Tuesday, October 7, 2025
HomeBeritaPara ekonom peringatkan pendudukan Gaza bisa picu krisis ekonomi Israel

Para ekonom peringatkan pendudukan Gaza bisa picu krisis ekonomi Israel

Lebih dari 80 pakar ekonomi terkemuka di Israel, termasuk mantan pejabat Kementerian Keuangan, mantan direktur Bank Israel, serta sejumlah rektor universitas, mengeluarkan peringatan keras bahwa rencana pendudukan Jalur Gaza akan menyeret negeri itu ke dalam krisis ekonomi serius.

Dalam pernyataan bersama yang dimuat laman berita Walla, para ekonom menegaskan langkah tersebut berisiko memperlambat pertumbuhan, memaksa pemerintah menaikkan pajak, merusak peringkat kredit Israel, bahkan memicu kemungkinan sanksi internasional.

Tak hanya itu, mereka juga menyoroti potensi memburuknya arus emigrasi tenaga terampil ke luar negeri.

Peringatan itu secara langsung menyinggung keputusan kabinet perang (kabinett), khususnya kebijakan untuk menduduki Kota Gaza serta memindahkan sekitar 1 juta warga Palestina ke Selatan.

Selain itu, juga menempatkan mereka di kamp-kamp penampungan, sebagaimana dilaporkan Kanal 12 Israel.

Para ekonom juga memperkirakan operasi militer yang bisa berlangsung berbulan-bulan akan menimbulkan korban besar di kalangan tentara Israel, sekaligus menempatkan nyawa para sandera yang masih ditahan di Gaza dalam bahaya serius.

“Langkah ini tidak akan mencapai tujuan resmi pemerintah,” demikian bunyi pernyataan mereka.

Menurut para penandatangan, pendudukan Gaza tidak akan mengalahkan Hamas, justru berpotensi menghasilkan efek sebaliknya: menambah beban Israel di bidang militer, ekonomi, dan keamanan.

Pokok peringatan dalam dokumen para ekonom

Dalam dokumen yang ditandatangani lebih dari 80 pakar ekonomi Israel, tercantum sejumlah risiko utama jika pemerintah tetap memaksakan pendudukan Jalur Gaza:

  • Eksodus tenaga terampil kian cepat, yang akan memicu penurunan produktivitas dan melemahkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
  • Rasio utang publik terhadap PDB meningkat tajam, dengan potensi menimbulkan krisis utang di masa depan.
  • Beban anggaran langsung melonjak puluhan miliar shekel, akibat kebutuhan mobilisasi pasukan cadangan dan pembelian persenjataan. Konsekuensinya, pajak harus dinaikkan sementara layanan sosial berkurang.
  • Tambahan biaya sekitar 60 miliar shekel (17,7 miliar dolar AS) untuk mendanai administrasi militer, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan layanan di Gaza.
  • Ancaman sanksi ekonomi dari Uni Eropa dan mitra dagang utama, yang bisa semakin mempersempit ruang gerak ekonomi Israel.
  • Risiko penurunan peringkat kredit internasional, yang akan memicu kenaikan suku bunga, menurunkan arus investasi, serta berdampak luas pada lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan warga Israel.

Tanda tangan dengan nama besar

Di antara lebih dari 80 pakar yang menandatangani pernyataan peringatan, tercantum sejumlah nama bergengsi yang punya rekam jejak panjang dalam perumusan kebijakan ekonomi Israel.

Salah satunya adalah Prof Manuel Trajtenberg, mantan Ketua Dewan Ekonomi Nasional, yang dikenal luas atas pengaruhnya dalam kebijakan sosial-ekonomi negara.

Ikut pula Prof Avi Ben-Bassat, Direktur Jenderal Kementerian Keuangan pada masanya, bersama dengan Prof Michel Strawczynski, mantan Kepala Divisi Riset Bank Israel, serta Yoram Ariav, yang juga pernah menjabat Direktur Jenderal Kementerian Keuangan.

Dari ranah akademik-politik, hadir nama Prof Avishay Braverman, mantan Rektor Universitas Ben-Gurion sekaligus mantan Ketua Komisi Keuangan di Knesset; Prof Omer Moav, penasihat ekonomi mantan Menteri Keuangan dan salah satu suara paling berpengaruh dalam perdebatan kebijakan moneter; serta Prof Rafi Melnick, mantan Rektor Universitas Reichman.

Kehadiran figur-figur ini menunjukkan adanya konsensus luas di kalangan elite ekonomi mengenai besarnya risiko jika Israel memaksakan pendudukan Gaza.

Ekonomi dan keamanan nasional dalam bahaya

Para penyusun dokumen—antara lain Prof Itay Ater, Prof Benny Bental, dan Prof Eran Yashiv—menegaskan bahwa pendudukan Gaza akan menyeret ekonomi Israel ke jurang yang berbahaya.

“Ini bukan sekadar ancaman ekonomi, melainkan juga ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Ekonomi yang rapuh tak akan sanggup menanggung biaya perang jangka panjang,” demikian bunyi pernyataan mereka.

Kekhawatiran itu tak berhenti pada persoalan biaya. Para ekonom memperingatkan, kebijakan ini bisa menyingkirkan Israel dari kelompok negara maju, bukan hanya karena beban finansial yang membengkak, tetapi juga akibat menurunnya kepercayaan internasional dan merosotnya posisi ekonomi global Israel.

Peringatan tersebut mengingatkan kembali pada pengalaman sejarah. Di Lebanon Selatan (1982–2000), pendudukan berkepanjangan di wilayah yang memusuhi Israel menguras kekuatan militer dan ekonomi hingga akhirnya berakhir dengan penarikan mundur di bawah tekanan kerugian manusia dan material.

Hal serupa terjadi di Gaza sebelum 2005, ketika biaya administrasi langsung terhadap jutaan penduduk Palestina terbukti tak tertanggungkan, sehingga Israel akhirnya menarik diri secara sepihak.

Kini, para ekonom menilai kembalinya Israel ke jalur pendudukan Gaza hanya akan mengulang kesalahan lama dengan skala yang lebih besar.

Bedanya, kali ini beban itu hadir di tengah ekonomi yang lebih rapuh dan dalam iklim internasional yang semakin tidak toleran terhadap kebijakan ekspansi militer. Risiko ekonomi dan finansial, dengan demikian, menjadi berlipat ganda.

Mereka menyimpulkan, konsekuensi kebijakan ini akan berupa kerugian manusia dan ekonomi yang berat, yang dalam jangka panjang akan merusak investasi, produktivitas, serta layanan sosial.

Pada akhirnya, semua itu hanya akan membuat Israel semakin rapuh, baik secara ekonomi maupun sosial.

Israel di ambang pusaran krisis ekonomi

Reporter ekonomi Channel 12 Israel, Yuval Sadeh, mengulas dokumen para ekonom senior yang memperingatkan konsekuensi serius pendudukan Gaza terhadap perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Menurutnya, beban finansial akan jatuh langsung ke pundak warga dan mengikis fondasi negara kesejahteraan.

Sadeh menegaskan, pendudukan Gaza akan menambah puluhan miliar shekel ke dalam anggaran pertahanan untuk menutup biaya mobilisasi cadangan, pembelian senjata, peralatan, dan logistik militer.

Berdasarkan hukum internasional, Israel otomatis akan menjadi otoritas berdaulat di Gaza, dengan kewajiban menyediakan bantuan kemanusiaan, layanan kesehatan, pendidikan, serta infrastruktur.

Biaya tahunan diperkirakan tidak kurang dari 60 miliar shekel (sekitar 18 miliar dolar AS).

Ia menambahkan, langkah itu akan membuka jalan bagi sanksi Eropa yang mengganggu hubungan dagang Israel, serta mempercepat arus keluar tenaga ahli dan modal manusia berkualitas tinggi.

Dampaknya, produktivitas dan pertumbuhan produk domestik bruto akan menyusut, sementara tekanan biaya hidup semakin besar.

Sadeh memperingatkan, kerugian ekonomi akan memaksa pemerintah menaikkan pajak atau memangkas layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial.

Kombinasi antara pengeluaran yang melonjak dan pertumbuhan yang melambat akan mendorong utang publik naik, menurunkan peringkat kredit, serta meningkatkan bunga pinjaman dan risiko investasi.

“Israel bisa terjebak dalam pusaran krisis ekonomi layaknya Argentina atau Yunani,” tulisnya.

Tantangan eksistensial dan dampak sosial

Kekhawatiran serupa datang dari Israel Democracy Institute. Dalam sebuah laporan analisis kebijakan yang disusun oleh Prof Karnit Flug dan Prof Jacob Frenkel, ditegaskan bahwa pendudukan Gaza bukan sekadar fase baru dalam perang yang berlangsung 2 tahun terakhir, tetapi membawa dampak ekonomi dan sosial yang “sangat berat”.

Laporan itu menyoroti risiko meningkatnya boikot internasional, lonjakan biaya hidup, serta memburuknya layanan publik yang semuanya akan dibayar mahal oleh pembayar pajak.

Para penulis menekankan pentingnya perdebatan strategis yang profesional dan transparan sebelum keputusan besar semacam ini diambil.

Menurut laporan tersebut, Israel kini menghadapi tantangan eksistensial yang belum pernah ada sebelumnya: polarisasi internal yang kian tajam, isolasi internasional yang bertambah, serta ancaman besar terhadap solidaritas sosial dan hubungan dengan diaspora Yahudi.

Pendudukan terhadap 2,2 juta penduduk Gaza dipandang sebagai titik balik berbahaya yang bisa mengorbankan nyawa tentara dan para sandera.

Dengan merujuk pada Konvensi Jenewa 1949, Israel akan memikul tanggung jawab penuh atas layanan dasar di Gaza.

Biaya pemulihan infrastruktur dan bangunan yang hancur diperkirakan mencapai 180 miliar shekel (sekitar 53 miliar dolar AS), dan angka itu masih bisa meningkat akibat kerusakan perang terkini.

Selain itu, Israel harus menggelontorkan dana sekitar 10 miliar shekel per tahun untuk layanan dasar, ditambah 20 miliar shekel lebih untuk pembiayaan administrasi militer dan sipil, serta pengeluaran untuk mobilisasi dan persenjataan.

Isolasi internasional dan dampak pada investasi

Implikasi pendudukan tidak hanya sebatas anggaran militer dan sosial. Dunia usaha, terutama sektor teknologi tinggi, akan terkena dampak langsung berupa turunnya produktivitas dan investasi.

Mobilisasi besar-besaran dan sanksi internasional diperkirakan memicu kenaikan bunga, meningkatnya risiko, serta menurunnya peringkat kredit.

Laporan itu juga memperingatkan, pendudukan akan memperdalam isolasi Israel, dengan dampak serius pada investasi, riset ilmiah, serta kerja sama akademik.

Penarikan modal, berkurangnya proyek kolaborasi internasional, hingga terbatasnya program pertukaran mahasiswa akan menghambat inovasi dan teknologi—2 pilar utama ekonomi Israel.

Dalam skenario ini, utang dan beban bunganya akan meningkat, pertumbuhan ekonomi melambat, biaya hidup naik, pajak bertambah berat, dan risiko “brain drain” makin nyata. Investasi publik di bidang layanan dasar pun terancam merosot.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler