Oleh: Hussam Abu-Hamed
Jurnalis dan penulis Palestina
Tujuh puluh tujuh tahun lalu, mungkin David Ben-Gurion tidak pernah membayangkan bahwa keputusan untuk memberikan pengecualian terbatas dari wajib militer kepada beberapa ratus siswa yeshiva (lembaga pendidikan agama Yahudi) akan menjadi benih krisis besar yang kini mengancam keberlangsungan negara Israel.
Pada saat itu, langkah tersebut bersifat politis, yakni untuk menarik komunitas Haredi (ultra-Ortodoks Yahudi) ke dalam proyek Zionis.
Namun, “pengecualian sementara” tersebut berkembang menjadi pengecualian kolektif dan akhirnya menjadi hak istimewa yang dianggap suci, yang hingga kini terus dipertahankan oleh partai-partai keagamaan sebagai syarat utama dalam pembentukan aliansi politik.
Selama bertahun-tahun, isu wajib militer bagi kaum Haredi membayangi panggung politik Israel. Namun, serangan besar pada 7 Oktober 2023 mempercepat krisis ini. Agresi militer di Jalur Gaza dan meningkatnya ketegangan di berbagai front membuat militer Israel—yang selama ini mengandalkan kecanggihan teknologi—menyadari kebutuhan mendesak akan personel infanteri.
Situasi ini memaksa pemerintah mengkaji kembali kebijakan pengecualian bagi kaum Haredi, yang kini dianggap sebagai bentuk diskriminasi terang-terangan atas nama agama. Survei menunjukkan lebih dari 70 persen warga Israel menolak kebijakan ini.
Meskipun pemerintah berupaya menunda keputusan melalui berbagai manuver politik, Mahkamah Agung Israel telah berulang kali membatalkan pengecualian kolektif yang tidak memiliki dasar hukum eksplisit, dengan menegaskan prinsip kesetaraan dalam menjalankan kewajiban nasional.
Namun, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terus menerapkan strategi penghindaran untuk menunda ledakan politik yang tak terelakkan.
Masalah ini bukan sekadar soal wajib militer, melainkan menyentuh inti struktur sosial komunitas Haredi. Keyakinan mereka bahwa “Torah adalah profesinya” membuat mereka secara mutlak menolak keterlibatan dalam institusi negara, termasuk militer.
Karena itu, partai-partai ultra-Ortodoks seperti Shas dan United Torah Judaism bersikeras agar disahkan undang-undang yang menjamin pengecualian permanen bagi pelajar Torah, atau setidaknya memberlakukan undang-undang darurat yang mempertahankan status quo.
Di sisi lain, Ketua Komite Luar Negeri dan Pertahanan Knesset, Yuli Edelstein (Likud), menolak segala bentuk kompromi yang tidak mencakup sanksi langsung terhadap penghindar wajib militer.
Dengan negosiasi internal yang buntu dan tekanan publik serta parlemen yang meningkat, partai oposisi Yesh Atid secara resmi mengajukan RUU pembubaran Knesset pada Rabu (11/6/2025).
Kelompok Haredi mengancam akan mendukung pembubaran tersebut jika tidak memperoleh jaminan hukum yang jelas terkait pengecualian wajib militer. Mereka bahkan menyampaikan ultimatum politik kepada Netanyahu: tidak akan ada kompromi terkait pembebasan pelajar Torah, bahkan jika itu berarti menggulingkan pemerintahan yang ada.
Dengan demikian, krisis ini tidak lagi sekadar soal pasal hukum atau kompromi politik, tetapi telah berubah menjadi konflik eksistensial tentang identitas negara Israel: Apakah Israel akan tetap menjadi negara Yahudi dalam pengertian rabinik, atau berubah menjadi negara sipil yang berpijak pada nilai-nilai liberal?
Apakah dapat dibenarkan adanya perbedaan antara seorang pemuda yang bertugas di unit tempur elit dan pemuda lain yang dibebaskan dari wajib militer karena mengenakan kippah hitam dan menghafal Talmud?
Netanyahu kini dihadapkan pada tiga pilihan yang semuanya berisiko tinggi: menyetujui undang-undang pengecualian menyeluruh yang memuaskan kelompok Haredi namun memicu krisis dengan militer dan Mahkamah Agung, serta gelombang protes rakyat; memaksakan kewajiban militer yang dapat berujung pada konfrontasi terbuka dengan komunitas Haredi dan mungkin pecahnya koalisi; atau menunda dengan mengajukan rancangan undang-undang yang dilunakkan—taktik yang semakin kehilangan efektivitas karena perpecahan dalam koalisi sendiri sudah tidak terjembatani.
Kelompok Haredi, yang dulunya merupakan penentu kekuasaan, kini menjadi beban strategis yang sulit dikendalikan di tengah perang dan perpecahan nasional. Indikasi yang ada menunjukkan bahwa krisis ini tinggal menunggu waktu untuk meledak. Ketidakmampuan menemukan solusi adil terhadap kesetaraan dalam wajib militer membuat eskalasi semakin tak terbendung. Partai-partai Haredi bahkan siap “membakar kapal” jika tuntutan utama mereka tidak dikabulkan.
Jika mereka mendukung pembubaran Knesset, maka skenario pemilu dini terbuka lebar. Hal ini berpotensi menggulingkan Netanyahu dan sekutu Haredinya, sekaligus mengakhiri dominasi tradisional sayap kanan Israel.
Suasana publik telah berubah; masyarakat semakin menentang aliansi politik yang selama ini menjaga hak istimewa agama, terutama di saat para tentara gugur di berbagai medan tempur. Dengan munculnya kembali nama mantan Perdana Menteri Naftali Bennett, sebuah poros “kanan pasca-Netanyahu” tampaknya mulai terbentuk secara perlahan namun pasti.
Krisis ini mencerminkan konflik identitas yang lebih dalam dan berakhirnya kesepakatan politik yang dulu dianggap sakral dalam politik Israel.