Tuesday, June 10, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOpiniOPINI - Kapal Madleen tunjukkan kepada dunia bagaimana seharusnya bertindak untuk Gaza

OPINI – Kapal Madleen tunjukkan kepada dunia bagaimana seharusnya bertindak untuk Gaza

Oleh: Soumaya Ghannoushi

Pada dini hari Senin, 9 Juni 2025, kapal Madleen yang membawa bantuan kemanusiaan menuju Jalur Gaza dicegat oleh pasukan militer Israel di perairan internasional. Kapal yang berlayar di bawah bendera Inggris ini mengangkut 12 awak sipil dari berbagai negara, termasuk aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, dan anggota Parlemen Eropa asal Prancis, Rima Hassan.

Mereka berupaya menembus blokade laut Israel untuk menyampaikan solidaritas dan bantuan kepada warga Gaza yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan.

Nama Madleen diambil dari Madleen Kulab, nelayan perempuan pertama dan satu-satunya dari Gaza. Pada usia 13 tahun, Madleen menggantikan ayahnya sebagai nelayan di tengah blokade dan ancaman.

Ia kemudian menjadi pemilik usaha kecil yang memberdayakan orang lain, menawarkan tur perahu di bawah kanopi ungu, dan membangun masa depan di tempat yang penuh tantangan. Kapal ini bukan sekadar sarana transportasi, tetapi juga simbol keberanian dan harapan.

Israel menyebut misi ini sebagai “provokasi media” dan menuduh para aktivis mendukung Hamas. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bahkan menyebut Thunberg sebagai “propagandis Hamas antisemit.”

Para awak kapal ditahan di Pelabuhan Ashdod dan direncanakan untuk dideportasi ke negara asal mereka. Sebelumnya, kapal ini juga sempat menyelamatkan empat migran Sudan yang terombang-ambing di laut.

Aksi ini mengingatkan pada insiden serupa pada 2010, ketika pasukan Israel menyerbu kapal Mavi Marmara, menewaskan sembilan aktivis.

Namun, para aktivis di atas Madleen menegaskan bahwa Palestina bukan hanya masalah regional, tetapi telah menjadi persoalan moral dunia.

Greta Thunberg, melalui akun media sosialnya, menyerukan agar pemerintah yang tidak bertindak segera mengambil langkah nyata: “Ketika pemerintah kita gagal, kita yang harus bertindak.”

Reaksi Israel terhadap kapal kecil ini menunjukkan ketegangan moral yang semakin dalam. Alih-alih merespons dengan empati, Israel justru memperlihatkan sikap agresif dan delusional.

Sementara itu, Gabor Maté, seorang penyintas Holocaust dan ahli trauma, menyampaikan pesan dukungan kepada para aktivis: “Hari ini, kalian mewakili para pejuang itu. Kalian membawa seluruh umat manusia bersama kalian.”

Pemerintah Spanyol dan Swedia telah memberikan bantuan konsuler kepada warganya yang terlibat dalam misi ini.

Namun, negara-negara Arab, seperti Mesir, memilih untuk diam. Mesir menutup perbatasan Rafah dan tidak memberikan dukungan langsung kepada misi ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang solidaritas regional terhadap Palestina.

Insiden ini mengingatkan kita pada peristiwa Dunkirk pada tahun 1940, di mana kapal-kapal sipil menyeberangi Selat Inggris untuk menyelamatkan tentara yang terperangkap. Pertanyaannya sekarang adalah: “Apa yang akan kita lakukan?” Apakah kita akan tetap diam, ataukah kita akan bertindak untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan?

Kapal Madleen bukan hanya sebuah kapal; ia adalah simbol dari keberanian, solidaritas, dan harapan.

Meskipun dicegat dan awaknya ditahan, pesan yang dibawanya tetap hidup: bahwa kemanusiaan harus diutamakan, dan blokade serta penindasan harus dihentikan. Kini, bola ada di tangan kita: apakah kita akan menjadi bagian dari perubahan, atau hanya menjadi saksi bisu dari sejarah?

Soumaya Ghannoushi adalah seorang penulis Tunisia berkebangsaan Inggris dan pakar politik Timur Tengah. Karya jurnalistiknya telah dimuat di The Guardian, The Independent, Corriere della Sera, aljazeera.net dan Al Quds. Beberapa tulisannya dapat ditemukan di: soumayaghannoushi.com dan dia mencuit di @SMGhannoushi. Artikel ini diambil dari opininya di Middle East Eye berjudul Gaza flotilla: The Madleen shows us the world as it could be.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular