Sunday, January 5, 2025
HomeHeadlineOPINI: Untuk pertama kalinya, diaspora Palestina kritik terbuka Otoritas Palestina

OPINI: Untuk pertama kalinya, diaspora Palestina kritik terbuka Otoritas Palestina

Oleh: Adnan Hamidan

Untuk pertama kalinya sejak didirikan pada 2017, Konferensi Populer untuk Palestina di Luar Negeri mengeluarkan kritik tajam terhadap Otoritas Palestina (PA). Kritik ini muncul setelah tindakan PA di Tepi Barat, khususnya di Jenin dan kamp pengungsi di sana, dianggap melampaui batas.

Gambar-gambar memilukan menunjukkan pemuda Palestina diperlakukan dengan sangat buruk, dipaksa meneriakkan slogan untuk mendukung Mahmoud Abbas di bawah penyiksaan, bahkan ditembak dengan peluru tajam.

Hal ini menegaskan bahwa PA telah melanggar garis merah. Pelanggaran ini semakin menunjukkan bahwa upaya rekonsiliasi dengan kepemimpinan PA yang memilih koordinasi keamanan dengan Israel justru merugikan rakyat Palestina dan perjuangan mereka.

Sejak awal berdirinya, Konferensi Populer untuk Palestina di Luar Negeri fokus pada upaya menyatukan perjuangan Palestina, dengan menghindari perselisihan politik.

Mereka lebih memilih untuk menyoroti penderitaan rakyat Palestina, terutama di diaspora, dan mendukung ketahanan mereka di tanah air. Namun, kekejaman yang terjadi di Tepi Barat dengan dalih “menjaga ketertiban” mendorong mereka untuk bersuara.

Kritik yang disampaikan kali ini sangat jelas dan langsung, tercermin dalam sebuah petisi yang disuarakan dengan tajuk “Darah Palestina adalah Garis Merah”.

Petisi ini mengecam keras tindakan PA yang menekan, menangkap, dan membunuh pejuang perlawanan di Tepi Barat. Mereka juga menyerukan penghentian segera koordinasi keamanan dengan pendudukan Israel sebagai langkah penting dalam melawan penjajahan tersebut.

Kritik ini mencerminkan rasa frustrasi yang berkembang di kalangan warga Palestina di luar negeri. Mereka yang selama ini mendukung perjuangan saudara-saudara mereka di tanah air kini merasa dikhianati setelah melihat tindakan PA yang lebih memilih bekerja sama dengan penjajah daripada melindungi rakyatnya sendiri.

Perubahan sikap ini juga menunjukkan bahwa warga Palestina di luar negeri kini semakin sadar bahwa PA tidak lagi bisa dipercaya sebagai mitra dalam perjuangan Palestina.

Alih-alih mempersatukan, PA justru menjadi sumber perpecahan, menggunakan aparat keamanannya untuk melindungi pendudukan Israel, bukan rakyat Palestina.

Kritik ini juga mencerminkan perubahan dalam kesadaran komunitas Palestina di diaspora. Mereka kini menyadari bahwa diam terhadap tindakan PA sama saja dengan berkompromi dalam mengikis perjuangan Palestina. Dalam menghadapi tantangan yang semakin besar, termasuk ekspansi pemukiman, rencana aneksasi, serta pembunuhan massal di Gaza, warga Palestina tidak bisa lagi mengabaikan peran PA dalam semua itu.

Kenyataan ini mempertegas pentingnya untuk memisahkan perjuangan nasional Palestina dari PA yang semakin kehilangan arah. Konferensi ini mengajak untuk membangun kerangka nasional yang lebih inklusif dan fokus melawan pendudukan tanpa terikat pada koordinasi keamanan atau agenda kepentingan diri PA.

Proyek PA, bersama dengan Fatah yang mendukungnya, terbukti gagal total. Gagal dalam menyelesaikan konflik dengan Israel, gagal mewujudkan negara Palestina yang merdeka, dan gagal memberi solusi politik yang nyata. Setelah dua dekade memberi kesempatan pada Abbas, hasilnya malah menunjukkan kegagalan yang sangat besar.

Sungguh menyedihkan ketika kita harus mengkritik pemimpin Palestina sendiri, padahal yang lebih penting adalah menyatukan seluruh kekuatan untuk melawan penjajahan Israel. Namun, demi kepentingan bangsa, langkah ini harus diambil. Saatnya untuk memperbaiki arah perjuangan dan menatap musuh sejati: pendudukan Israel.

Dengan langkah berani ini, Konferensi Populer untuk Palestina di Luar Negeri membuka peluang bagi diskusi lebih luas mengenai peran PA, Fatah, dan PLO dalam sejarah perjuangan Palestina.

Inisiatif ini bisa menjadi awal kebangkitan nasional yang meredefinisi prioritas Palestina dan memaksa perubahan dalam pendekatan kepemimpinan mereka—atau menghadapi pengucilan dan marginalisasi dari rakyat, baik di tanah air maupun di luar negeri. Seiring waktu, mereka bisa menjadi hambatan yang terhapus dari jalan menuju pembebasan.

Penulis adalah Wakil Ketua Forum Palestina di Inggris. Tulisan ini disadur dalam opininya di Middle East Monitor berjudul For the first time, Palestinians abroad publicly criticise the Palestinian Authority

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular