Tuesday, July 8, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Kepanikan Israel atas perubahan sikap di Barat

OPINI – Kepanikan Israel atas perubahan sikap di Barat

Oleh: Dr. Abdullah Maarouf*

Tak banyak pengamat yang meragukan bahwa dunia saat ini tengah menyaksikan gelombang perubahan tajam—dan mungkin belum pernah terjadi sebelumnya—dalam opini publik Barat terhadap Israel.

Perubahan ini menjadi semakin nyata lebih dari 20 bulan sejak dimulainya perang yang oleh banyak pihak disebut sebagai genosida di Jalur Gaza, yang terjadi di hadapan mata dunia.

Transformasi paling mencolok terlihat pada kalangan muda di negara-negara Barat. Jika sebelumnya generasi muda menunjukkan simpati yang relatif lebih tinggi terhadap perjuangan Palestina dibandingkan generasi yang lebih tua, maka kini empati itu telah berubah menjadi gelombang penolakan yang tegas, terbuka, dan frontal terhadap segala hal yang berkaitan dengan Israel dan proyek kolonialnya di Timur Tengah.

Salah satu momen yang menggambarkan perubahan ini secara dramatis terjadi dalam festival musik Glastonbury di Inggris. Ribuan anak muda Inggris meneriakkan slogan yang dipimpin oleh rapper BOB VYLAN: “Death to the IDF”, atau “Matilah Tentara Pertahanan Israel”.

Seruan ini mencerminkan pergeseran dari slogan lama seperti “Free Palestine” atau “From the river to the sea, Palestine will be free”—yang kerap dituding sebagai anti-Israel meski secara langsung tidak menyatakan permusuhan terbuka—menuju ekspresi kemarahan yang lebih eksplisit.

Seruan tersebut dengan sengaja diarahkan kepada Tentara Pertahanan Israel, bukan seluruh rakyat Israel, menunjukkan bahwa kemarahan generasi muda kini memiliki sasaran yang lebih terdefinisi.

Yakni institusi militer yang selama lebih dari satu setengah tahun terakhir dikaitkan dengan kekerasan ekstrem dan kejahatan perang yang menyedot perhatian global.

Namun, narasi ini tetap berhadapan dengan klaim klasik Israel, bahwa setiap kritik terhadap militernya merupakan bentuk antisemitisme.

Di sinilah letak paradoksnya: ketika protes diarahkan hanya kepada tentara, Israel menuduhnya menyasar seluruh warga Yahudi.

Ini menjadi gambaran betapa Israel kini berada dalam posisi defensif yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Israel tengah mengalami kecemasan yang lebih dalam dibandingkan propaganda lamanya tentang “antisemitisme”.

Jika pada masa lalu narasi korban ditutupi oleh citra sebagai satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah—“cahaya di tengah kegelapan regional”—kini narasi itu perlahan kehilangan daya pikatnya.

Selama puluhan tahun, Israel percaya diri bahwa kekuatan media dan citra keberhasilannya akan cukup untuk mengukuhkan posisi di mata publik dan pemerintah Barat.

Namun perkembangan belakangan membuat Israel benar-benar panik. Sebab, seluruh konstruksi citra yang dibangun selama lebih dari 70 tahun itu tampak runtuh hanya dalam hitungan bulan—dan ironisnya, ambruk melalui alat yang dulu digunakan Israel secara efektif: media.

Bedanya, kali ini media yang dimaksud bukan media arus utama yang dikendalikan oleh modal besar dan jaringan politik, melainkan media sosial yang terbuka, terdesentralisasi, dan tak dapat dibendung.

Inilah yang membuat berbagai lembaga penelitian dan media pro-Israel, baik langsung maupun tidak langsung, menunjukkan kegelisahan yang akut.

Sejumlah lembaga seperti Harris Poll Institute dan Harvard Kennedy School terus memantau opini publik Amerika Serikat (AS) terhadap Israel, dan hasilnya langsung dianalisis media-media di Israel.

Salah satu survei penting dilakukan pada akhir Oktober 2023, tepat sebelum agresi besar-besaran ke Gaza dimulai.

Saat itu, dukungan rakyat Amerika terhadap Israel masih tinggi—sekitar 84 persen, sementara simpati terhadap Hamas hanya 16 persen.

Secara umum, angka ini memberi kenyamanan bagi para perancang kebijakan Israel. Namun yang membuat media Israel cemas bukanlah angka tersebut, melainkan hasil spesifik dari responden muda.

Di kalangan ini, dukungan terhadap Israel hanya 52 persen, sementara 48 persen lainnya menyatakan simpati terhadap Hamas. Jerusalem Post kala itu menyebut hasil ini sebagai “alarm berbahaya”.

Kekhawatiran itu kini bertambah. Survei lanjutan pada akhir Juni 2025 menunjukkan bahwa dukungan masyarakat Amerika terhadap Hamas naik menjadi 25 persen.

Sementara, posisi generasi muda tidak berubah signifikan dari 20 bulan sebelumnya.

Perubahan ini mencerminkan bahwa pergeseran opini tidak hanya terjadi pada anak muda, melainkan mulai menjalar ke kelompok usia lainnya.

Antisipasi Israel: Dari bertahan ke menyerang

Pertanyaannya kini: bagaimana Israel menyikapi perubahan sikap publik Barat ini, dan bagaimana ia mencoba meresponsnya?

Realitasnya, seluruh institusi dan simpul kekuasaan di Israel memandang perubahan mendasar ini dengan sangat serius.

Bahkan, responsnya bukan lagi sekadar defensif, melainkan berubah menjadi ofensif terhadap setiap bentuk dukungan, walau samar, kepada perjuangan rakyat Palestina.

Inilah konteks di balik maraknya kembali penggunaan tuduhan “antisemitisme” dalam setiap kritik terhadap Israel.

Label ini kini dengan mudah dilekatkan kepada siapa pun yang mempertanyakan tindakan negara tersebut, tak terkecuali mereka yang sebelumnya dikenal sebagai pembela Israel.

Seperti jurnalis Inggris Piers Morgan pasca 7 Oktober, atau tokoh-tokoh dunia dan lembaga internasional seperti Sekjen PBB António Guterres, UNRWA, serta Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, Francesca Albanese.

Bagi Israel, meningkatnya kritik di Barat dipahami sebagai kelanjutan dari sejarah panjang kebencian terhadap Yahudi di Eropa, khususnya pada masa Perang Dunia II. Oleh karena itu, reaksi Israel cenderung berlebihan.

Hal ini mengisyaratkan bahwa negara tersebut menganggap gelombang penolakan yang tengah berlangsung bukanlah fenomena sesaat, melainkan perubahan strategis dalam lanskap opini publik Barat.

Pandangan ini juga terekam dalam laporan yang dirilis awal tahun oleh Organisasi Zionis Dunia dan Badan Yahudi Internasional, yang mengklaim bahwa setengah dari populasi orang dewasa di dunia menunjukkan sikap antisemit.

Studi tersebut, yang dipresentasikan kepada Presiden Israel Isaac Herzog, menyamakan kritik terhadap zionisme sebagai bentuk kebencian terhadap Yahudi, dengan mengaburkan batas antara identitas Yahudi, negara Israel, dan ideologi Zionis.

Dengan pendekatan ini, Israel menilai slogan seperti “Death to the IDF” bukan hanya serangan terhadap militer.

Melainkan juga terhadap masyarakat Israel secara keseluruhan. Pendekatan ini justru memperlihatkan kesalahan strategis yang cukup dalam.

Alih-alih membedakan antara institusi militer dan warga sipil, respons Israel terkesan menyamakan keduanya.

Tanpa disadari, hal ini memperkuat persepsi bahwa Israel bukanlah negara yang memiliki tentara, melainkan sebuah tentara yang memiliki negara.

Konsekuensinya, masyarakat sipil Israel kehilangan citra “sipil”-nya dalam narasi publik internasional.

Selain itu, Israel tampaknya terjebak dalam pola respons yang tidak lagi efektif. Tuduhan “antisemitisme” yang dilontarkan berulang kali kini dianggap basi oleh banyak kalangan di Barat.

Ketika narasi itu kehilangan daya gentarnya, banyak orang Barat mulai berani menyuarakan kritik secara lebih terbuka.

Bahkan, slogan seperti “Death to the IDF” yang selama ini dianggap sangat provokatif, kini justru mendapat pembelaan dari tokoh-tokoh seperti James O’Brien dan Jeremy Vine.

Dua jurnalis Inggris yang secara terbuka meremehkan klaim bahwa slogan itu berbahaya, sembari menekankan betapa serius dan mendesaknya kejahatan perang yang terjadi di Gaza.

Fenomena ini juga tercermin dari maraknya video dan gambar dari berbagai kota di Eropa yang menampilkan slogan tersebut, baik tertulis di dinding maupun dalam bentuk digital melalui teknologi kecerdasan buatan.

Ini menjadi pertanda bahwa masyarakat Barat mulai lelah dengan cara-cara lama Israel dalam membungkam kritik.

Jika kita menilik konten media Israel, baik media arus utama maupun saluran-saluran riset dan kebijakan, akan tampak jelas tingkat kepanikan yang tengah melanda elite politik dan opini di negara tersebut.

Israel menyadari bahwa perubahan opini publik di Barat, bila berlanjut, bisa berujung pada pergeseran kebijakan resmi negara-negara tersebut.

Mekanismenya jelas: perubahan opini publik dapat berbuah pada hasil pemilu yang menghasilkan pemimpin dengan orientasi baru, yang mungkin tidak lagi memberi Israel “cek kosong” seperti sebelumnya.

Contoh terkini adalah kemenangan Zahran Mamdani dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat untuk posisi wali kota New York.

Tokoh ini sebelumnya dituduh “antisemit” oleh media pro-Israel. Fakta bahwa ia justru berhasil menunjukkan bahwa tuduhan semacam itu tak lagi menjadi hambatan politis menandai arah baru dalam politik Amerika.

Dalam konteks ini, ketidaksiapan Israel menghadapi perubahan ini justru membuka peluang bagi para pembela Palestina—terutama diaspora Arab dan Muslim di negara-negara Barat—untuk menyampaikan narasi yang lebih luas dan menjangkau kelompok-kelompok baru.

Kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak tahu-menahu soal Palestina, bahkan mungkin tidak tahu letaknya di peta, kini mulai memperhatikan. Dan inilah momen yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

*Dr. Abdullah Maarouf dikenal atas peran pentingnya sebagai mantan Pejabat Media dan Hubungan Masyarakat di Masjid Al-Aqsa dan jabatannya saat ini sebagai Profesor Sejarah Islam di Universitas Istanbul 29 Mei. Keahlian dan wacana publiknya telah menjadi pusat diskusi dan advokasi seputar pelestarian dan pengakuan Masjid Al-Aqsa dan perjuangan Palestina yang lebih luas. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Dza’ru Isrāīl al-Tāmi Mimmā Yaḥdatsu Fī al-Gharbi”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular