Oleh: Hisham Jaafar*
Pengumuman mengejutkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump di Riyadh pada 13 Mei lalu tentang niatnya mencabut sanksi terhadap Suriah, menjadi salah satu momen paling mencolok selama kunjungannya ke kawasan Teluk.
Sehari kemudian, Trump bahkan bersalaman langsung dengan Presiden Suriah yang baru, Ahmad Al-Sharaa—tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai lawan Amerika dalam perang Irak.
Trump menjelaskan bahwa keputusannya dilatarbelakangi oleh permintaan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.
Langkah itu juga mendapat dukungan penuh dari Qatar, yang sejak awal memosisikan diri sebagai mitra strategis dan investor utama bagi pemerintahan baru Suriah.
Langkah Washington ini memunculkan kegelisahan serius di Israel—sekutu tradisional AS di Timur Tengah—yang selama ini mendorong fragmentasi Suriah menjadi negara-negara kecil berbasis sektarian dan etnis.
Namun, Trump tampaknya lebih memilih pendekatan pragmatis yang selaras dengan visi tiga negara: rekonstruksi Suriah diyakini sebagai prasyarat kestabilan kawasan dan peluang bagi ekspansi perdagangan serta investasi regional.
Trump juga mendorong Suriah untuk bergabung dalam Kesepakatan Abraham yang memungkinkan normalisasi diplomatik dengan Israel, serta mendesak pembersihan Suriah dari “teroris asing” dan deportasi “pejuang Palestina.”
Ia tidak menyinggung isu perlindungan minoritas atau pembentukan institusi demokratis di negara tersebut.
Sebagai balasan, Presiden al-Sharaa menyatakan kesediaannya kembali pada Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974 yang membentuk zona penyangga antara Suriah dan Israel, serta membuka pintu bagi investasi perusahaan-perusahaan energi asal Amerika.
Keseluruhan perkembangan ini dapat membentuk dinamika regional baru yang tak hanya menyangkut “rekonstruksi Suriah sebagai negara bersatu dan stabil dalam kerangka keseimbangan kekuatan regional”.
Sebagaimana dicatat oleh analis Mohammad Sarmini dalam artikelnya “Saat Trump Mengubah Haluan Suriah” di Al Jazeera Net.
Namun demikian, arah transformasi ini belum dapat disimpulkan sebagai terbentuknya sistem kawasan yang ajeg dan terstruktur.
Kompleksitas aktor, kepentingan yang bertabrakan, serta motif yang berlapis-lapis lebih mencerminkan pola spiral yang tak terduga ketimbang skema sistemik yang terorganisasi.
Ini yang disebut dengan pendekatan analisis jaringan sebagai alternatif dari pendekatan sistematis klasik.
Dengan kata lain, sampai saat ini belum tampak jelas kontur sistem kawasan baru yang stabil, lengkap dengan aktor utama dan karakteristiknya.
Delapan arah baru
Meskipun peta masa depan kawasan masih penuh tanda tanya, dinamika Suriah tetap membuka kemungkinan arah kebijakan baru.
Tulisan ini mencoba memetakan delapan kecenderungan utama—tanpa terlebih dahulu mengulas tantangan yang mungkin dihadapi dari masing-masing dinamika tersebut.
Pembahasan mendalam atasnya akan menjadi bagian lain yang memerlukan perhatian tersendiri.
- Ekonomi sebagai pilar stabilitas kawasan
Dalam kerangka baru ini, langkah ekonomi—mulai dari pencabutan sanksi, suntikan investasi, bantuan kemanusiaan, hingga program rekonstruksi—dipandang oleh para aktor kunci (termasuk negara-negara Teluk dan AS) sebagai alat utama dalam menciptakan stabilitas di kawasan pascakonflik seperti Suriah.
Bahkan, pola ini juga diproyeksikan dapat diterapkan untuk meredakan krisis di Gaza dan Yaman, sekaligus memperkuat posisi strategis negara-negara tersebut.
Dari sudut pandang ini, pemulihan ekonomi dan rekonstruksi menjadi syarat utama bagi stabilitas Suriah pascaperang saudara.
Sanksi selama ini dianggap sebagai hambatan besar bagi pemulihan tersebut karena memperburuk kondisi kemanusiaan dan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama yang menyasar warga sipil.
