Thursday, June 12, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Saat nurani berlayar dan hukum tenggelam: Ilegalitas penyergapan kapal Madleen

OPINI – Saat nurani berlayar dan hukum tenggelam: Ilegalitas penyergapan kapal Madleen

Oleh: Adnan Hmidan

Untuk kesekian kalinya, militer yang oleh pemerintahnya dijuluki sebagai “angkatan bersenjata paling bermoral di dunia” unjuk kekuatan.

Bukan terhadap ancaman militer atau kelompok bersenjata, melainkan terhadap sebuah kapal kemanusiaan kecil yang penuh dengan nurani dan kepedulian.

Kapal bernama Madleen itu tak membawa senjata, apalagi pesawat nirawak. Yang dibawanya hanya karung-karung berisi beras, susu formula bayi, serta kaki dan tangan palsu untuk korban luka akibat perang di Jalur Gaza.

Namun, dalam narasi resmi Israel, misi damai tersebut dicap sebagai “provokasi politik” dan “operasi ilegal”.

Di atas kapal itu, terdapat seorang anggota Parlemen Eropa yang masih aktif, aktivis lingkungan dengan reputasi internasional, jurnalis ternama, serta perwakilan lembaga kemanusiaan dari berbagai negara.

Meski begitu, angkatan laut Israel mencegat kapal tersebut di perairan internasional, menahan seluruh awaknya, dan memutus komunikasi mereka dengan dunia luar.

Sebuah tindakan yang lebih menyerupai pembajakan laut ala abad pertengahan ketimbang aksi negara yang mengaku menjunjung hukum internasional.

Maka, pertanyaan mendasar pun muncul: siapakah sebenarnya yang melanggar hukum? Apakah para pembela hak asasi manusia yang berusaha mengirim bantuan ke wilayah yang telah diblokade, dilaparkan, dan diambang kehancuran selama lebih dari 17 tahun? Ataukah kekuatan militer yang melanggar hak pelayaran bebas, menghalangi bantuan kemanusiaan, serta menerapkan hukuman kolektif terhadap lebih dari dua juta warga sipil?

Merujuk pada hukum internasional dan prinsip-prinsip dasar keadilan, jawabannya jelas. Blokade terhadap Gaza telah dinyatakan melanggar hukum humaniter internasional, sebagaimana tercantum dalam laporan penyelidikan PBB usai insiden kapal Mavi Marmara.

Komite Palang Merah Internasional pun menyebut blokade itu sebagai bentuk hukuman kolektif—tindakan yang secara tegas dilarang dalam Konvensi Jenewa Keempat.

Lebih dari itu, praktik pelaparan massal terhadap warga sipil serta penghalangan bantuan—yang telah terdokumentasi selama bertahun-tahun di Gaza—diklasifikasikan sebagai kejahatan perang oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hak atas pelayaran bebas juga telah dijamin dalam hukum internasional. Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 menegaskan bahwa laut lepas terbuka bagi semua negara, dan setiap kapal berhak berlayar dengan bebas di bawah bendera negaranya.

Penyergapan atas Madleen di perairan internasional jelas melanggar hak tersebut dan tak dapat dibenarkan dengan standar hukum apa pun.

Memberikan bantuan kemanusiaan bukan hanya keharusan moral, melainkan juga kewajiban hukum.

Konvensi Jenewa Keempat secara tegas mewajibkan negara-negara untuk menjamin kelancaran pengiriman makanan, pasokan medis, dan bantuan penting lainnya bagi penduduk sipil.

Penolakan sewenang-wenang terhadap bantuan semacam itu merupakan pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional.

Dengan demikian, Freedom Flotilla—yang disebut Israel sebagai aksi provokasi—pada kenyataannya adalah tindakan yang sah secara hukum dan dilandasi oleh etika solidaritas terhadap masyarakat yang terkepung.

Kapal Madleen bukan kapal perang. Ia adalah pernyataan nurani yang mengapung di atas laut.

Di dalamnya hadir tokoh-tokoh seperti Greta Thunberg, aktivis lingkungan yang dikenal luas di dunia; Rima Hassan, anggota Parlemen Eropa asal Prancis-Palestina; serta Omar Faiad, jurnalis dari Al Jazeera Mubasher.

Keberadaan mereka membongkar narasi resmi Israel dan menunjukkan bahwa rezim pendudukan begitu terancam oleh bentuk solidaritas damai, sehingga meresponsnya dengan kekerasan.

Sejarah telah mencatat bahwa upaya menerobos blokade demi menyalurkan bantuan kemanusiaan merupakan tindakan yang terhormat.

Dari Yaman, Sri Lanka, Kosovo, Timor Timur, hingga Eropa pada masa Perang Dunia II, kapal-kapal sipil pernah menantang blokade demi menyelamatkan nyawa.

Sejarah akan selalu mengenang mereka yang bertindak dengan keberanian dan kasih sayang—dan mengecam mereka yang mempertahankan penindasan melalui larangan yang tidak manusiawi.

Apa yang oleh Israel dianggap sebagai tindakan “ilegal”, sejatinya justru sah menurut hukum dan penting secara moral.

Sebaliknya, apa yang dinyatakan “legal” oleh negara itu, pada kenyataannya adalah kelanjutan dari kejahatan terhadap rakyat yang telah lama diluluhlantakkan.

Madleen bukan sekadar kapal. Ia adalah simbol perlawanan. Sebuah cahaya kecil yang menembus kegelapan di tengah laut. Bukti bahwa hati nurani dunia, meski kerap diabaikan dan dilukai, belum sepenuhnya padam.

Legitimasi sejati tidak berada di tangan mereka yang memadamkan kehidupan, melainkan pada mereka yang berjuang untuk melindungi dan menghidupkannya kembali.

*Adnan Hmidan merupakan wakil Presiden Forum Palestina di Inggris dan perwakilan koalisi di balik inisiatif tersebut. Tulisan ini diambil dari situs middleeastmonitor.com dengan judul “When conscience sails and law sinks: The illegality of intercepting Madleen”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular