Oleh: Peiman Salehi
Lolosnya resolusi Gaza yang didukung Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB baru-baru ini menjadi salah satu momen paling paradoks dalam krisis pasca-Oktober 2023: sebuah rencana yang didukung 13 anggota Dewan, namun justru ditentang dua pihak yang masa depannya paling terdampak—Israel dan Hamas.
Resolusi tersebut mengesahkan pembentukan pasukan internasional untuk stabilisasi jangka panjang di Gaza, sekaligus menempatkan wilayah itu—setidaknya dalam waktu dekat—di bawah tata kelola transisi yang dikelola pihak luar.
Konstelasi politik yang tidak lazim ini, ditambah abstainnya Rusia dan China yang sama-sama “diam tapi berbicara”, mengungkap logika yang lebih dalam: langkah menuju bentuk trusteeship atau perwalian yang direkayasa AS untuk membekukan konflik pada level yang dianggap dapat dikendalikan, alih-alih menyelesaikan akar persoalannya.
Respons Israel memberikan gambaran yang gamblang. Meski memprotes sejumlah aspek dalam rencana tersebut, Tel Aviv tidak mengeluarkan senjata diplomatik terkuatnya: veto Amerika yang hampir pasti.
Kekecewaan Israel terutama bersumber dari hilangnya kendali sepihak. Selama puluhan tahun, pemerintah Israel berupaya mengatur arsitektur keamanan dan administrasi Gaza—melalui blokade, operasi militer, maupun upaya memecah lembaga politik Palestina.
Kehadiran misi stabilisasi internasional, meski dipimpin dan dilindungi secara politik oleh Washington, tetap mengurangi otoritas eksklusif Israel dalam menentukan tatanan keamanan Gaza. Ini berarti ada pengawasan eksternal terhadap ruang gerak Israel—sesuatu yang baru diterima Tel Aviv jika alternatifnya adalah perseteruan terbuka dengan AS.
Dengan kata lain, Israel menolak resolusi itu, tapi mereka menolak retaknya hubungan dengan Washington lebih keras lagi.
Bagi Hamas, dampaknya lebih eksistensial
Bagi Hamas, konsekuensinya bahkan lebih mendasar. Resolusi ini menandai berakhirnya status Hamas sebagai pengelola de facto Gaza—status yang telah membentuk lanskap politik Palestina sejak 2007.
Dengan memindahkan kewenangan keamanan, administrasi, dan rekonstruksi kepada pasukan internasional tanpa batas waktu yang jelas, Hamas tersingkir dari struktur pemerintahan tanpa ada mekanisme politik yang sah untuk menggantinya.
Kritik terhadap resolusi ini bersifat struktural, bukan ideologis: setiap transisi politik yang bernilai harus bertumpu pada persetujuan, representasi, dan kepemilikan politik oleh rakyat Palestina. Namun resolusi ini justru menghindari ketiganya.
Gaza yang “distabilkan” dalam rancangan resolusi ini membayangkan para aktor politik Palestina ditempatkan di pinggir atau digiring masuk ke kerangka kerja yang dirancang pihak luar—kerangka yang tidak merefleksikan realitas kekuatan di lapangan maupun akar konflik yang sudah berurat akar.
Abstain Rusia dan China
Abstennya Rusia dan China perlu dibaca lebih dekat. Keduanya enggan menanggung beban politik dari kegagalan rencana ini.
Melakukan veto akan membuat mereka tampak sebagai pihak yang “menghalangi stabilisasi Gaza”—citra yang merugikan di mata dunia Arab. Sebaliknya, jika menyetujui, mereka akan terlihat mendukung rencana yang memperkuat kendali AS atas konflik paling simbolik di Global South.
Karena itu, abstain menjadi posisi tengah yang strategis: menunjukkan ketidakpuasan terhadap trusteeship versi AS, namun tetap memastikan bahwa Washingtonlah yang menanggung seluruh beban politik pelaksanaannya.
Masalah Utama: Bukan pada tujuannya, tapi pada arsitektur politiknya
Tujuan resolusi—menghentikan kekerasan dan membangun kembali Gaza—tentu luas didukung komunitas internasional. Permasalahan muncul pada desain politik yang dipaksakan: kehadiran internasional tanpa batas waktu, tanpa mekanisme jelas untuk memastikan hak menentukan nasib sendiri bagi Palestina selama masa transisi, serta tanpa komitmen untuk membongkar struktur yang memicu konflik itu sendiri.
Dalam praktik hubungan internasional, mekanisme “transisi” yang tanpa tenggat waktu sering berubah menjadi keadaan permanen. Ketiadaan horizon politik membuat pasukan stabilisasi berubah menjadi otoritas pemerintahan, menyingkirkan peran politik Palestina dan memperdalam pengaruh Amerika di kawasan paling sensitif di Timur Tengah.
Kekhawatiran kawasan
Bagi aktor-aktor kawasan yang berseberangan dengan Israel, resolusi ini tidak dipandang sebagai misi penjaga perdamaian yang netral. Ia terbaca sebagai intervensi geopolitik untuk membentuk ulang keseimbangan kekuatan di Gaza di bawah supervisi AS.
Dengan menyingkirkan Hamas dari pemerintahan tanpa menghadirkan kerangka politik Palestina yang inklusif, resolusi ini berpotensi melahirkan kekosongan yang diisi bukan oleh stabilitas, melainkan fragmentasi dan gelombang resistensi baru.
Kehadiran keamanan yang dipimpin AS juga dipandang sebagai upaya Washington untuk menata ulang tatanan regional pascakonflik yang meminimalkan peran aktor lokal demi stabilitas yang dikendalikan dari luar.
Mengelola konflik, bukan menyelesaikannya
Rencana ini tidak menyelesaikan persoalan politik inti: kedaulatan Palestina dan ketimpangan struktural antara pihak pendudukan dan pihak yang diduduki. Yang terjadi adalah upaya mengatur dan mengotak-kotakkan krisis lewat mekanisme internasional yang legitimasinya justru diperdebatkan oleh aktor-aktor yang paling terdampak.
Menghentikan kekerasan tanpa proses politik menyeluruh membuat konflik hanya dikelola, bukan diubah. Akar persoalan tetap bertahan di balik “stabilisasi”.
Jalan yang tidak mengarah ke perdamaian
Pada akhirnya, resolusi Gaza ini lebih tepat dibaca sebagai upaya menginternasionalisasi pengelolaan konflik di bawah arahan AS—sebuah proyek yang penuh kontradiksi.
Masa depan Gaza yang berkelanjutan hanya mungkin terwujud melalui proses politik yang berlandaskan kepemilikan Palestina, realisme kawasan, serta pengakuan terhadap struktur kekuasaan yang membentuk konflik selama puluhan tahun.
Tanpa fondasi itu, pasukan stabilisasi internasional mungkin dapat membekukan pertempuran, tetapi tidak akan menciptakan syarat bagi penyelesaian yang adil dan bertahan lama.
Penulis adalah seorang analis politik dan penulis Iran yang bekerja di persimpangan antara filsafat politik dan urusan internasional. Tulisan ini diambil dari opininya di Middle East Monitor berjudul Why the new UN resolution on Gaza signals a US-led trusteeship, not a path to peace


