosiasi ini adalah peran Amerika Serikat, yang memiliki kekuatan untuk memutus lingkaran setan yang diciptakan oleh Netanyahu.
Pertanyaannya sekarang: akankah pemerintahan Presiden Trump bertindak tegas, atau justru Netanyahu akan berhasil menyeret administrasi baru AS ke dalam jebakan politiknya untuk menghindari perjanjian dan kewajiban yang telah disepakati?
*Penulis dan analis tentang Palestina. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Lihādzihi al-Asbāb Nitanyāhū Khāif”.