Oleh: Sayid Marcos Tenorio
Sejumlah analis dari berbagai negara, termasuk Israel, terus melontarkan kritik terhadap kinerja militer Israel atau yang kerap disebut sebagai “tentara Zionis.” Setelah lebih dari 600 hari pengeboman udara dan serangan darat intensif di Jalur Gaza, tiga tujuan utama perang yang dicanangkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu belum juga tercapai.
Pertanyaan yang kerap muncul dari para analis tersebut antara lain: “Mengapa Israel belum berhasil menghancurkan Hamas?”, “Apa yang sebenarnya terjadi?”, dan “Mengapa Hamas masih berani dan tampak tak terkalahkan?” Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan ketidakmampuan dalam memahami bahwa Hamas adalah lawan yang tangguh dan bahwa rakyat Palestina memiliki tekad kuat untuk tetap bertahan di tanah mereka serta melawan segala bentuk upaya pemusnahan terhadap mereka.
Meskipun infrastruktur hancur dan sejumlah tokoh penting perlawanan telah gugur, Israel belum berhasil meraih kemenangan di Gaza maupun menghancurkan Hamas. Kelompok tersebut terus menunjukkan daya tahan dan memaksa militer Israel untuk kembali ke wilayah yang sama berulang kali.
Kesimpulan awal yang bisa ditarik adalah bahwa mesin perang Israel tidak hanya gagal, tetapi justru terseret dalam perang yang melelahkan di Gaza. Hal ini turut melemahkan para pemimpin Israel, memicu perpecahan dalam masyarakatnya, dan menyebabkan kelelahan pada pasukan militernya.
Laporan menunjukkan bahwa ribuan tentara telah diberhentikan karena mengalami gangguan kejiwaan serta meningkatnya angka bunuh diri. Israel perlu menyadari bahwa meskipun bisa memenangkan setiap pertempuran, mereka tetap akan kalah dalam perang secara keseluruhan.
Keinginan Netanyahu di Gaza tampaknya adalah menghabisi sebanyak mungkin dari 2,1 juta penduduk Palestina di wilayah tersebut melalui pemboman dan blokade makanan. Hal ini dilakukan setiap hari dengan intensitas dan kekejaman yang nyata, sementara negara-negara Barat belum mengambil langkah nyata di luar retorika untuk menghentikan kekerasan dan menegakkan hukum humaniter internasional.
Upaya untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya pun terus mengalami kegagalan, bahkan dengan dukungan dari pernyataan-pernyataan kontroversial tokoh seperti Donald Trump. Ratusan ribu warga Palestina yang sempat diusir dan dijanjikan jaminan keamanan kembali ke wilayahnya sejak gencatan senjata terakhir, meskipun tidak ada yang tersisa dari rumah mereka.
Selama lebih dari 600 hari konflik, Israel telah menggunakan kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan yang digunakan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam yang berlangsung selama 19 tahun dan menewaskan lebih dari 966.000 warga Vietnam. Dalam Perang Vietnam, AS menjatuhkan sekitar 15 ton bahan peledak per kilometer persegi. Sementara itu, sejak 7 Oktober 2023, Israel telah menjatuhkan sekitar 275 ton bahan peledak per kilometer persegi di Gaza—angka yang 18 kali lebih besar.
Keteguhan rakyat Palestina untuk tetap tinggal dan, jika perlu, mati di tanah mereka sendiri, serta meningkatnya dukungan opini publik dunia yang mulai berbalik menentang Israel, menjadi faktor penting yang mendorong rakyat Palestina menuju kemerdekaan dan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dukungan ini kini mulai merambah ke kelompok-kelompok kanan dan tengah, serta telah lama kokoh di kalangan sayap kiri. Tuduhan antisemitisme terhadap kritik yang sah atas tindakan kekerasan kini mulai kehilangan daya pukulnya. Senjata retoris tersebut seakan telah habis digunakan.
Alih-alih menghapus Palestina dari peta, langkah-langkah Israel justru membangkitkan solidaritas global terhadap rakyat Palestina. Puluhan juta orang di berbagai ibu kota dunia turun ke jalan menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina. Dengan mengepung Gaza, justru kini Zionisme yang merasa terkepung, bahkan beberapa sejarawan Israel seperti Yuval Noah Harari mulai meramalkan keruntuhan ideologi tersebut.
Perang yang dilancarkan Israel terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, dengan menggunakan berbagai jenis senjata, amunisi, dan bom yang dilarang secara internasional, serta serangan tanpa pandang bulu terhadap sekolah dan rumah sakit yang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional, belum—dan tidak akan—berhasil mencapai tujuan maksimalis mereka, termasuk menghancurkan perlawanan rakyat Palestina.
Satu-satunya hal yang kini dapat diklaim Israel sebagai “pencapaian” adalah sederet kejahatan perang, tindakan genosida, pembunuhan massal terhadap anak-anak dan perempuan, penghancuran infrastruktur, serta pemusnahan hampir seluruh aspek kehidupan di Jalur Gaza. Di sisi lain, rakyat Palestina terus menunjukkan ketabahan luar biasa, semangat patriotik, kecintaan terhadap tanah air, serta dukungan penuh terhadap perjuangan mereka.
Sayid Marcos Tenório adalah seorang sejarawan, spesialis Hubungan Internasional, pendiri dan wakil presiden Institut Brasil-Palestina (Ibraspal). Penulis buku Palestina: do mito da terra prometida à terra da resistência (Palestina: dari mitos tanah yang dijanjikan ke tanah perlawanan) (Anita Garibaldi/Ibraspal).