Saturday, November 8, 2025
HomeBeritaOPINI - Kemenangan Mamdani, Akhir Era Zionisme?

OPINI – Kemenangan Mamdani, Akhir Era Zionisme?

Oleh: Ranjan Solomon

Kemenangan Zohran Mamdani dalam pemilu di New York lebih dari sekadar kejutan politik lokal; ini adalah momen simbolis dalam pelan-pelan runtuhnya politik berbasis ketakutan di seluruh dunia. Mamdani, seorang sosialis muda Muslim keturunan Uganda-India, mengalahkan seluruh kekuatan kampanye lobi pro-Israel yang berusaha melabelinya sebagai ekstremis karena dukungannya yang tanpa kompromi terhadap hak-hak Palestina.

Namun, alih-alih mundur, para pemilih di distrik tersebut mendukung politik yang berakar pada kesetaraan, keadilan sewa, dan solidaritas lintas agama serta ras. Resonansi moral dari kemenangannya melampaui Queens. Ini menimbulkan pertanyaan bagi kaum Zionis yang mendefinisikan identitas mereka melalui permusuhan terhadap “yang lain”: jika politik sipil yang plural dan sekuler bisa menang di Barat, mengapa hal yang sama tidak bisa tumbuh di tanah tempat lahir tiga agama?

Selama beberapa dekade, Zionisme bertahan pada ilusi bahwa keamanan Yahudi bergantung pada dominasi permanen. Kanan Israel—yang diwujudkan hari ini dalam Likud dan mitra ekstremisnya—telah mengubah ilusi itu menjadi kebijakan: ekspansi permukiman, hukuman kolektif, dan supremasi agama yang disakralkan sebagai doktrin keamanan. Namun, seperti yang diperingatkan Hannah Arendt pada tahun 1948, nasionalisme yang dibangun atas dasar ketakutan daripada keadilan akhirnya “menghasilkan ketidakamanan yang ingin dihindari.” Krisis saat ini—kemerosotan ekonomi, polarisasi internal, dan kebangkrutan moral dari pendudukan tanpa akhir—menunjukkan sebuah gerakan yang sedang memakan fondasinya sendiri.

Bangkitnya politisi seperti Mamdani, bersama dengan suara-suara Yahudi di diaspora—Naomi Klein, Ilan Pappé, Peter Beinart, dan lainnya—menandakan kebangkitan moral Yahudi di luar Zionisme. Mereka mengingatkan dunia bahwa etika Yahudi, yang ditempa dalam pengasingan dan penganiayaan, dulu identik dengan universalitas, keramahan, dan pembelaan terhadap orang asing. Bersiap untuk apa yang beberapa sebut “runtuhnya Zionisme” bukan berarti berharap kehancuran Yahudi, melainkan kebangkitan Yahudi: transformasi Yahudi menjadi warga negara di negara sekuler, hidup berdampingan dengan Muslim dan Kristen dengan hak yang sama dan keamanan bersama.

Teologi kebencian dan balas dendam Likud, yang diperkuat oleh mitra ultranasionalis seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, telah menguatkan isolasi Israel. Di dalam negeri, protes atas perubahan yudisial dan ketimpangan ekonomi mengungkapkan retakan mendalam.

Di luar negeri, generasi muda Yahudi Amerika semakin menolak eksklusivitas etnonasional Zionisme: survei menunjukkan 38 persen Yahudi AS di bawah 40 tahun percaya Israel melakukan apartheid. Secara global, kepercayaan pada solusi dua negara telah runtuh. Bahkan mantan perdana menteri Israel mengakui bahwa geografi permukiman membuat pembagian wilayah menjadi mustahil. Yang tersisa adalah perdebatan yang tak terhindarkan tentang satu negara demokratis sekuler—percakapan yang telah dicoba Zionisme untuk ditekan selama setengah abad.

Pelajaran moral dan politik dari kemenangan Mamdani

Kampanye Mamdani menawarkan tiga pelajaran yang relevan untuk transisi pasca-Zionis. Pertama, menakut-nakuti memiliki batasnya. Lawan-lawannya menghabiskan banyak dana untuk melabelinya antisemit hanya karena menuntut gencatan senjata di Gaza. Namun, para pemilih memilih agenda yang berfokus pada bantuan sewa, layanan kesehatan, dan martabat. Kedua, kepemimpinan pluralis bukan tentang token identitas tetapi tentang kejelasan moral—ketegasannya bahwa keamanan harus bersifat universal, bukan tribal, mencerminkan etika Fanon dan Said. Ketiga, politik koalisi yang berakar pada keadilan material adalah satu-satunya penawar chauvinisme etno-agama. Ketika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, para demagog kehilangan daya tarik.

Jika prinsip-prinsip ini dapat mengalahkan ketakutan di Queens, mereka dapat mulai menggerogoti ketakutan di Yerusalem. Proyek ke depan bukanlah utopia; ia bersifat politik, hukum, dan moral. Seruan ini adalah untuk transformasi sipil dari negara yang menempatkan Yahudi sebagai supremasi menjadi demokrasi konstitusional yang melindungi Yahudi sebagai komunitas, bukan sebagai kasta istimewa.

Bahan-bahan satu negara untuk semua

Kerangka satu negara sekuler demokratis harus berdasar pada kesetaraan konstitusional. Pilar pertama adalah kewarganegaraan tanpa hierarki—satu orang, satu suara. Setiap penduduk wilayah dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania harus memiliki status hukum yang setara, tanpa perbedaan etno-agama. Kedua, pembagian kekuasaan dan perlindungan minoritas: perwakilan proporsional, otonomi regional, dan hak budaya yang dijamin agar tidak ada komunitas yang mendominasi yang lain.

Ketiga, yudikatif independen dan supremasi hukum: pengadilan diberdayakan untuk membatalkan diskriminasi dan menegakkan hak sipil. Keempat, mekanisme restitusi properti dan tanah: proses yang adil untuk pengungsi Palestina dan orang-orang yang tergeser secara internal, dengan kompensasi bila pemulangan tidak memungkinkan.

Kelima, reformasi sektor keamanan: demiliterisasi dan integrasi polisi sipil di bawah pengawasan parlemen. Keenam, keadilan transisional: komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk mendokumentasikan kekejaman, disertai dengan pengadilan untuk kejahatan perang menurut hukum internasional. Ketujuh, rekonstruksi ekonomi: zona pengembangan bersama, pajak yang adil, dan investasi infrastruktur bersama untuk menghapus ketimpangan struktural yang memicu kebencian. Akhirnya, pluralisme budaya dan bahasa: Arab, Ibrani, dan Inggris sebagai bahasa resmi; kebebasan beragama dijamin; dan pendidikan diarahkan pada koeksistensi serta kejujuran sejarah.

Langkah-langkah awal menuju transisi

Jalur dari pendudukan menuju kesetaraan tidak dapat dimulai tanpa langkah-langkah kemanusiaan segera: gencatan senjata permanen, pencabutan blokade Gaza, dan penghentian pembangunan permukiman. Ini menciptakan ruang untuk dialog. Selanjutnya, majelis konstituen—terdiri dari perwakilan masyarakat sipil Israel dan Palestina, kelompok perempuan, dewan lokal, pemimpin agama, dan Yahudi diaspora—harus menyusun konstitusi sekuler di bawah pengawasan internasional. Majelis itu harus menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai rujukan hukum inti.

Jadwal bertahap dapat mengikuti:

  • Tahun Pertama: gencatan senjata dan pengakuan bersama prinsip kesetaraan.
  • Tahun Dua-Tiga: pemerintahan transisional dan kerangka keamanan bersama.
  • Tahun Keempat: referendum konstitusi dan pemilu demokratis pertama.
  • Tahun Lima-Sepuluh: rekonstruksi, reparasi, dan integrasi kewarganegaraan penuh.

Proses ini akan kacau dan penuh risiko. Ekstremis akan mencoba menggagalkannya melalui kekerasan. Itulah mengapa jaminan internasional—dari PBB, Uni Afrika, dan negara netral—sangat penting selama transisi.

Akhir dari kebencian

Inti moral dari transformasi ini terletak pada “akhir kebencian.” Likud dan sekutu sayap kanannya telah membangun identitas yang bergantung pada musuh abadi. Mereka mengubah ingatan Holocaust menjadi modal politik dan mitos agama menjadi pembenaran untuk penaklukan. Namun kebencian, seperti sejarah membuktikan, adalah fondasi yang lemah bagi sebuah bangsa. Ia menguras legitimasi moral dan mengisolasi penindas. Gelombang global terhadap impunitas Israel—meliputi kampus, serikat pekerja, dan parlemen Barat—menandai awal dari berakhirnya kebencian itu.

Hidup sebagai Yahudi dalam damai bukan lagi berarti hidup sebagai Zionis, tetapi sebagai warga negara di tanah bersama. Ini berarti merebut kembali Yahudi profetik—tradisi keadilan, bukan balas dendam. Dalam sejarah panjang Yahudi, pergeseran dari “terpilih” menuju kesetaraan mungkin menjadi kembalinya yang paling penuh penebusan.

Kesimpulan: Politik setelah ketakutan

Kemenangan Zohran Mamdani mengajarkan bahwa identitas yang dibangun atas solidaritas dapat mengalahkan identitas yang dibangun atas ketakutan. Ini adalah peristiwa politik kecil dengan konsekuensi simbolis yang besar. Ini memberi tahu kaum Zionis—dan semua nasionalis eksklusif—bahwa tembok yang mereka bangun tidaklah abadi. Ketakutan bisa memobilisasi, tetapi tidak dapat bertahan. Ketika warga menemukan kemanusiaan bersama dan saling ketergantungan ekonomi, politik kebencian runtuh oleh absurditasnya sendiri.

Gagasan satu negara, yang selama ini dianggap fantasi, kini menjadi satu-satunya jalan yang sesuai dengan keadilan dan realitas demografis. Negara sekuler di masa depan—Yahudi, Muslim, Kristen, dan sekuler—tidak akan menghapus identitas, tetapi membebaskannya dari supremasi. Benderanya, jika suatu hari berkibar, akan mewakili kemenangan hati nurani atas penaklukan. Dalam kelahiran kembali itu, Yahudi tidak akan hilang; mereka akhirnya akan benar-benar berada di rumah.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler