Wednesday, March 26, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Rencana tiga tahap Iran terhadap Suriah baru

OPINI: Rencana tiga tahap Iran terhadap Suriah baru

Oleh: Ramadhan Bursa

Keputusan cepat dan tak terduga atas jatuhnya Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024 merupakan perkembangan geopolitik serius yang mengejutkan bahkan para pakar Suriah paling berpengalaman.

Kejatuhan tersebut memicu perdebatan mengenai bentuk hubungan yang akan dijalin Iran dengan Suriah di masa depan.

Jatuhnya Assad menyebabkan kerusakan besar terhadap doktrin pertahanan ke depan dalam kebijakan luar negeri Iran, yang oleh Teheran disebut sebagai “Poros Perlawanan”.

Setelah kejatuhannya, pernyataan dari Iran—terutama dari Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Ayatollah Ali Khamenei dan Panglima Garda Revolusi Jenderal Hussein—menimbulkan kekhawatiran di Damaskus tentang fase baru yang akan datang.

Menteri Luar Negeri Suriah, As’ad al-Shaibani, menyatakan langsung setelah tanggal 8 Desember 2024 bahwa pernyataan yang datang dari Iran bertujuan untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Suriah dan menghasut rakyat Suriah.

Sementara Ayatollah Khamenei dan para pemimpin Garda Revolusi mengeluarkan pernyataan yang mengganggu kepemimpinan baru di Damaskus.

Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dan Kementerian Luar Negeri Iran justru mengirimkan pesan-pesan yang lebih hangat kepada pemerintah baru Suriah.

Pernyataan-pernyataan yang beragam ini menunjukkan bahwa Teheran belum mengambil keputusan yang jelas.

Keputusan itu tentang bagaimana menjalin hubungan dengan Suriah baru dan sedang mengalami kebingungan serius serta kekecewaan mendalam.

Sementara itu, Rusia dengan cepat membangun komunikasi dengan Ahmad al-Sharaa, yang memimpin Suriah setelah runtuhnya rezim Ba’ath. Rusia mengirim delegasi tingkat tinggi ke Damaskus untuk bertemu dengan Presiden Suriah.

Namun, tampaknya menjalin hubungan antara Iran dan rezim Suriah baru tidak akan semudah hubungan Moskow-Damaskus. Meskipun kedua negara sebelumnya merupakan pendukung utama rezim Bashar al-Assad.

Langkah pertama Iran

Iran menunjukkan keinginannya untuk membangun hubungan dengan pemerintah baru Suriah.

Keinginan itu ditunjukkan dengan menunjuk diplomat senior Mohammad Reza Raouf Sheibani sebagai perwakilan khusus di Suriah, satu bulan setelah Bashar al-Assad meninggalkan Damaskus. Sheibani dikenal sebagai salah satu diplomat Iran yang paling memahami kawasan tersebut.

Ia memulai kariernya sebagai Duta Besar Iran di Lebanon pada tahun 2005 dan menjabat selama Perang 2006 antara Hizbullah dan Israel.

Kemudian, ia ditunjuk sebagai Duta Besar Iran untuk Suriah pada tahun 2011, di mana ia bertugas di Damaskus selama tahun-tahun paling sengit dalam perang saudara Suriah.

Selain itu, ia pernah menjadi Duta Besar Iran di Tunisia dan Libya, serta menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri urusan Timur Tengah.

Sebelum penunjukan terbarunya, ia menjabat sebagai perwakilan khusus Araqchi untuk urusan Asia Barat.

Riwayat singkat ini menunjukkan dengan jelas besarnya perhatian Teheran dalam membangun hubungan dengan pemerintah baru Suriah.

Rencana 3 tahap Iran untuk Suriah

Dapat dikatakan bahwa Iran tidak tergesa-gesa mengambil langkah resmi untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Damaskus.

Dalam masa transisi yang sedang dialami Suriah, Iran akan mengamati perkembangan dengan saksama.

