Oleh: Imran Khalid*
“Ketika saya mengunjungi Tepi Barat awal tahun ini, saya bertemu dengan warga Palestina yang komunitasnya telah menderita kekerasan mengerikan oleh pemukim Israel. Ketidakberdayaan pemerintah Israel telah menciptakan lingkungan di mana kekerasan pemukim dapat berkembang tanpa kendali.”
Demikian pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, pekan lalu saat mengumumkan sanksi terhadap tujuh organisasi yang mendukung pemukim ilegal di Tepi Barat.
Namun, Lammy tidak menjatuhkan sanksi kepada dua menteri ekstremis yang menjabat dalam pemerintahan Israel. Langkah yang sebelumnya direncanakan oleh pendahulunya, David Cameron, saat menjabat sebagai menteri luar negeri dalam pemerintahan mantan Perdana Menteri Rishi Sunak.
Cameron, yang pernah menjabat sebagai perdana menteri pada 2010-2016, baru-baru ini mengungkapkan kepada media bahwa, pada akhir masa jabatannya, ia telah menyiapkan sanksi terhadap Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, dan Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir.
Alasan yang diungkapkan Cameron adalah bahwa ia menganggap kedua pria tersebut “ekstremis” dan percaya bahwa sanksi dapat memberikan tekanan pada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mematuhi hukum internasional.
Beberapa minggu yang lalu, sulit membayangkan pemerintah Inggris menjatuhkan sanksi kepada seorang menteri dari sekutu, terutama sekutu yang sedekat Israel.
Selama bertahun-tahun, Israel terlindungi dari tindakan semacam itu. Namun, sepertinya zaman telah berubah. Ini adalah episode ketiga sanksi finansial dan sanksi lainnya terhadap elemen tertentu dari komunitas pemukim Tepi Barat oleh pemerintah Inggris. Menjatuhkan sanksi kepada pemukim adalah satu hal, tetapi menargetkan menteri pemerintah? Itu adalah permainan yang sama sekali berbeda.
Apa yang mendorong perubahan ini?
Tidak perlu mencari jauh-jauh, karena kata-kata dan tindakan dua menteri Israel yang disebutkan di atas sangat mengkhawatirkan. Ben-Gvir secara berulang menyatakan keyakinannya bahwa hak-hak Israel Yahudi lebih penting daripada hak asasi manusia Arab, dan komentarnya tentang mengapa pasukan keamanan harus membunuh daripada menangkap musuh telah memicu kemarahan baik di Israel maupun di luar negeri.
Sementara itu, sikap Smotrich yang menyatakan bahwa membiarkan 2 juta orang di Gaza mati kelaparan adalah “moral” sampai sandera Israel dikembalikan juga menuai kecaman luas. Bahkan, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyebut kata-katanya sebagai “menjijikkan.”
Dilema yang tak bisa diabaikan Barat
Inggris menghadapi dilema yang tidak bisa diabaikan lagi: Bagaimana cara menghadapi sekutu yang kokoh namun sedang menempuh jalan berbahaya, sambil tetap siap membela mereka dalam krisis? Inggris tidak sendirian dalam situasi ini. Eropa Barat juga mulai bergulat dengan pertanyaan yang tidak nyaman ini.
Perisai di sekitar Israel tampaknya mulai retak, dan implikasinya bisa sangat jauh. Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menunjuk penghentian pasokan senjata ke Israel sebagai cara untuk mendukung proses perdamaian di sana.
Setelah serangan 7 Oktober, situasi telah berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan dan menghancurkan, ditandai dengan tindakan balasan Israel yang sangat kuat.
Korban sipil telah melampaui angka 50.000, dan jutaan orang telah mengungsi, tetapi strategi jangka panjang Israel tetap tidak jelas.
Pembunuhan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, memang penting bagi Israel, tetapi tujuan lebih luas untuk menetralkan Hamas dan Hizbullah masih jauh dari tercapai. Seiring perang meluas ke Gaza dan Lebanon, pertanyaan tentang langkah selanjutnya Israel semakin mendesak.
Spekulasi semakin terfokus pada sosok-sosok seperti Smotrich dan Ben-Gvir, yang visi kerasnya semakin mendapatkan perhatian. Tujuan mereka — Gaza yang hancur dan pengusiran populasi Palestina, serta aneksasi Tepi Barat — bukan lagi ide pinggiran. Bahkan, tujuan-tujuan ini tampak menyusup ke dalam kalkulasi strategis pemerintah Netanyahu.
Prospek solusi dua negara, yang dulunya merupakan jalur yang diinginkan komunitas internasional, semakin jauh terlihat saat pemerintah Netanyahu semakin menegaskan penolakannya terhadap negara Palestina.
Apakah ini Israel yang masih ingin didukung oleh sekutu-sekutu lamanya, termasuk Inggris? Ekspansi Inggris ke Tepi Barat dan penjatuhan sanksi kepada pemukim menunjukkan adanya ketidaknyamanan yang semakin besar di kalangan pendukungnya.
Tindakan Inggris — sanksi finansial terhadap elemen komunitas pemukim — bisa jadi merupakan awal dari penilaian yang lebih luas. Apakah sanksi lebih luas terhadap pemukiman dan aktivitas ekonomi di Tepi Barat akan menyusul?
Dan apakah ini berarti bahwa sekutu-sekutu Israel kini tidak lagi percaya bahwa jalur yang diambil saat ini menjamin keamanan atau masa depan yang berkelanjutan bagi kawasan tersebut?
Jawaban untuk pertanyaan ini masih samar, karena situasinya sangat dinamis. Jarak yang semakin besar antara Presiden AS Joe Biden dan Netanyahu juga mencerminkan perkembangan baru ini.
Tampaknya, agresi Israel yang terus-menerus di Gaza dan Tepi Barat telah menembus opini publik di Barat, mendorong adanya penyesuaian yang halus namun signifikan dalam kepemimpinan global. Hal ini tercermin dalam sikap publik terbaru Biden, Macron, dan Starmer terkait konflik Israel-Palestina.
*Penulis adalah analis geostrategis dan kolumnis lepas tentang hubungan internasional. Opini disadur dari kolom opini Anadolu berjudul Cracks in Israel’s shield: How global attitudes on Tel Aviv are shifting