Pencabutan sanksi diharapkan membuka jalan bagi masuknya bantuan, investasi, dan keahlian internasional dalam mendukung “pemerintah baru” Suriah untuk membangun ulang negerinya dan menghindari kekacauan politik lanjutan.
Perekonomian yang kuat dinilai krusial untuk mewujudkan keberhasilan politik dan kestabilan jangka panjang.
Jika tidak, ekonomi Suriah diprediksi akan terus terpuruk dan mendorong negeri itu makin bergantung pada aliansi luar seperti Rusia, Cina, dan Iran.
Sebaliknya, kemajuan ekonomi Suriah dapat membantu mengurangi arus pengungsi yang kini membebani negara-negara tetangganya.
Arab Saudi dan Qatar, bersama Turki, menjadi pendorong utama pencabutan sanksi, terutama yang menyasar sektor infrastruktur dan layanan publik.
Langkah ini dilandasi keyakinan bahwa upaya tersebut akan memperkuat posisi pemerintahan baru, mengimbangi pengaruh Iran, serta mencegah Suriah menjadi negara gagal.
Pencabutan sanksi dilihat sebagai langkah awal yang esensial untuk menstabilkan sektor vital dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi internasional.
Pemulihan dini yang ditopang oleh kelonggaran sanksi ini juga diyakini dapat memungkinkan kembalinya para pengungsi Suriah secara aman serta memperkuat stabilitas kawasan secara luas.
Bagi negara-negara Teluk, kestabilan geopolitik amat berkaitan dengan ketahanan ekonomi domestik mereka.
Konflik berkepanjangan dan ketidakpastian hanya akan menambah risiko bagi agenda ekonomi pasca-minyak yang kini tengah mereka jalankan.
Optimisme pun tumbuh bahwa perdamaian di Timur Tengah akan mempercepat transformasi ekonomi yang telah mereka rintis.
- Koalisi longgar yang cair
Kondisi Suriah mencerminkan munculnya titik temu tertentu dalam kepentingan antara aktor-aktor regional terkait stabilisasi dan rekonstruksi pascakonflik.
Hal ini terutama tercermin dari upaya bersama mereka memengaruhi kebijakan sanksi AS dan peran mereka dalam investasi pasca-perang.
Namun, dinamika ini belum berarti adanya konsensus kawasan yang menyeluruh atas berbagai krisis lain yang melanda Timur Tengah.
Hingga kini, negara-negara tersebut masih mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Belum terjadi dialog serius antar “aktor utama” kawasan yang mengarah pada perumusan sistem regional baru yang lebih menyeluruh.
Kepentingan mereka di Suriah bersifat majemuk dan meski terdapat kesamaan pada beberapa isu, hal itu lebih didorong oleh pertemuan kepentingan spesifik ketimbang visi strategis bersama.
Semua ini mengindikasikan bahwa bentuk koalisi yang tercipta lebih menyerupai aliansi cair dan bersifat sementara, tanpa fondasi institusional yang kuat.
- Normalisasi bersyarat: Di bawah bayang-bayang pendudukan
Fokus kebijakan Trump tampaknya tidak lagi berada pada perluasan Abraham Accords—kesepakatan yang sebelumnya mendorong hubungan diplomatik dan ekonomi antara negara-negara Arab dengan Israel.
Usaha untuk merangkul negara-negara Teluk lainnya agar ikut menandatangani perjanjian tersebut tampak mengendur.
Sebaliknya, negara-negara yang belum ikut serta justru mempertegas komitmen mereka terhadap prakarsa perdamaian Arab.
Inisiatif ini menekankan pada rekonstruksi Gaza dan pembentukan negara Palestina yang berdaulat berdasarkan perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Normalisasi dengan Israel hanya akan dilakukan setelah tercapai perjanjian damai yang menyelesaikan seluruh isu status final, termasuk penghentian pendudukan militer dan peneguhan kedaulatan Palestina.
Di sisi lain, saat ini isu yang dianggap lebih strategis adalah tercapainya kesepakatan nuklir dengan Iran.
Hal ini menjadi prioritas bukan hanya bagi Trump, tetapi juga bagi Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya.
Meskipun Riyadh menolak perjanjian nuklir Iran tahun 2015, kini mereka justru mendorong Washington untuk melanjutkan negosiasi guna mencegah konflik terbuka di kawasan.
Meskipun perjanjian normalisasi masih dinyatakan “tetap hidup dan relevan”, perkembangan terakhir di Gaza, termasuk kekerasan berskala besar yang disebut sebagai genosida, telah mengubah dinamika regional.
Fokus kebijakan luar negeri kini condong pada deeskalasi konflik dan kesepakatan nuklir Iran dibanding penguatan hubungan diplomatik baru dengan Israel.
Kunjungan Trump yang berfokus pada kesepakatan bisnis juga memberi kesan bahwa isu Palestina tersisih dari prioritas utama, berbeda dengan pendekatan diplomatik yang lebih inklusif pada masa pemerintahan sebelumnya.
- Menjaga sejalan dengan kepentingan Amerika
Negara-negara yang kini menjadi sponsor stabilisasi Suriah memainkan peran aktif dalam menjaga perdamaian regional.
Mereka percaya bahwa stabilitas kawasan adalah kunci untuk menciptakan kemakmuran ekonomi dan menjadikan Timur Tengah sebagai pusat peluang—sebagaimana dinyatakan Trump dalam kunjungan terakhirnya ke Teluk.
Negara-negara tersebut mendesak agar para pejuang asing dikeluarkan dari Suriah, dan menyerukan pengurangan pengaruh Iran serta Hizbullah di Lebanon.
Ini sejalan dengan agenda strategis Amerika yang mendukung pendekatan diplomatis terhadap program nuklir Iran guna menghindari konflik militer dan melindungi kepentingan ekonomi kawasan.
Mereka juga memainkan peran sebagai mediator potensial dalam krisis regional dan global. Arab Saudi, misalnya, telah menjadi tuan rumah pembicaraan mengenai konflik Ukraina dan menyatakan kesiapan memediasi negosiasi nuklir antara AS dan Iran.
Qatar menjadi tuan rumah pembicaraan antara Hamas dan Israel, sementara seluruh negara ini turut aktif dalam mencegah kebangkitan kembali kelompok ISIS—prioritas utama bagi kebijakan kontra-terorisme Washington.
Keseluruhan pendekatan ini berpadu dengan kepentingan Amerika: memperkuat kemakmuran kawasan, mendorong rekonstruksi pascaperang (khususnya di Suriah dan Gaza), menghindari konflik militer, dan menjaga kehadiran strategis AS di Timur Tengah melalui pangkalan-pangkalan militer utama.
Bahkan, sejumlah agenda diplomatik negara-negara Teluk kini tampak mulai memengaruhi arah kebijakan luar negeri AS sendiri.
Contohnya terlihat pada konsistensi posisi Arab Saudi, Qatar, dan Turki terkait Suriah; diplomasi hati-hati Teluk terhadap Iran; serta ketegasan mereka mengenai syarat-syarat normalisasi hubungan dengan Israel.
Semua ini menandakan bahwa kekuatan negara-negara kawasan kini bukan sekadar sebagai pelengkap, tetapi sebagai pengarah jalannya dinamika geopolitik regional—dan bahkan global.
- Timur-Tengah tanpa kelompok bersenjata?
Sepanjang 2024 dan paruh pertama 2025, Timur Tengah menyaksikan berbagai strategi baru yang diarahkan untuk menangani kelompok-kelompok bersenjata non-negara yang selama ini menjadi faktor destabilisasi kawasan.
Beberapa kelompok seperti “Poros Perlawanan”—yang mencakup Hizbullah, Houthi, dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina—menghadapi tekanan serius yang ditujukan untuk melemahkan kapasitas mereka, terutama di bidang militer.
Sebaliknya, terdapat pula pendekatan yang berusaha mengintegrasikan kelompok-kelompok bersenjata ke dalam struktur negara.
Di Suriah pasca-Bashar al-Assad, misalnya, muncul inisiatif untuk melebur milisi-milisi pro-pemerintah ke dalam institusi pertahanan dan keamanan nasional yang baru.
Demikian pula, dalam kasus Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi unsur Kurdi, ada kesepakatan yang ditengahi AS pada Maret 2025 untuk menyerap mereka ke dalam militer Suriah yang direformasi.
Namun, rincian mengenai otonomi Kurdi dalam kerangka baru ini masih menjadi bahan negosiasi.
Langkah serupa juga tampak di Turki. Pada 27 Februari 2025, Abdullah Öcalan—tokoh sentral Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang telah lama dipenjara—menyerukan pembubaran partainya.
Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyambut pernyataan tersebut sebagai “kesempatan bersejarah untuk merobohkan tembok terorisme.”
Tak lama kemudian, PKK mengumumkan gencatan senjata pada 3 Maret, lalu secara resmi membubarkan diri pada 12 Mei.
Ini menandai transformasi penting dari aktor bersenjata menjadi entitas yang, secara potensial, dapat terlibat dalam proses politik legal di Turki.
Sementara itu, Hamas tampaknya keluar dari konflik yang berkecamuk sejak akhir 2023 dalam kondisi yang sangat lemah secara militer akibat serangan Israel yang intensif.
Sedangkan di Yaman, serangan Amerika terhadap Houthi berkembang dari operasi terbatas menjadi kampanye militer yang lebih agresif, menyasar tidak hanya aset militer, tetapi juga kepemimpinan politik kelompok tersebut.
Ini menunjukkan adanya niat untuk melumpuhkan Houthi secara menyeluruh, bukan sekadar membatasi gerakannya.
Di Lebanon, langkah Amerika lainnya terlihat dalam dukungan pendanaan bagi tentara nasional Lebanon (LAF).
Meski bukan konfrontasi langsung terhadap Hizbullah, penguatan LAF bisa dibaca sebagai cara tidak langsung untuk membatasi ruang gerak kelompok bersenjata kuat yang beroperasi di luar kontrol negara.
Kecenderungan ini tampak seragam di sejumlah negara: dari upaya integrasi hingga desakan pelucutan senjata. Bahkan, penanganan milisi Syiah di Irak juga mengikuti logika serupa: menciptakan negara yang kuat dan terpusat dengan struktur keamanan tunggal.
Semua ini mengarah pada visi yang dibagikan oleh AS, Uni Eropa, dan mitra-mitra regional mereka: Timur Tengah tanpa kelompok bersenjata non-negara—atau paling tidak, kawasan di mana pengaruh kelompok-kelompok tersebut menyusut drastis.
Tujuan strategis dari arah kebijakan ini bukan sekadar stabilitas militer. Yang lebih penting adalah menciptakan lanskap geopolitik yang mendukung Timur Tengah sebagai jalur utama perdagangan global.
Untuk itu, diperlukan normalisasi hubungan politik antarnegara, serta minimnya aktor-aktor non-negara yang dapat mengganggu stabilitas dan tata kelola kawasan.
- Israel/Netanyahu: Resep ketidakstabilan kawasan
Israel, menurut para pemimpinnya sendiri, tengah terlibat dalam “perang di tujuh front” sekaligus—sebuah kondisi yang menegaskan kecenderungan negara tersebut untuk mempertahankan ketegangan regional alih-alih menciptakan perdamaian.
Keterlibatannya dalam genosida di Gaza, serangan militer di Suriah, kekerasan pemukim di Tepi Barat, serta penolakannya atas gagasan negara Palestina dan preferensi terhadap penyelesaian militer atas isu nuklir Iran, memperburuk situasi di kawasan dan merusak stabilitas negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.
Dinamika ini berimplikasi langsung pada proyek ambisius India–Middle East–Europe Corridor (IMEC), yang sejak awal tidak hanya diposisikan sebagai jalur dagang baru, tetapi juga sebagai upaya strategis untuk menormalisasi hubungan politik di kawasan melalui keterhubungan antara India, Teluk Arab, Yordania, dan Israel.
Namun, realitas politik pascaperang Gaza menunjukkan bahwa proyek ini kini terhambat secara serius, khususnya karena hambatan pembangunan infrastruktur antara Israel dan Yordania yang kian tak memungkinkan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan baru: mungkinkah “Suriah baru” kelak menjadi salah satu simpul jalur IMEC, menggantikan mata rantai yang putus akibat ketidakstabilan di Israel?
Konflik yang dipicu dan dipelihara oleh pemerintahan sayap kanan ekstrem pimpinan Netanyahu tampak menjadi ancaman besar terhadap kerja sama regional jangka panjang.
Jalan-jalan perdagangan dan proyek-proyek integrasi kawasan kini terkait erat dengan masa depan politik Israel sendiri.
Bagi sebagian pengamat, upaya untuk menjaga kelangsungan proyek seperti IMEC membutuhkan pendekatan baru yang menantang ekstremisme di berbagai lini, termasuk di Israel.
