Thursday, October 23, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Tahanan Palestina yang luput di mata Barat

OPINI – Tahanan Palestina yang luput di mata Barat

Oleh: Hossam Shaker*

Tak ada “tahanan Palestina” dalam penuturan resmi dunia Barat. Tak ada pula perempuan, anak-anak, atau orang sakit yang mendekam di penjara Israel.

Bahkan, tak ada jenazah Palestina yang disandera bertahun-tahun oleh pasukan pendudukan.

Begitulah kesan kuat yang ditinggalkan oleh retorika pemerintah dan lembaga Barat dalam dua tahun terakhir ketika berbicara tentang Gaza dan persoalan Palestina.

Dalam semua pernyataan mereka, istilah yang terus diulang ialah “sandera” — dan yang dimaksud selalu warga Israel.

Maka, di mata opini Barat yang berpusat pada dirinya sendiri, perang di Gaza hanya tentang warga Israel yang tertawan di pihak lawan. Tahanan Palestina, seolah-olah, tak pernah ada.

Abai terhadap tahanan Palestina

Dominasi pandangan Barat terhadap konflik Palestina–Israel dibangun di atas kerangka pikir yang berat sebelah. Dari gambaran yang dipaksakan itu, dunia hanya diajak melihat satu sisi: para sandera Israel di Gaza.

Tak ada ruang untuk mengingat ribuan tahanan Palestina yang terkurung di penjara-penjara Israel, termasuk di antaranya perempuan, anak-anak, orang tua, dan pasien yang menderita sakit berat.

Sikap abai ini bukan kebetulan. Ia sudah menjadi ciri lama dalam wacana Barat. Selama bertahun-tahun, tak ada satu pun ibu kota besar di dunia Barat yang berani menuntut pertanggungjawaban Israel.

Hal itu atas kebijakannya menahan ribuan orang tanpa pengadilan, memperlakukan mereka secara kejam, dan memperpanjang penahanan seenaknya.

Kebisuan yang sama juga tampak selama perang di Gaza. Ketika video dan kesaksian tentang penyiksaan brutal di kamp tahanan Israel beredar, tak terdengar satu pun pernyataan resmi dari Washington, London, Paris, atau Berlin.

Namun, begitu tentara Israel tertawan oleh perlawanan Palestina, gelombang simpati langsung membanjir.

Media dan para pejabat Barat berebut menonjolkan “penderitaan keluarga sandera”, seolah tak ada ibu Palestina yang menunggu anaknya pulang dari penjara, atau ayah yang kehilangan putrinya di balik jeruji.

Lebih parah lagi, simpati yang berlebihan terhadap tahanan Israel justru mematikan empati terhadap ribuan warga Palestina yang kini mendekam dalam kamp penahanan Israel.

Dokter, jurnalis, dan relawan kemanusiaan yang dunia mengenal nama dan wajahnya ditangkap dan disekap tanpa proses hukum—namun tak satu pun muncul dalam pidato-pidato resmi Barat.

Pertukaran tahanan: Cermin ketimpangan moral

Setiap kali terjadi pertukaran tahanan, dunia mendapat kesempatan untuk melihat dengan gamblang bagaimana berat sebelahnya empati Barat.

Dalam perjanjian pertukaran terakhir, Oktober 2025, misalnya, Israel sepakat membebaskan sejumlah perempuan dan anak-anak Palestina dari penjaranya—namun fakta itu nyaris tak muncul dalam pemberitaan dan pernyataan resmi negara-negara Barat.

Narasi mereka tetap sama: bahwa perang ini semata tentang “sandera Israel” yang harus dipulangkan.

Tak satu pun pengakuan bahwa di pihak lain ada ribuan manusia yang juga direnggut kebebasannya tanpa dasar hukum, sering kali disiksa, dan kadang tak kembali hidup.

