Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Jenderal Eyal Zamir, menegaskan bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tengah berupaya menyingkirkannya dari jabatan militer tertinggi, setelah ia menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pendudukan penuh Jalur Gaza.
Menurut laporan harian Haaretz, Jenderal Zamir menyampaikan penolakan keras terhadap rencana tersebut dalam pertemuan internal, dengan memperingatkan dampak militer dan politik yang berat apabila Israel melanjutkan langkah tersebut. Penolakan ini memperuncing ketegangan antara Zamir dan Netanyahu di tengah berlanjutnya agresi militer ke Gaza.
Masih menurut Haaretz, Zamir menyadari penuh implikasi dari langkah Netanyahu dan menolak untuk “menyerahkan militer kepada Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz.”
Pada Selasa (12/8), Netanyahu — yang kini menjadi subjek surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan genosida di Gaza — mengumumkan percepatan rencana pendudukan penuh atas Gaza. Ia mengklaim bahwa pasukan Israel akan segera menguasai Kota Gaza, yang disebutnya sebagai benteng terakhir kelompok Hamas, dengan fokus pada upaya pembebasan para sandera yang masih ditahan di wilayah tersebut.
Namun, dalam pertemuan Dewan Keamanan Israel selama tiga jam pada Kamis pekan lalu, Jenderal Zamir memperingatkan bahwa rencana pendudukan penuh akan menjadi “jebakan militer” yang memaksa militer Israel terlibat dalam perang panjang yang melelahkan. Ia juga menyoroti risiko besar terhadap keselamatan para sandera, mengingat ada indikasi bahwa puluhan dari mereka masih hidup.
Meski demikian, kantor Netanyahu merilis pernyataan usai pertemuan bahwa militer siap menjalankan keputusan apa pun yang disahkan oleh Dewan Keamanan Nasional — sebuah sinyal yang menegaskan perbedaan tajam antara penilaian profesional militer dan keputusan politik pemerintah.
Kabinet Keamanan Israel akhirnya menyetujui rencana pendudukan atas Kota Gaza, meskipun terdapat peringatan dari para komandan militer mengenai risiko terhadap para sandera dan keselamatan pasukan. Rencana tersebut bahkan mencakup pembatasan kewenangan tentara dalam skenario tertentu.
Situasi ini mencerminkan perpecahan serius di kalangan pimpinan politik dan militer Israel terkait arah operasi di Gaza dan masa depan pengelolaan wilayah tersebut.
Sejumlah negara Arab dan Barat telah mengecam rencana Israel untuk kembali menduduki Jalur Gaza, menyebutnya sebagai eskalasi berbahaya, pelanggaran hukum internasional, dan langkah yang tidak dapat diterima.
Dengan dukungan Amerika Serikat, Israel dituduh terus melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Serangan brutal tersebut telah menewaskan sedikitnya 61.599 orang dan melukai lebih dari 154.000 lainnya — sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 9.000 orang masih dinyatakan hilang, dan ratusan ribu warga mengungsi di tengah krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.