Sebaliknya, keberhasilan jalur-jalur ini dapat turut membentuk arsitektur baru bagi stabilitas kawasan.
Tujuan strategis dari proyek semacam IMEC juga tak dapat dilepaskan dari kepentingan kapitalisme AS.
Proyek ini sekaligus dimaksudkan sebagai tandingan terhadap jalur “Sabuk dan Jalan” yang diinisiasi China, dan memungkinkan AS untuk “mengosongkan” sebagian perhatian militernya dari kawasan guna lebih fokus menghadapi persaingan global dengan Beijing.
- Menyusun ulang pengaruh Iran
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Turki kini mengadopsi pendekatan yang berbeda-beda dalam merespons Iran, tetapi satu hal menjadi benang merah: upaya menghindari konflik terbuka, sambil secara bertahap menekan pengaruh Teheran di kawasan.
Dorongan utama dari pendekatan ini adalah keinginan untuk menjaga kepentingan ekonomi vital—termasuk infrastruktur energi—dan menciptakan stabilitas yang menjadi landasan pembangunan.
Dalam sejumlah kasus, negara-negara ini bahkan memilih melakukan dialog langsung dengan Iran, meskipun harus melampaui kebijakan tradisional sekutu mereka seperti Amerika Serikat.
Hal ini terlihat di Suriah, Lebanon, dan Irak, di mana penurunan pengaruh Iran secara bertahap dilakukan melalui rekayasa politik dan militer yang melibatkan kekuatan lokal.
Tujuannya bukan untuk menghapus Iran sepenuhnya dari perhitungan kawasan, tetapi untuk menyesuaikan posisinya dengan tatanan regional baru yang lebih berorientasi pada pembangunan dan konsensus.
- Demokrasi dan HAM: Isu yang tergeser
Satu hal yang tampak jelas dari perubahan orientasi di Timur Tengah adalah menurunnya tempat bagi isu hak asasi manusia dan demokrasi dalam perdebatan publik maupun kebijakan luar negeri.
Narasi dominan bergeser ke arah negara yang menjamin kemajuan ekonomi dan sosial di bawah kendali kepemimpinan yang kuat.
Demokrasi politik nyaris tidak mendapat tempat, kecuali dalam diskursus terbatas mengenai kebebasan personal.
Satu-satunya pengecualian mencolok adalah perhatian terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Namun demikian, kekhawatiran muncul bahwa penderitaan rakyat Palestina justru direduksi menjadi persoalan kemanusiaan belaka, bukan persoalan politik dan hak-hak nasional yang lebih mendasar.
Kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump yang berorientasi pada transaksi dan kesepakatan bisnis juga mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Stabilitas dan keuntungan ekonomi jangka pendek menjadi prioritas, bukan pembaruan tata kelola atau legitimasi politik.
Meskipun demikian, data survei dari Barometer Arab menunjukkan bahwa masyarakat di kawasan masih memegang harapan terhadap demokrasi.
Bukan sebagai nilai abstrak, tetapi sebagai sistem yang mampu menghasilkan pemerintahan sah, supremasi hukum, dan kesejahteraan ekonomi.
Ini menunjukkan bahwa meskipun demokrasi tidak selalu menjadi tuntutan eksplisit, keinginan untuk hasil-hasil demokratis tetap hidup di benak banyak warga.
Akhirnya, pertanyaan besar pun mengemuka: Bagaimana wajah Timur Tengah akan terbentuk jika kedelapan tren ini—dan dinamika lainnya—berinteraksi satu sama lain? Apakah kawasan ini akan bergerak menuju stabilitas pragmatis yang dibangun di atas kompromi, atau justru menghadapi kemelut baru yang muncul dari kontradiksi internal tiap arah kebijakan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat menentukan wajah geopolitik Timur Tengah di dekade mendatang—dan tentu saja, peran aktor global di dalamnya.
*Hisham Jaafar adalah seorang jurnalis dan peneliti asal Mesir. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Mada dan bekerja sebagai Konsultan Senior di Pusat Regional untuk Mediasi dan Dialog serta Konsultan di Pusat Dialog Kemanusiaan (HD). Ia juga merupakan pendiri dan Ketua Dewan Direksi Yayasan Mada untuk Pengembangan Media. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Rof’u al-‘Uqūbāt ‘An Sūriyā, Hal Yuṭhlaqu Nidzhāmān Jadīdān?”.