Kepalsuan ini terbongkar tiap kali dunia menyaksikan wajah-wajah kurus dan tubuh-tubuh ringkih para tahanan yang dibebaskan.

Ada yang kehilangan anggota tubuhnya, ada anak-anak yang ditangkap dari sekolahnya, ada pula yang nyaris tak dikenali lagi karena siksaan dan kelaparan.

Tapi semuanya berlalu tanpa simpati dari ibu kota-ibu kota besar yang selama ini lantang berbicara tentang “hak asasi manusia”.

Bias yang sama dalam kasus jenazah

Kecenderungan serupa terlihat pula dalam kasus jenazah. Sejak gencatan senjata diumumkan pada Oktober 2025, ribuan jenazah warga Gaza masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang dihancurkan bom Israel, atau dibiarkan membusuk di jalanan yang tak bisa dijangkau tim penyelamat karena ancaman tembakan.

Namun, perhatian resmi Barat hanya tertuju pada satu hal: pemulangan jenazah tentara dan perwira Israel yang tewas di Gaza.

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, bahkan berulang kali tampil di televisi berbicara penuh emosi tentang “gugurnya para pahlawan Israel” dan “kekejaman” pihak yang menahan jasad mereka.

Trump dan para pemimpin Barat lain tampak tidak menyadari—atau pura-pura tidak tahu—bahwa praktik menahan jenazah bukanlah temuan baru di Gaza. Justru Israel-lah yang telah mempraktikkannya selama puluhan tahun terhadap warga Palestina.

Ribuan jenazah disimpan di lemari pendingin militer atau dikubur di lokasi rahasia tanpa nama, dan hanya bisa dikembalikan kepada keluarga lewat tekanan hukum internasional atau melalui pertukaran jenazah.

Anehnya, dalam logika politik Barat, yang disalahkan tetaplah pihak Palestina. Ketika ada pertukaran jenazah, Israel dipuji karena “tenggang rasa”, sementara pihak Palestina kembali dicap tidak beradab.

Akar kultural dari bias Barat

Sikap berat sebelah ini bukan sekadar hasil kebijakan politik sementara. Ia tumbuh dari akar yang lebih dalam—yakni tradisi bias kultural Barat terhadap Israel yang diwarisi dari sejarah kolonialisme dan rasa bersalah terhadap tragedi masa lalu di Eropa.

Dalam kerangka itu, tentara Israel yang tertawan disebut “sandera” yang layak dikasihani, sementara tahanan Palestina dianggap penjahat atau ekstremis.

Dunia Barat, yang terbiasa menempatkan dirinya sebagai pembela nilai-nilai universal, memilih menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian besar tahanan Palestina ditangkap tanpa dakwaan, disiksa, dan dijadikan alat tawar politik.

Bagi selera resmi Barat, rakyat Palestina yang melawan pendudukan tidak pantas disebut “pejuang” atau “tahanan politik”.

Mereka lebih suka melihat Palestina yang jinak: yang tidak menentang pendudukan, tidak menyerukan boikot, dan tidak mengibarkan tanda perlawanan.

Dari situ dapat dipahami mengapa negara-negara Barat justru menekan Otoritas Palestina agar menghentikan tunjangan sosial bagi keluarga para tahanan—dan menyebut tekanan itu bagian dari “reformasi”.

Menyucikan negara penjajah

Bias Barat terhadap Israel juga berakar pada cara mereka memandang “negara” sebagai institusi yang hampir suci. Dalam imajinasi politik Eropa, negara selalu identik dengan modernitas, rasionalitas, dan legitimasi moral.

Karena itu, ketika menyebut “Negara Israel”, para pemimpin Barat tanpa sadar memberinya aura keagungan yang melindunginya dari kritik.

Kesan “kesucian” itu semakin kuat karena Israel juga dikaitkan dengan mitos religius dan status simbolik sebagai “negara korban” sejarah.

Maka, ketika para pemimpin Barat berpose di depan Tembok Ratapan dengan mengenakan kippa, itu bukan sekadar gestur diplomatic, melainkan perwujudan simbolik dari penghormatan yang berlebihan terhadap negara kolonial modern bernama Israel.

Akibatnya, meskipun dunia menyaksikan pembantaian di Gaza secara langsung melalui layar ponsel, hampir tak ada satu pun pemerintah Barat yang menyebutnya “genosida” atau “kejahatan perang”.

Kata-kata itu dianggap tabu karena akan menggugurkan legitimasi moral Israel dan menyeret negara itu ke posisi terdakwa.

Maka, yang dikritik pun hanyalah sosok-sosok pinggiran seperti menteri fanatik Bezalel Smotrich atau Itamar Ben-Gvir—tokoh yang memang sudah lama dikucilkan dalam politik Israel sendiri.

Sementara perdana menteri dan pejabat tinggi militer, yang memimpin operasi pemusnahan massal, tetap aman dari kecaman.

Antara kebisuan dan pembenaran

Begitulah, bahkan setelah puluhan ribu warga Palestina terbunuh, setelah kota-kota rata dengan tanah.

Setelah dunia melihat secara terang-terangan kebrutalan pendudukan, tak ada satu pun ibu kota Barat yang benar-benar menuding tentara Israel sebagai pelaku kejahatan.

Mereka memilih diam—atau mengalihkan kesalahan kepada “ekstremis Palestina”.

Beberapa negara seperti Spanyol, Irlandia, dan Slovenia memang mengakui negara Palestina, tetapi langkah itu tidak diikuti tindakan nyata seperti sanksi terhadap Israel atau dukungan konkret untuk hak-hak rakyat Palestina.

Pengakuan itu lebih bersifat simbolik daripada perubahan kebijakan.

Di tengah semua itu, Israel terus disebut “negara demokratis dan modern”—bahkan ketika pemimpinnya diburu oleh pengadilan internasional atas kejahatan perang.

Tak ada pengakuan atas fakta bahwa negara yang digelari “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah” itu menahan ribuan orang tanpa pengadilan, menghancurkan rumah sakit dan sekolah, serta menimbun jenazah manusia tanpa nama.

Lima bulan sebelum perang genosida 2025, misalnya, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen muncul dalam video ucapan selamat “ulang tahun kemerdekaan Israel” yang ke-75.

Dalam pidato itu, ia memuji Israel sebagai “bangsa pembangun peradaban” yang “menyuburkan gurun dan mengeringkan rawa”.

Tak sepatah kata pun ia ucapkan tentang Nakba—tentang rakyat Palestina yang diusir dari tanahnya pada hari yang sama.

Gambaran yang dikelabui

Beginilah cara dunia Barat menenun narasinya: Israel sebagai simbol kemajuan dan korban sejarah; Palestina sebagai kekacauan dan ancaman.

Dalam konstruksi ini, tak ada ruang bagi penderitaan tahanan Palestina atau keluarga yang menunggu jenazah anaknya dikembalikan.

Realitas yang sesungguhnya—ratusan kuburan tanpa nama, ribuan tahanan tanpa pengadilan, dan jutaan warga yang hidup di bawah blokade—disingkirkan dari pandangan publik global oleh arus besar propaganda yang memuja “negara” penjajah.

Dan selama mitos itu terus dijaga, dunia akan tetap melihat dengan satu mata: bersimpati pada penjajah, dan buta pada yang dijajah.

*Hossam Shaker adalah seorang peneliti dan penulis, konsultan media, hubungan masyarakat, dan komunikasi massa untuk sejumlah organisasi di Eropa, dan ia tinggal di Wina. Ia memiliki minat dalam analisis urusan Eropa dan internasional, serta isu-isu sosial dan media. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Taḥayyuzāt Gharbiyyah Muhaashilah Milafu al-Usrā wa al-Jutsāmīn”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler