Israel menghadapi dilema hukum dan logistik yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah pasukan militernya mengambil alih Armada Sumud (Global Sumud Flotilla), yang tengah menuju Jalur Gaza dengan membawa lebih dari 500 aktivis dari 40 negara. Armada ini tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah upaya pembebasan blokade Gaza melalui jalur laut.
Para aktivis yang berada di kapal terdiri dari berbagai latar belakang, termasuk anggota parlemen, jurnalis internasional, pegiat hak asasi manusia, serta tokoh-tokoh publik berpengaruh di negara masing-masing.
Menurut Direktur Pusat Adalah untuk Hak Asasi Manusia, Hassan Jabareen, cara Israel mengintervensi armada yang terdiri dari 50 kapal itu—di perairan internasional—berpotensi menimbulkan persoalan hukum serius bagi Tel Aviv di level internasional.
“Israel melakukan penggerebekan di luar perairan teritorialnya. Kapal-kapal tersebut menuju perairan Gaza, yang secara hukum bukan wilayah kedaulatan Israel, bahkan menurut hukum Israel sendiri,” ujar Jabareen.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan hukum internasional, para aktivis tidak dapat dianggap sebagai tahanan, melainkan sebagai korban penculikan (unlawful abduction). Dengan demikian, segala bentuk penahanan terhadap mereka tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Dua Pilihan Sulit
Berdasarkan hukum Israel, menurut Jabareen, pemerintah hanya memiliki dua opsi hukum dalam menangani para aktivis:
Pertama, pemulangan (deportasi) dalam waktu 72 jam, menggunakan pesawat, bukan kapal. Hal ini menyulitkan karena Israel secara historis tidak mengembalikan kapal-kapal yang disita dalam misi serupa, dan bahkan menyatakan bahwa beberapa kapal mungkin akan ditenggelamkan. Sebelumnya, angkatan laut Israel juga dilaporkan menyemprotkan air dalam jumlah besar ke sejumlah kapal, diduga untuk merusaknya.
Kedua, penahanan dan proses hukum, namun opsi ini menghadapi hambatan legal yang besar. Untuk memperpanjang penahanan, para aktivis harus dibawa ke Pengadilan Imigrasi dan Perbatasan di Ramla dalam waktu 96 jam.
Namun, pengadilan tersebut hanya memiliki yurisdiksi atas kasus masuk ilegal ke wilayah Israel—yang tidak relevan dalam kasus ini, karena para aktivis tidak berniat masuk ke Israel, melainkan ke Gaza, yang tidak diakui Israel sebagai bagian dari wilayahnya sendiri.
“Dengan tiga kendala utama—tidak adanya yurisdiksi hukum di perairan internasional, terbatasnya kewenangan pengadilan perbatasan, dan tidak relevannya yurisdiksi Israel atas Gaza—maka penahanan ini secara hukum tidak sah dan dikategorikan sebagai penculikan,” jelas Jabareen.
Menurutnya, kompleksitas hukum ini membuat Israel kemungkinan besar akan memilih opsi pemulangan cepat demi menghindari sorotan media dan tekanan internasional yang terus meningkat.
Namun, proses pemulangan massal 500 aktivis secara bersamaan juga menghadirkan tantangan logistik besar, termasuk pengadaan pesawat dan pengaturan administratif, yang menempatkan pemerintah Israel dalam situasi serba sulit.
Krisis ini diperparah oleh profil para aktivis yang ditahan. Kehadiran tokoh-tokoh publik, termasuk anggota parlemen dan jurnalis internasional, meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel. Jabareen menilai, situasi ini berpotensi semakin merusak citra Israel yang sudah menurun di mata dunia.
Hal tersebut juga diakui oleh mantan Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni, yang menyatakan bahwa reputasi Israel mengalami kemunduran global. Ia memperingatkan bahwa penggunaan kekerasan dalam menangani armada akan memperparah citra negatif tersebut dan menempatkan Israel dalam posisi yang dirugikan di semua aspek.
Setelah Israel mulai mengambil alih kapal-kapal dalam armada, gelombang protes meletus di berbagai negara Eropa seperti Prancis, Italia, Belgia, Jerman, Yunani, dan Turki.
Jabareen menambahkan bahwa pengalaman Israel sebelumnya dalam menangani armada serupa sangat terbatas. Armada terbesar sebelumnya hanya membawa sekitar 100 aktivis, sementara yang terakhir pada Juni lalu hanya diikuti 12 aktivis.
“Kenaikan jumlah ini luar biasa dan menciptakan tantangan logistik dan diplomatik yang belum pernah dihadapi Israel sebelumnya,” ujarnya.
Situasi ini semakin rumit karena bertepatan dengan malam perayaan Yom Kippur, salah satu hari suci terpenting dalam kalender Yahudi. Untuk mengantisipasi situasi darurat, Israel dilaporkan telah mengerahkan unit khusus dari layanan penjara untuk membantu militer.
Proses evakuasi dan penanganan kapal-kapal armada diperkirakan akan berlangsung hingga Kamis (3/10). Namun, laporan menyebutkan bahwa kapal tambahan yang berangkat dari Italia dua hari lalu dapat tiba dan menambah tekanan logistik terhadap otoritas Israel.