Wednesday, November 26, 2025
HomeBeritaOPINI - Tidak, tidak ada gencatan senjata di Gaza

OPINI – Tidak, tidak ada gencatan senjata di Gaza

Oleh: Yara Hawari

Ketika pada 10 Oktober sebuah “gencatan senjata” diumumkan di Gaza, banyak warga Palestina sempat menghela napas lega. Mereka baru saja melewati dua tahun bombardemen tanpa henti yang diperkirakan setara enam kali daya ledak bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945, semuanya diarahkan ke wilayah yang luasnya kurang dari setengah kota tersebut.

Kerusakan yang ditimbulkan bersifat menyeluruh. Seluruh rumah sakit dan universitas hancur dibom, sebagian besar rumah dan sekolah rata dengan tanah, sementara infrastruktur penting—seperti sistem pembuangan limbah dan jaringan listrik—rusak parah hingga sulit diperbaiki. Sekitar 50 juta ton puing berserakan di seluruh wilayah, dan di bawah reruntuhan itu diperkirakan masih terdapat sedikitnya 10.000 jenazah warga Palestina yang belum berhasil dievakuasi.

Namun, jeda yang diharapkan warga Gaza ternyata tidak pernah benar-benar terjadi. Hampir seketika setelah pengumuman “gencatan senjata”, Israel kembali membombardir Gaza. Serangan tersebut terus berlangsung hingga kini.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, Israel telah melanggar “gencatan senjata” hampir 500 kali dalam 44 hari, menewaskan 342 warga sipil. Hari paling mematikan terjadi pada 29 Oktober ketika Pasukan Pendudukan Israel (IOF) menewaskan 109 warga Palestina, termasuk 52 anak. Baru-baru ini, pada Kamis lalu, 32 warga Palestina tewas, termasuk satu keluarga di kawasan Zeitoun, Kota Gaza, setelah bom menghantam bangunan tempat mereka berlindung.

Tidak hanya serangan yang berlanjut—kelaparan pun terus terjadi.

Dalam kesepakatan “gencatan senjata”, 600 truk bantuan dijanjikan masuk setiap hari. Namun, menurut laporan koresponden Al Jazeera, Hind al-Khoudary, IOF hanya mengizinkan sekitar 150 truk memasuki Gaza setiap hari. Israel juga membatasi masuknya bahan pangan bergizi, termasuk daging, susu, sayuran, serta obat-obatan, tenda, dan perlengkapan penting lainnya.

Koalisi lembaga bantuan Palestina memperkirakan bahwa jumlah bantuan yang masuk bahkan tidak mencukupi seperempat kebutuhan dasar penduduk.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyatakan memiliki persediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan warga Gaza selama berbulan-bulan, tetapi tetap tidak diperbolehkan membawanya masuk. Hal ini bertentangan langsung dengan opini penasihat Mahkamah Internasional (ICJ) pada Oktober yang menegaskan kewajiban Israel untuk tidak menghalangi distribusi bantuan dari badan PBB, termasuk UNRWA.

Pengadilan juga menolak tuduhan Israel bahwa UNRWA tidak netral, dan menegaskan lembaga tersebut merupakan aktor kemanusiaan yang krusial. Namun Israel tetap mengabaikan opini tersebut, membatasi aktivitas UNRWA, menghalangi penyaluran bantuan, dan menolak memberikan visa bagi staf internasionalnya.

Israel juga tidak mematuhi langkah-langkah sementara yang ditetapkan ICJ dalam putusan Januari 2024, yang menyatakan terdapat tindakan-tindakan yang “berpeluang merupakan genosida” di Gaza. Langkah-langkah itu mencakup pencegahan tindakan genosida, penghentian hasutan terhadap genosida, dan membuka akses bantuan kemanusiaan. Sejak itu, pengadilan beberapa kali menegaskan kembali langkah-langkah tersebut, tetapi Israel tetap mengabaikannya.

Israel dapat melakukan hal itu karena terus memperoleh dukungan diplomatik, finansial, dan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya di kancah internasional. Bentuk terbaru dukungan itu muncul pada 17 November ketika Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 2803 yang mendukung rencana 20 poin Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk Gaza.

Resolusi tersebut mencakup pembentukan dua badan yang akan mengelola Gaza: board of peace yang diketuai langsung oleh Trump, serta international stabilisation force yang bertugas menjaga keamanan dan melucuti kelompok-kelompok Palestina. Struktur pengelolaan kedua badan itu belum jelas, tetapi keduanya akan beroperasi selaras dengan pemerintah Israel, yang pada praktiknya akan menambah lapisan kendali asing atas warga Palestina.

Resolusi itu juga memungkinkan pengabaian struktur lokal dan internasional yang selama ini menangani distribusi bantuan. Tidak ada penyebutan soal genosida, dan tidak ada mekanisme akuntabilitas atas kejahatan perang. Secara substansi, resolusi ini bertentangan dengan hukum internasional dan memberikan kendali atas Gaza kepada Amerika Serikat—yang dinilai turut terlibat dalam tindakan genosida.

Semua hal ini menegaskan bahwa “gencatan senjata” yang diumumkan bukanlah gencatan senjata sesungguhnya. Israel terus menyerang Gaza, terus membuat warga Palestina kelaparan, dan terus menghalangi akses mereka terhadap tempat tinggal layak serta layanan kesehatan.

Penyebutan kondisi ini sebagai gencatan senjata memungkinkan negara ketiga mengklaim adanya kemajuan menuju resolusi konflik atau bahkan perdamaian, padahal kondisi mendasar yang bersifat memusnahkan tetap tidak berubah. “Gencatan senjata” tersebut pada dasarnya merupakan ilusi diplomatik—selubung bagi kelanjutan pembasmian, pengusiran, dan penghapusan warga Palestina di Gaza, sekaligus pengalih perhatian bagi publik internasional dan media.

Yara Hawari adalah salah satu direktur Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai peneliti kebijakan Palestina dan analis senior. Yara meraih gelar doktor dalam Politik Timur Tengah di University of Exeter, tempat beliau mengajar berbagai mata kuliah sarjana dan hingga kini masih menjadi peneliti kehormatan. Selain karya akademisnya yang berfokus pada studi adat dan sejarah lisan, beliau juga aktif menulis untuk berbagai media sebagai komentator politik.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler