Oleh: Iqbal Jassat*
Upaya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyembunyikan keterlibatannya dalam pembentukan “kekuatan ketiga” guna melawan perlawanan Palestina kini terkuak ke publik.
Meskipun ia berusaha menutupi operasi ini, kenyataan tak bisa dibungkam selamanya. Langkah-langkah manipulatif semacam ini, cepat atau lambat, akan menjerat dirinya sendiri.
Dalam sejarah konflik, kekuatan ketiga kerap dimunculkan sebagai alat negara untuk menumpas perlawanan dengan cara-cara tidak langsung.
Namun, sebagaimana ditunjukkan pengalaman pahit Afrika Selatan pada masa apartheid, dampak dari operasi semacam ini tidak bisa diremehkan.
Antara awal 1980-an hingga akhir 1990-an, muncul operasi-operasi rahasia di Afrika Selatan yang akhirnya diungkap sebagai aktivitas pasukan pembunuh (hit squads) bentukan rezim apartheid.
Mereka melakukan pembunuhan terencana, kekerasan, dan aksi brutal lainnya terhadap kelompok-kelompok yang mendukung gerakan pembebasan.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission) memang tidak menemukan bukti langsung bahwa kekuatan ketiga ini dibentuk secara resmi dan terkoordinasi.
Namun, ada cukup banyak temuan bahwa jaringan aparat keamanan dan mantan aparat, sering kali bekerja sama dengan kelompok kanan dan elemen dari Inkatha Freedom Party (IFP).
Mereka terlibat dalam kekerasan terencana yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk pembunuhan acak maupun terarah.
Puncak dari rangkaian kekerasan ini terjadi pada peristiwa pembantaian Boipatong pada 17 Juni 1992.
Hanya beberapa bulan kemudian, saat dilakukan penggerebekan oleh hakim Goldstone terhadap Direktorat Pengumpulan Rahasia (DCC) milik rezim apartheid, terungkap keterlibatan aparat dalam berbagai aktivitas ilegal.
Media lokal Weekly Mail saat itu juga melaporkan pengakuan dua pemuda anggota geng yang secara mengejutkan menceritakan bagaimana mereka didorong, dipersenjatai, dan dilatih oleh aparat keamanan untuk menyerang sasaran yang berafiliasi dengan ANC.
Kesaksian mereka, yang diperoleh secara terpisah dan mendalam, mengisi potongan penting dalam teka-teki kekerasan politik yang melanda banyak permukiman di Afrika Selatan.
Kini, ketika laporan muncul bahwa pemerintah Netanyahu juga menggunakan taktik serupa di Gaza, tekanan internasional terhadap Israel semakin menguat.
Skandal ini menyangkut keberadaan sebuah kelompok bersenjata yang dipimpin oleh tokoh kriminal bernama Yasser Abu Shabab.
Ia diduga kuat dipersenjatai dan dilindungi oleh militer Israel untuk beroperasi di Rafah dan wilayah lain yang dikuasai pasukan Israel.
Media Israel sendiri telah memuat rincian bahwa kelompok ini beroperasi di bawah perlindungan militer Israel dan terlibat dalam penjarahan bantuan kemanusiaan.
Dalam sejumlah rekaman video yang beredar di dunia maya, kelompok Abu Shabab tampak mengenakan seragam militer dengan emblem bendera Palestina dan tulisan “Counter-Terrorism Mechanism”—meskipun faktanya mereka bergerak atas sepengetahuan dan dukungan penuh Israel.
Langkah Netanyahu ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk dari dalam negeri Israel sendiri.
Ketua oposisi Yair Lapid secara terbuka mengecam keputusan Netanyahu karena telah memberikan senjata kepada sosok yang disebut memiliki hubungan dengan kelompok ISIS.
Mantan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman juga menyampaikan kritik tajam, dengan menyebut bahwa Netanyahu secara sepihak menyetujui pengiriman senjata kepada Abu Shabab.
Tak hanya soal senjata, kelompok ini juga dituding menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Abu Shabab dan anak buahnya diduga kuat menjarah bantuan kemanusiaan yang seharusnya ditujukan untuk warga sipil di Gaza, sementara pasukan Israel hanya diam menyaksikan.
Dalam salah satu video yang dirilis Hamas pada 30 Mei, tampak sekelompok pria bersenjata dan bertopeng tengah melakukan inspeksi bangunan sebelum kemudian diledakkan.
Hamas mengklaim bahwa kelompok tersebut bekerja sama dengan tentara Israel untuk memeriksa area sebelum pasukan IDF bergerak masuk.
Hamas juga mengecam Abu Shabab sebagai “alat yang digunakan pendudukan Israel untuk memecah belah front internal Palestina”.
Namun Netanyahu mencoba membela diri. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa penggunaan klan-klan di Gaza yang menentang Hamas adalah upaya untuk “menyelamatkan nyawa tentara IDF”.
“Apa salahnya? Itu justru baik. Itu menyelamatkan tentara kita,” tanya Netanyahu.
Namun, banyak pihak melihat strategi ini sebagai manuver berbahaya yang dapat memperparah kekacauan dan menciptakan konflik horizontal di dalam masyarakat Palestina.
Abu Shabab sendiri dikenal luas di Gaza sebagai tokoh kriminal dengan reputasi yang suram, termasuk dugaan keterlibatan dalam perdagangan narkoba.
Kini, dengan makin banyaknya media internasional yang mengungkap peran Israel dalam membentuk dan memfasilitasi kekuatan ketiga di Gaza, reputasi Israel semakin tercoreng di mata dunia.
Sebutan sebagai “negara genosidal” kian melekat, diperparah dengan strategi yang menghidupkan kembali taktik lama rezim apartheid.
Ketika dunia menyaksikan bagaimana kekuasaan digunakan untuk memecah perlawanan dengan cara-cara kotor, sejarah mengingatkan bahwa kekuatan ketiga pada akhirnya hanya akan membawa kehancuran moral dan memperkuat isolasi internasional.
*Iqbal Jassat adalah Anggota Eksekutif Media Review Network, Johannesburg, Afrika Selatan. Tulisan ini diambil dari situs Middleeastmonitor.com dengan judul “Netanyahu’s latest gamble: A ‘Third-Force’ headed by a criminal gang leader”.