Saturday, June 14, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Sanksi simbolik terhadap menteri Israel tak menyentuh akar kekerasan penjajah

OPINI: Sanksi simbolik terhadap menteri Israel tak menyentuh akar kekerasan penjajah

Oleh: Dr. Binoy Kampmark

Mereka seharusnya bisa berbuat lebih. Namun, dalam kerangka yang lebih luas, keputusan Selandia Baru, Kanada, Norwegia, Inggris, dan Australia untuk menjatuhkan sanksi terhadap 2 menteri ultra-ekstremis Israel, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.

Hal itu sekadar menjadi pengingat bagi pemerintah Israel bahwa pembersihan etnis, pembunuhan massal, dan pemusnahan suatu bangsa setidaknya akan menuai sorotan internasional.

Meski begitu, jika dicermati lebih dekat, langkah yang sempat digembar-gemborkan ini tampaknya tak memberikan dampak berarti terhadap perubahan sikap atau efek jera—terutama di Gaza, yang tetap dilanda bencana kemanusiaan tanpa kendali.

Dalam pernyataan bersama, kelima negara menilai bahwa kedua tokoh tersebut telah menghasut kekerasan ekstremis dan pelanggaran serius terhadap hak asasi warga Palestina.

Retorika ekstrem yang menyerukan pengusiran paksa warga Palestina serta pembangunan permukiman baru Israel disebut sebagai hal yang mengerikan dan berbahaya.

Kekerasan yang dilakukan para pemukim Israel di Tepi Barat, menurut mereka, telah menyebabkan tewasnya warga sipil Palestina serta pengusiran komunitas-komunitas secara keseluruhan.

Namun, alasan yang mendasari sanksi ini cenderung mengecilkan peran Ben-Gvir dan Smotrich sebagai pendukung utama dari upaya sistematis menghapus keberadaan Palestina, khususnya di Jalur Gaza.

Meski pernyataan itu menegaskan bahwa konteks tidak bisa dilihat secara terpisah, tak ada penyebutan atas peringatan Mahkamah Internasional bahwa warga Palestina di Gaza menghadapi risiko genosida—putusan akhirnya pun masih menanti.

Menunjuk individu dalam kabinet Netanyahu sebagai “orang gila yang pas kebetulan” lebih merupakan langkah simbolik ketimbang substantif.

Memang, bahkan menurut standar Israel sendiri, figur seperti Ben-Gvir dinilai terlalu ekstrem.

Seorang narapidana karena hasutan rasis, penyedia senjata bagi pemukim di Tepi Barat, dan pendukung aneksasi penuh wilayah tersebut.

Namun dengan menetapkan “monster-monster” ini sebagai biang keladi, ada kecenderungan untuk menutupi rencana besar yang lebih jahat.

Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong pun hanya menyebut keduanya sebagai pendukung paling ekstrem dari proyek permukiman ilegal dan penuh kekerasan milik Israel.

Laporan Komisi Penyelidikan Internasional PBB tentang Wilayah Pendudukan Palestina dan Israel justru menyoroti aktor yang lebih luas: pasukan keamanan Israel.

Laporan itu menuduh mereka melakukan kejahatan perang melalui serangan langsung terhadap warga sipil di Gaza, termasuk pembunuhan dengan sengaja dan peluncuran serangan yang sudah dapat diperkirakan akan menimbulkan korban jiwa.

Bahkan serangan terhadap sekolah tempat warga sipil berlindung dinilai termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan.

Artinya, tanggung jawab moral tidak terbatas pada dua nama saja—kanvas pelanggarannya begitu luas.

Sayangnya, langkah simbolik dari lima negara tersebut tidak diiringi dengan penghentian kerja sama militer, penjualan senjata, atau kolaborasi industri lain yang jauh lebih signifikan.

Ini justru mempertajam ironi, karena sanksi itu tidak menyentuh jantung persoalan: mesin perang Israel tetap berjalan tanpa hambatan.

Terlebih lagi, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu luput dari sasaran kecaman moral yang sejati.

Jika ditelaah, sanksi terhadap Ben-Gvir dan Smotrich hanya sebatas pembekuan aset dan larangan bepergian—lebih terasa sebagai teguran ringan ketimbang hukuman.

Pemerintah Partai Buruh Australia sendiri terlihat ragu dalam menjatuhkan sanksi. Wong sebelumnya menyatakan bahwa Australia tak akan bertindak sendiri karena melangkah sendirian tidak akan membawa hasil.

Senator dari Partai Hijau, Nick McKim, menyebut langkah itu sebagai terlalu sedikit dan terlalu lambat.

Ia menilai bahwa yang dibutuhkan justru sanksi terhadap “mesin industri perang Israel.”

Sebaliknya, Alex Ryvchin dari Dewan Eksekutif Yahudi Australia menyebut langkah itu berisiko menjadi semacam “tonik martir.”

Meski minim dukungan di dalam negeri, sanksi ini bisa meningkatkan popularitas mereka di kalangan tertentu.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio tampak tak punya argumentasi yang kuat ketika mengecam sanksi tersebut.

Ia menyebutnya tak membantu upaya gencatan senjata dan pengembalian sandera, serta mengingatkan sekutu AS untuk tidak melupakan siapa musuh yang sebenarnya.

Yang tampak lebih terusik justru Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar, yang menyebut sanksi itu sebagai tindakan “memalukan” dan “tak bisa diterima”—bagian dari “kampanye tekanan terkoordinasi.”

Adapun Ben-Gvir malah terdengar bangga.

“Kami selamat dari Firaun, kami juga akan selamat dari [Perdana Menteri Inggris] Keir Starmer,” ujarnya penuh percaya diri.

Smotrich bahkan mendengar kabar sanksi saat meresmikan permukiman baru dekat Hebron.

“Ini waktu yang sempurna,” katanya.

Pernyataan itu menyiratkan bahwa sanksi itu adalah pengakuan atas keberhasilannya menggagalkan negara Palestina.

Satu hal yang tak terbantahkan: tindakan selektif terhadap dua sosok ini tak menyentuh sistem kekerasan yang lebih besar.

Mesin perang Israel tetap utuh, dan pembangunan permukiman ilegal terus berlanjut. Tak satu pun rumah warga Palestina yang terselamatkan, tak satu pun nyawa yang dijamin aman.

Tindakan moral kecil ini, sayangnya, hanya menjadi catatan kaki di tengah krisis yang jauh lebih besar.

*Dr. Binoy Kampmark merupakan seorang Sarjana Persemakmuran di Selwyn College, Cambridge. Saat ini ia mengajar di Universitas RMIT. Tulisan ini diambil dari situs middleeastmonitor.com dengan judul “The Morality of Small Means: Sanctioning Israel’s Minister”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular