Wednesday, November 12, 2025
HomeBeritaPakar: Pelucutan paksa Hamas akan jadi bencana, ada jalan lain

Pakar: Pelucutan paksa Hamas akan jadi bencana, ada jalan lain

Tiga pakar internasional di bidang penjagaan perdamaian memperingatkan bahwa setiap upaya untuk memaksa pelucutan senjata terhadap Hamas, di Jalur Gaza akan berakhir dengan “bencana pasti”.

Selain itu, juga akan menggagalkan kesepakatan gencatan senjata yang baru saja diumumkan dalam kerangka rencana perdamaian Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Dalam artikel analitis yang dimuat di harian Haaretz—surat kabar berhaluan kiri di Israel—ketiga pakar itu menilai bahwa langkah tersebut justru mengancam peluang politik yang sempit.

Hal itu bisa menjadi pintu menuju arah baru, atau sebaliknya, mengembalikan kawasan ke jurang perang.

Para penulis artikel itu adalah Heba Qassas, Direktur Eksekutif Principles for Peace Initiative yang berbasis di Jenewa; Bert Koenders, mantan Menteri Luar Negeri Belanda sekaligus mantan pemimpin misi penjaga perdamaian PBB di Pantai Gading dan Mali; serta Jenderal C.G. (Kees) Matthijssen, perwira tinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Afghanistan, Irak, dan Bosnia-Herzegovina.

Ketiganya menawarkan sebuah peta jalan realistis untuk menerapkan gencatan senjata dan mewujudkan rencana perdamaian Trump di Gaza.

Menurut mereka, Gaza kini berada di persimpangan jalan: melangkah menuju masa depan yang berbeda dengan memperkuat gencatan senjata, atau kembali terperosok ke dalam perang besar berikutnya.

Mereka menegaskan bahwa kunci tahap berikutnya adalah pembentukan misi internasional untuk stabilisasi dengan mandat yang jelas dan komprehensif—menggabungkan aspek keamanan, politik, bantuan kemanusiaan, serta perlindungan warga sipil.

Artikel itu menolak pendekatan militer semata. “Kekuatan senjata tidak pernah menciptakan stabilitas. Yang menentukan adalah arah kebijakan yang memimpin kekuatan, bukan sebaliknya,” tulis mereka.

Ketiga pakar tersebut menilai dukungan negara-negara Arab—terutama Mesir, Arab Saudi, Qatar, dan Turki—akan sangat krusial. Mandat dari Dewan Keamanan PBB, menurut mereka, akan memberi legitimasi dan dorongan politik bagi proses ini.

Bagi Israel, jalur politik ini diharapkan bermuara pada pengakuan penuh, jaminan keamanan, dan normalisasi hubungan dengan kekuatan-kekuatan regional.

Namun mereka mengakui bahwa kekhawatiran utama Israel tetap terletak pada isu pelucutan senjata Hamas.

“Memaksa Hamas menyerahkan senjata dengan kekuatan militer akan menjadi bencana pasti. Tidak ada negara yang mau menjadi perpanjangan tangan dari perang Israel,” tegas artikel itu.

Sebagai gantinya, mereka menawarkan pendekatan yang disebut “jalan keluar negosiasi” bagi Hamas.

Sebuah proses terorganisir untuk menyerahkan senjata secara sukarela dengan imbalan amnesti bagi anggota yang tidak terlibat dalam kejahatan berat, serta peluang untuk berintegrasi ke dalam kehidupan sipil dan politik.

Artikel tersebut mengutip pengalaman Kolombia dalam perjanjian damai dengan kelompok bersenjata FARC, di mana proses rekonsiliasi diawali dengan program amnesti dan reintegrasi sosial.

Namun para pakar juga memperingatkan agar tidak mengulangi kesalahan pasca-invasi Irak tahun 2003, ketika kebijakan “de-Baathifikasi” atau pembubaran total Partai Baath justru menyingkirkan ribuan tenaga ahli dan mendorong mereka bergabung dalam perlawanan bersenjata.

“Menyingkirkan kekuatan lokal hanya akan menjerumuskan situasi ke dalam kekacauan. Stabilitas tidak lahir dari penghancuran, melainkan dari inklusi dan legitimasi politik,” tulis mereka.

Dengan demikian, para pakar internasional ini menilai bahwa peluang menuju perdamaian di Gaza masih terbuka—namun hanya jika dunia memilih kebijaksanaan, bukan kekuatan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler