Pakar militer, Mayor Jenderal Fayez Al-Duwairi, mengatakan bahwa pertempuran darat sebelum perjanjian gencatan senjata serta beberapa faktor lainnya membuat tentara pendudukan Israel ragu untuk terlibat dalam konfrontasi langsung dengan faksi-faksi perlawanan di Jalur Gaza.
Dalam analisisnya terhadap situasi militer di Gaza, Al-Duwairi menjelaskan bahwa pertempuran sengit mencerminkan gambaran nyata tentang kapasitas perlawanan.
Pertempuran itu terjadi di Beit Hanoun di perbatasan dengan kawasan sekitar Gaza sebelum gencatan senjata, serta pertempuran sebelumnya di Beit Lahia di utara dan lingkungan Al-Zaytoun di timur Gaza.
Menurut pakar militer ini, kemunculan ratusan pejuang perlawanan yang dipersenjatai lengkap selama pertukaran tahanan dalam tahap pertama perjanjian Gaza menjadi alasan kedua yang menunjukkan kesiapan mereka untuk menghadapi pertempuran dengan disiplin tinggi.
“Kesempatan perlawanan untuk menimbulkan kerugian besar bagi tentara pendudukan adalah dalam jarak tempur nol di medan perang. Jika di luar itu, pertempuran akan menjadi kerugian bagi mereka,” tegas Al-Duwairi.
Ia menambahkan bahwa perlawanan saat ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan besar karena kurangnya kondisi lapangan yang mendukung.
Ia menyimpulkan bahwa pertempuran darat adalah yang paling menyakitkan bagi tentara pendudukan.
Ia juga mencatat bahwa Israel telah berhasil membunuh para pemimpin politik dan militer perlawanan dalam beberapa hari terakhir melalui serangan udara.Israel menggunakan sistem pelacakan berbasis kecerdasan buatan.
Pada Rabu lalu, Israel mengumumkan dimulainya operasi darat yang disebut “terbatas” dan mengklaim telah merebut kembali kendali atas Koridor Netzarim di tengah Jalur Gaza.
Pemerintahan Netanyahu meluncurkan operasi ini—yang kemudian diperluas ke wilayah utara dan selatan Gaza—setelah menolak untuk melanjutkan ke tahap kedua perjanjian gencatan senjata.
Israel kembali melakukan serangan udara intensif, yang menyebabkan lebih dari 600 warga Palestina gugur dalam 4 hari.
Mengenai pengerahan pasukan darat Israel, Al-Duwairi menyatakan bahwa langkah ini mencerminkan strategi politik ganda antara Israel dan Amerika Serikat (AS).
Menurutnya, hal ini menunjukkan tujuan yang lebih besar dari sekadar serangan terbatas.
Ia menegaskan bahwa Divisi Militer 36 tidak cukup untuk menjalankan strategi yang direncanakan oleh AS dan Israel.
Namun, ia juga mencatat bahwa tentara Israel memiliki kemampuan untuk mengerahkan hingga 6 divisi militer, terlepas dari kesiapan tempurnya. Divisi-divisi ini adalah divisi 36, 99, 98, 91, 162, dan 252.
Pada Minggu malam, tentara Israel mengumumkan bahwa Divisi 36—yang sebelumnya terlibat dalam operasi di Lebanon—bersiap untuk bertempur di Jalur Gaza dan telah memulai persiapan di bawah komando selatan.
Sementara itu, saluran televisi Israel “Kan” melaporkan bahwa tentara Israel telah mengerahkan Divisi 36 ke perbatasan Gaza untuk meningkatkan tekanan dalam negosiasi pertukaran tahanan.
Divisi ini terdiri dari beberapa brigade militer dan memiliki lebih dari 10.000 tentara berdasarkan standar militer.
Beberapa hari lalu, surat kabar Israel Haaretz mengutip sumber keamanan yang mengatakan bahwa persiapan sedang dilakukan untuk melaksanakan rencana besar Kepala Staf Militer yang baru, Eyal Zamir.
Rencana itu mencakup serangan darat skala besar di Jalur Gaza dengan pengerahan beberapa divisi militer, termasuk pasukan cadangan.