Iran bernegosiasi dengan negara-negara yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah baru Suriah, seperti Turki dan Qatar.

Tujuannya, untuk menentukan cara terbaik dalam berurusan dengan Damaskus. Kebijakan 3 tahap Iran terhadap Suriah mencakup fase-fase berikut:

  • Tahap pertama: Pemantauan dan negosiasi

Pada tahap ini, Iran memantau perkembangan di Suriah dan melakukan konsultasi dengan negara-negara berpengaruh.

Dalam konteks ini, Mohammad Reza Raouf Sheibani bertemu di Moskow dengan perwakilan khusus Presiden Rusia Vladimir Putin dan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia untuk membahas perkembangan terbaru di Suriah.

Selain itu, Sheibani akan tetap menjalin kontak erat dengan Kementerian Luar Negeri Turki dan Qatar guna mendiskusikan situasi di Suriah.

  • Tahap kedua: Kontak tidak langsung

Setelah tahap pemantauan dan negosiasi selesai, Iran akan memasuki tahap kontak tidak langsung dengan Damaskus melalui perantara.

Ada 2 negara yang diperkirakan akan memainkan peran sebagai mediator antara Iran dan Suriah, yaitu Qatar dan Turki.

Iran dan Suriah mungkin akan memilih salah satu dari kedua negara ini, atau menggunakan keduanya dalam isu-isu yang berbeda untuk menjamin adanya komunikasi tidak langsung antara kedua belah pihak.

Keberhasilan tahap ini akan menjadi kunci untuk beralih ke tahap ketiga. Isu-isu utama akan dibahas.

Isu-Isu itu seperti penagihan utang Suriah kepada Iran, serta peninjauan kembali perjanjian ekonomi dan bilateral yang ditandatangani selama masa pemerintahan Bashar al-Assad. Tujuannya, untuk menentukan mana yang akan dilanjutkan dan mana yang akan dibatalkan.

  • Tahap ketiga: Pertemuan diplomatik langsung

Pada tahap ini, akan diadakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Iran dan Suriah di negara ketiga.

Pertemuan itu akan membuka jalan bagi dimulainya kembali hubungan diplomatik secara bertahap, dimulai dengan penunjukan kuasa usaha sebagai langkah awal.

Namun, ada beberapa faktor yang dapat memperlambat jalannya proses ini. Seperti peristiwa yang terjadi di Suriah antara tahun 2011 hingga 2024.

Masa transisi yang dialami Suriah, kesulitan yang dihadapi pemerintah baru, serta tantangan yang dihadapi Iran sendiri, baik secara internal maupun eksternal.

Semua faktor ini bisa membuat proses ini berlangsung lambat. Namun Iran berupaya untuk mengembalikan pengaruhnya di Suriah melalui rencana yang bertahap dan terencana dengan baik.

Sikap Suriah

Presiden Suriah, Ahmad Al-Shara, dan Menteri Luar Negeri, Asaad Al-Shaibani, tidak menutup pintu terhadap Iran terkait pemulihan hubungan antara kedua negara.

“Kami bertujuan membangun kembali hubungan dengan Rusia dan Iran, dan kami telah menerima pesan positif dalam hal ini,” kata Menteri Luar Negeri.

Sementara itu, Presiden Ahmad Al-Shara memberikan pernyataan pertamanya mengenai Iran 3 minggu setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad.

“Kami ingin menjalin hubungan yang seimbang dengan semua pihak. Meskipun luka yang mereka sebabkan masih ada, kami telah menjalankan kewajiban kami terhadap Kedutaan Besar Iran di Suriah. Kami mengharapkan pernyataan positif dari Iran, dan mereka seharusnya berpihak kepada rakyat Suriah,” katanya.

Dengan demikian, kedua tokoh tersebut tidak menutup kemungkinan untuk memulihkan hubungan dengan Iran. Namun mereka menekankan pentingnya “hubungan yang seimbang” dan perlunya mempertimbangkan keinginan rakyat Suriah.

Kemurkaan publik terhadap Iran

Dalam kunjungan saya ke Damaskus 2 minggu setelah jatuhnya rezim Assad, saya bertemu dengan berbagai tokoh Suriah, dari pejabat hingga warga biasa, dan kami membahas masa depan Suriah.

Pertemuan-pertemuan ini mengungkapkan bahwa rakyat Suriah menaruh kemarahan yang lebih besar terhadap Iran dibandingkan Rusia.

Oleh karena itu, meredakan kemarahan publik ini dan memperoleh penerimaan terhadap hubungan diplomatik dengan Iran kemungkinan akan memerlukan waktu yang lama.

Dalam konteks ini, jurnalis Suriah, Hamza Khidr, menyatakan bahwa pemerintah baru Suriah memiliki keberatan terhadap menjalin hubungan dengan Iran.

Alasanya, karena dukungan mutlak Iran terhadap Bashar al-Assad dan upayanya untuk menyebarkan proyek-proyeknya sendiri di Suriah.

Ia menunjukkan bahwa Iran berusaha mengubah Suriah menjadi kota atau provinsi yang tunduk pada pengaruhnya, menjadikan dukungannya terhadap Assad berbeda dari dukungan Rusia.

Ia menambahkan bahwa ini tidak berarti bahwa tidak akan ada hubungan sama sekali antara Suriah dan Iran.

Namun ia percaya bahwa hubungan keduanya akan mirip dengan hubungan Iran dengan Turki dan negara-negara Teluk. Yaitu, terbatas dan tidak bersifat strategis seperti pada masa Assad.

Masa depan hubungan kedua negara

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Iran, Dr. Sarhan Afajan, berpendapat bahwa menjalin hubungan antara Iran dan Suriah akan menjadi hal yang sulit.

Menurutnya, hal itu disebabkan pemerintah baru Suriah menunjukkan sikap berhati-hati terhadap Iran.

Ia menunjukkan bahwa Iran tidak akan terburu-buru dalam membangun hubungan dengan pemerintah baru di Damaskus. Namun, akan mengambil waktu untuk memantau perkembangan sebelum mengambil langkah apa pun.

Jurnalis Suriah lainnya, Khalid Abduh, juga meyakini bahwa hubungan antara Iran dan Suriah tidak akan terbentuk dalam waktu dekat.

“Permusuhan atau persahabatan antara negara-negara tidaklah abadi, namun saat ini hubungan tidak bisa kembali normal seperti pada masa Assad,” katanya.

Ia menambahkan bahwa hubungan mungkin dimulai secara terbatas melalui mediator atau lembaga intelijen. Tetapi tidak ada peluang untuk mengembalikan hubungan erat yang pernah ada.

“Segala upaya untuk memulihkan hubungan dengan Iran tanpa persetujuan rakyat Suriah adalah hal yang mustahil,” tegas Abduh.

Ia mencatat bahwa rakyat Suriah masih terluka, dan kemarahan mereka terhadap Iran belum mereda.

Sehingga, lanjutnya, kemungkinan adanya pendekatan dalam waktu dekat sangat kecil.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa pemerintah baru Suriah tidak menempatkan pemulihan hubungan dengan Iran sebagai prioritas utama.

Fokusnya adalah mengelola masa transisi dengan lancar, membangun kembali negara, menjamin keamanan secara penuh, dan mencabut sanksi internasional.

Sementara itu, tampaknya Iran telah memutuskan untuk tidak terburu-buru. Melainkan akan memantau perkembangan di Suriah dengan seksama sebelum memutuskan bagaimana akan berurusan dengan pemerintah baru.

*Ramadhan Bursa merupakan seorang Jurnalis dan peneliti Turki yang mengkhususkan diri dalam urusan Iran. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Al-Khuṭṭah al-Īrāniyyah al-Stulāstiyyah Tujāh Sūriyyā al-Jadīdah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular