Tuesday, October 21, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Mimpi Netanyahu: Pupus atau sekadar tertunda?

OPINI – Mimpi Netanyahu: Pupus atau sekadar tertunda?

Oleh: Amr Hashem Rabie*

Setelah pertempuran di Gaza mereda dan perhatian dunia beralih ke urusan prosedural—mulai dari kembalinya para sandera hingga pembebasan sejumlah tahanan Palestina dari penjara Israel—muncul pertanyaan mendasar.

Apakah telah berakhir rencana Benjamin Netanyahu dan sayap kanan ekstrem di Israel mengenai kebijakan pengusiran massal dan aneksasi setelah ditandatanganinya Perjanjian Sharm el-Sheikh pada 13 Oktober 2025?

Beberapa bulan sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump berulang kali menegaskan bahwa negara-negara Arab dan Islam menolak rencana pengusiran itu.

Mereka juga menolak proyek yang disebutnya “Gaza Riviera”, sebuah gagasan untuk mengubah Jalur Gaza menjadi kawasan bisnis dan investasi yang tampak menggiurkan di permukaan, namun sejatinya berfungsi ganda.

Yaitu menguntungkan secara ekonomi dan menjamin keamanan negara Israel secara politik.

Menjelang penandatanganan perjanjian tersebut, Trump juga menyatakan bahwa ia tidak mendukung langkah Israel untuk mencaplok Tepi Barat.

Meskipun sebelumnya ia sendiri telah menyetujui aneksasi Dataran Golan dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Terlepas dari motif dan kepentingan di balik perubahan sikap itu, tidak dapat disangkal bahwa pernyataan tersebut menandai pergeseran yang cukup signifikan dalam cara pandang dan arah kebijakan Amerika terhadap konflik Timur Tengah.

Mimpi yang pupus atau ditunda?

Kini, tampaknya mimpi-mimpi besar Netanyahu benar-benar kandas—atau setidaknya tertunda hingga waktu yang belum dapat dipastikan.

Ideologi kanan ekstrem yang ia anut bertumpu pada satu gagasan utama: mengubah wajah kawasan Timur Tengah dengan menutup seluruh ruang bagi eksistensi nasional Palestina.

Tidak sekadar melalui pengusiran atau aneksasi, tetapi dengan menghapus persoalan Palestina dari peta politik dunia.

Namun perang di Gaza justru menghasilkan sesuatu yang tak pernah dihitung Netanyahu: perubahan besar dalam persepsi global terhadap Israel.

Dunia kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa negara yang selama ini mengklaim diri sebagai “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”.

Sebenarnya, hal itu adalah kekuatan kolonial yang menjalankan kebijakan pemusnahan massal, kelaparan sistematis, perampasan sumber daya, penistaan tempat suci, dan rasisme yang terang-terangan.

Citra lama—Israel sebagai negara kecil yang dikepung dunia Arab, simbol demokrasi di tengah diktator—telah runtuh.

Kini, Israel tampil di hadapan publik dunia sebagai negara yang gemar membombardir warga sipil, menindas jurnalis, dan menghancurkan rumah sakit serta sekolah.

Perubahan persepsi ini tidak hanya terjadi di Eropa Barat, Australia, atau Kanada, melainkan juga mulai terasa di tempat-tempat yang selama ini dikenal sebagai benteng dukungan tradisional Israel.

Yang paling mencolok adalah Jerman—negara yang selama puluhan tahun bersikap pro-Israel karena terbelenggu oleh rasa bersalah sejarah akibat tragedi Holocaust.

Bahkan di Amerika Serikat sendiri, terutama di kalangan muda dari Partai Demokrat maupun Republik, dukungan terhadap Israel mulai retak.

Perubahan itu menjadi sumber kecemasan besar bagi Tel Aviv. Dalam “perang citra” yang kini menjadi medan tempur utama, Israel kalah telak.

Perang Gaza telah mengungkap wajah sejati kebijakan mereka: brutal, sombong, dan tanpa batas moral.

Politik Palestina untuk menggagalkan rencana zionis

Langkah berikutnya yang paling mendesak bagi dunia Arab adalah memastikan bahwa kekalahan moral Israel di panggung dunia tidak hilang begitu saja.

Negara-negara Arab perlu mengadopsi strategi politik yang aktif—bukan sekadar reaktif—guna menggagalkan setiap upaya baru Israel untuk menormalisasi atau mengaburkan jejak kejahatannya.

Khusus bagi Palestina, kunci keberhasilan upaya ini terletak pada rekonsiliasi internal.

Perpecahan di antara faksi-faksi perlawanan telah memperlemah posisi politik dan diplomatik Palestina selama bertahun-tahun. Tidak ada strategi jangka panjang yang akan berhasil tanpa penyatuan barisan nasional.

Dalam konteks inilah, peran Mesir dan Qatar menjadi sangat penting. Kedua negara itu secara konsisten berupaya memediasi faksi-faksi Palestina.

Tujuannya memperkuat kesatuan politik yang dapat menghadapi upaya Israel menciptakan “alternatif” kepemimpinan Palestina yang lebih mudah dikendalikan.

Hanya dengan persatuan internal, bangsa Palestina dapat menghadapi proyek-proyek besar yang ingin menghapus keberadaan mereka.

Politik Arab bersama melawan perilaku Israel

Sejalan dengan upaya rekonsiliasi Palestina, negara-negara Arab perlu pula menyusun kebijakan bersama yang tegas terhadap Israel.

Langkah pertama adalah menghentikan seluruh proses normalisasi, baik yang sudah berlangsung maupun yang sedang dirintis.

Setiap bentuk hubungan yang memperkuat posisi Israel di kawasan hanya akan memperlemah posisi tawar dunia Arab sendiri.

Langkah kedua, merumuskan visi alternatif untuk menghadapi proyek-proyek geopolitik Israel yang bersifat kolonial, termasuk gagasan lama tentang “Timur Tengah Baru”.

Dalam hal ini, sejumlah kekuatan regional seperti Turki dan Iran telah memiliki visi tersendiri untuk kawasan.

Hal itu seharusnya menjadi pendorong bagi negara-negara Arab untuk membangun pandangan strategisnya sendiri—demi menjaga kesatuan politik dan mencegah campur tangan eksternal yang merugikan.

Penguatan kerja sama ekonomi intra-Arab menjadi salah satu jalan konkret. Kawasan ini memiliki sumber daya yang cukup untuk membangun sistem saling ketergantungan yang sehat, tanpa perlu terlibat dalam kerja sama keamanan yang diarahkan untuk melawan sesama negara Arab.

Selain itu, inisiatif seperti proyek Belt and Road Tiongkok dapat dijadikan inspirasi untuk membangun jalur kerja sama ekonomi yang mandiri, lepas dari bayang-bayang kepentingan Barat maupun Israel.

Menjalin kembali hubungan strategis dengan Turki dan Iran

Dalam menghadapi ekspansi politik dan militer Israel, mempererat kerja sama dengan Turki dan Iran bisa menjadi langkah strategis.

Semakin erat hubungan antara dunia Arab dan kedua negara ini, semakin kecil pula ruang bagi proyek normalisasi Arab–Israel yang selama ini didorong kekuatan Barat.

Tentu saja, hal ini menuntut perubahan paradigma. Dunia Arab perlu menolak upaya sistematis Barat untuk “menyudutkan” Iran sebagai ancaman utama kawasan.

Daripada menumpuk senjata miliaran dolar untuk perang yang belum tentu terjadi, akan jauh lebih bermanfaat membangun hubungan ekonomi dan politik yang rasional dengan Teheran.

Turki, di sisi lain, juga memiliki potensi besar sebagai mitra strategis, terutama setelah membaiknya hubungan dengan sejumlah negara Arab sejak 2013.

Kerja sama dalam proyek lintas batas seperti pengelolaan air antara Turki, Suriah, dan Irak dapat meredakan ketegangan regional, sekaligus memusatkan energi kawasan untuk menghadapi ancaman yang lebih besar—yakni ekspansi Israel.

Menyeimbangkan hubungan internasional Arab

Selain membangun kerja sama regional, dunia Arab juga perlu meninjau ulang orientasi globalnya.

Ketergantungan berlebihan pada Amerika Serikat (AS) telah membuat banyak negara Arab kehilangan ruang manuver di panggung internasional.

Padahal, di tengah dinamika global yang berubah, Tiongkok dan Rusia tampil sebagai kekuatan utama yang tak dapat diabaikan.

Hubungan yang lebih seimbang dengan dua negara tersebut—baik di bidang ekonomi, teknologi, maupun militer—akan memperkuat posisi tawar Arab dalam setiap negosiasi internasional.

Langkah sebagian negara Arab untuk bergabung dengan blok BRICS memang positif, tetapi belum cukup untuk menciptakan keseimbangan yang nyata.

Kerja sama strategis dengan Rusia dan Tiongkok akan membantu dunia Arab mengurangi ketergantungan politik dan militer pada satu kekuatan tunggal.

Diversifikasi mitra luar negeri bukan hanya soal pragmatisme, melainkan juga syarat bagi kemandirian dan stabilitas jangka panjang.

Pada akhirnya, pertanyaan “Apakah mimpi Netanyahu telah pupus atau hanya tertunda?” mungkin belum menemukan jawaban pasti.

Namun satu hal jelas: perang di Gaza telah mengubah peta moral dan politik di kawasan. Ia menyingkap wajah sebenarnya dari sebuah proyek kolonial modern, dan sekaligus membuka peluang bagi dunia Arab—jika mampu bersatu—untuk menulis babak baru sejarahnya sendiri.

*Amr Hashem Rabie adalah Wakil Presiden Pusat Studi Strategis dan Politik Al-Ahram dan anggota Dewan Pembina Dialog Nasional di Mesir. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Aḥlām Niyanyāhū: Tabakharat Am Taajjalat?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler