Friday, October 10, 2025
HomeBeritaOPINI - Mengapa Netanyahu terpaksa menerima penghentian Perang?

OPINI – Mengapa Netanyahu terpaksa menerima penghentian Perang?

Oleh: Mahmoud Sultan — Penulis dan Jurnalis Mesir

Hingga sebelum pengumuman mengenai perjanjian “Sharm El-Sheikh” yang dimediasi Mesir, Qatar, dan Turki, Israel masih bertaruh bahwa dunia akan memaafkan dan melupakan. Namun laporan-laporan Barat berulang kali menunjukkan bahwa isolasi Israel tidak lagi sekadar teori, menurut pengamatan Politico.

Dalam beberapa waktu terakhir, Benjamin Netanyahu mendapati dirinya sendirian menghadapi tekanan global. Pertemuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi titik kumpul dari semua keping yang terserak: dunia di satu sisi, dan Netanyahu yang terasing di sisi berlawanan.

Tanda-tanda itu terlihat sejak peristiwa penerbangan Netanyahu yang memilih menghindari memasuki ruang udara Eropa menuju PBB beberapa hari sebelumnya, khawatir beberapa negara bisa menindak dengan mematuhi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional. Penampilannya ketika berpidato di hadapan ruang sidang yang tampak kosong dan dingin, setelah banyak delegasi meninggalkan ruangan, mempertegas kesan keterasingan itu.

Di sisi lain, sejumlah pejabat tinggi Eropa menuduh Israel secara terbuka — dan tanpa pembungkaman — melakukan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai genosida. Tekanan untuk memberlakukan embargo senjata terhadap Israel pun meningkat, termasuk dari kalangan Demokrat yang selama ini pro-Israel, seperti mantan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan.

Pada Agustus lalu, 28 negara Barat menyerukan agar Israel menghentikan kebrutalannya di Gaza. Ancaman boikot budaya, akademik, dan olahraga juga menguat — fenomena yang oleh akademisi Israel Nimrod Gorin dikatakan “sudah menjadi bagian nyata dari ruang publik”, dan yang berkontribusi pada perasaan banyak warga Israel bahwa “dunia melawan mereka dan tidak ada yang memahami mereka”. Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert bahkan mengakui belakangan: “Kita telah menjadi sebuah negara yang terasing.”

Menurut wa­rang-­warang publik, rakyat Israel biasa selama ini mengandalkan dukungan Amerika Serikat. “Jika AS berada di pihak kami, maka tidak apa-apa; situasinya tak seburuk itu,” begitu keyakinan yang lazim. Netanyahu percaya Donald Trump berpihak padanya, dan tidak akan memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Ia merasa aman dalam keberpihakan itu.

Namun yang mengejutkan Netanyahu adalah tekanan keras dari Presiden AS yang belum pernah ia alami sebelumnya — bahkan mungkin sejak ancaman tindakan keras Dwight Eisenhower terhadap David Ben-Gurion pada 1956. Tekanan terakhir dari Gedung Putih membuat situasi menjadi sangat berbeda.

Kekhawatiran atas isolasi diplomatik menjadi nyata pada pertengahan September, ketika Netanyahu memperingatkan bahwa Israel harus bersiap menjadi lebih mandiri secara ekonomi, ibarat Sparta di masa lampau. Survei Pew terbaru menunjukkan bahwa 58 persen warga Israel berpendapat negara mereka kehilangan rasa hormat internasional, sementara 39 persen berpandangan sebaliknya.

Di beberapa negara, generasi muda lebih cenderung memiliki pandangan negatif terhadap Israel dibanding generasi tua—fenomena yang menonjol di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Australia, Kanada, Prancis, Polandia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Di dalam negeri, kelelahan akibat perang juga tumbuh. Survei berulang kali menunjukkan mayoritas warga Israel menginginkan perang segera dihentikan. Kekhawatiran atas kerusakan citra negara dan tingkat isolasi internasional membuat melanjutkan operasi militer menjadi semakin tidak mungkin, mengingat tekanan dari dalam dan luar negeri.

Lebih jauh, selama sembilan bulan terakhir Netanyahu menyaksikan tindakan-tindakan Trump yang belum pernah dilakukan oleh presiden AS mana pun terhadap berbagai pihak: membuka jalur dialog langsung dengan Hamas pada Maret, menyelesaikan perjanjian dengan Houthi di Yaman yang mengejutkan banyak pihak, mencabut sebagian sanksi terhadap pemerintah baru di Suriah meski Israel keberatan, dan menunjukkan minat berdialog dengan Iran. Sikap-sikap tersebut memberikan ruang bagi Gedung Putih untuk meningkatkan tekanan pada Israel.

Upaya menuju kesepakatan mendapat momentum setelah upaya gagal Israel membunuh sejumlah pejabat senior Hamas—termasuk figur-figur yang terlibat dalam negosiasi di Doha—yang memicu kemarahan regional, termasuk di antara sekutu penting Amerika Serikat. Lingkaran dekat Gedung Putih melihat peluang untuk mendesak Netanyahu mengakhiri perang, menilai citra umum konflik sudah sangat merugikan Amerika.

Secara luas diyakini di kalangan elit dekat Gedung Putih bahwa Trump memutuskan perang harus dihentikan setelah serangan udara Israel yang menarget Doha. Ia merasa frustasi pada Netanyahu dan menilai citra perang sangat merugikan — sehingga ia mendorong penyelesaian bukan melalui langkah parsial, melainkan kesepakatan komprehensif.

Kebencian terhadap Israel tumbuh dengan intensitas yang mengancam kehilangan dukungan dari sekutu-sekutu lama, termasuk negara-negara yang sebelumnya relatif kebal terhadap sentimen anti-Israel. Empat hari sebelum kesepakatan Sharm El-Sheikh, ratusan ribu orang turun ke jalan di berbagai kota Eropa dalam unjuk rasa menentang Israel — sebuah momen yang oleh media Israel dianggap sebagai titik paling berbahaya dalam hubungan historis Eropa–Israel.

Beberapa analis juga memperingatkan bahwa jika keadaan berlanjut, Israel bisa menempuh jalur menuju kemunduran serius, bahkan kemungkinan terancam “lenyap” secara bertahap, dan kembali ke kondisi sebelum berdirinya negara itu lebih dari tujuh dekade lalu.

Sementara Gaza jelas membutuhkan kesepakatan yang menghentikan penderitaan jutaan rakyat Palestina, dunia Barat sendiri — termasuk Amerika Serikat dan Israel sendiri — juga sangat membutuhkan penghentian perang ini untuk menyelamatkan reputasinya. Barat menghadapi kebutuhan mendesak untuk membersihkan citra publik yang telah terlanjur tercemar oleh tuduhan kebrutalan, yang bagi banyak orang di dunia tampak sebagai wujud kebijakan yang tidak manusiawi.

Dengan demikian, dunia berada pada titik yang untuk pertama kalinya menuntut penghentian perang. Netanyahu menghadapi pilihan antara meneruskan konfrontasi yang semakin mengasingkan Israel atau menerima tekanan global—melepas sebagian tujuan politiknya demi mengakhiri keterasingan yang mengancam eksistensi diplomatik negara itu. Pada akhirnya, tekanan opini publik global dan isolasi diplomatik membuat Netanyahu terpaksa menurunkan sikapnya dan menerima penghentian perang — meski hal itu berarti bahwa ia tak mencapai banyak dari tujuan yang ia canangkan, dan menunggu nasib politiknya yang tidak pasti, termasuk kemungkinan kehilangan kekuasaan, atau bahkan konsekuensi hukum di masa depan.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler