Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute
Rencana untuk menjalin kerja sama antara Danantara dan BlackRock menuai kegelisahan yang mendalam di tengah situasi krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza. BlackRock bukan sekadar perusahaan investasi raksasa asal Amerika Serikat—mereka adalah bagian dari jaringan finansial global yang mendanai industri perang yang memperparah penderitaan rakyat Palestina.
Sebagai contoh, BlackRock memiliki 7,4 persen saham di Lockheed Martin, salah satu kontraktor pertahanan utama Amerika Serikat. Lockheed Martin memainkan peran sentral dalam mempersenjatai militer Israel, termasuk menyediakan jet tempur F-16 dan F-35 yang digunakan dalam serangan udara ke wilayah Gaza. Jet-jet ini telah menjadi simbol kekerasan terhadap penduduk sipil, menghancurkan rumah, rumah sakit, dan infrastruktur dasar. Bahkan pesawat angkut C-130 Hercules buatan perusahaan ini juga digunakan dalam operasi darat dan logistik serangan Israel.
Situs resmi Lockheed Martin sendiri dengan jelas menyatakan kebanggaan mereka atas keterlibatan dalam “menjaga keamanan Israel” dan loyalitas mereka terhadap angkatan udara Israel sejak tahun 1970. Pernyataan ini menjadi bukti bahwa mereka secara terang-terangan mendukung militer negara yang terus melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina.
Pada 9 November tahun lalu, rudal buatan Lockheed Martin juga diduga kuat digunakan dalam serangan terhadap wartawan di dekat Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza. Lebih menyakitkan lagi, CEO Lockheed Martin, Jim Taiclet, menyebut konflik di Israel dan Ukraina sebagai “faktor yang mendorong peningkatan pendapatan” perusahaan dalam waktu dekat. Ini menunjukkan bagaimana nyawa manusia diperlakukan sebagai angka dalam grafik keuntungan.
Selain Lockheed Martin, BlackRock juga berinvestasi besar di perusahaan pertahanan lain seperti Northrop Grumman dan RTX. Northrop Grumman telah memasok sistem rudal Longbow untuk helikopter Apache milik Israel serta kapal perang Sa’ar 5 yang digunakan dalam blokade dan serangan terhadap Gaza. Sementara RTX adalah perusahaan pembuat pencegat sistem pertahanan udara Iron Dome, sistem yang menjadi bagian dari kiriman militer AS ke Israel.
Tak heran bila di Amerika sendiri, BlackRock telah menjadi sasaran protes keras oleh kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis HAM. Mereka menilai kontribusi finansial BlackRock terhadap genosida Gaza mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusi. Di tengah tekanan ini, kita justru bertanya: mengapa Indonesia memilih menyambut mereka?
Indonesia memiliki jati diri sebagai bangsa anti-penjajahan, yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, hingga Mohammad Natsir. Amanat konstitusi jelas menyebut bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kita belum melunasi hutang moral dan sejarah kita terhadap kemerdekaan Palestina. Oleh karena itu, langkah bekerja sama dengan entitas yang terlibat dalam industri perang—apalagi yang nyata-nyata menyuplai alat pembunuh ke rezim penjajah—merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa.
Kita berharap Presiden Prabowo Subianto dan CEO Danantara, Bapak Roslan Roslani, dapat tetap teguh dalam komitmen mereka terhadap kemerdekaan Palestina. Kerja sama apa pun yang berpotensi mendukung genosida, baik langsung maupun tidak langsung, harus ditolak secara tegas.
Semoga nurani para pemimpin bangsa tetap berpihak pada kemanusiaan. Aamiin.