Friday, November 21, 2025
HomeBeritaPemkot Nuseirat bebaskan keluarga syuhada Gaza dari tanggungan keuangan

Pemkot Nuseirat bebaskan keluarga syuhada Gaza dari tanggungan keuangan

Di tengah kehancuran luas dan kerugian ekonomi yang belum pernah dialami sebelumnya oleh kamp pengungsian dan kota-kota di wilayah Gaza Tengah, Pemerintah Kota Nuseirat mengumumkan sebuah inisiatif kemanusiaan.

Yaitu, kampanye pembebasan dari kewajiban pembayaran bagi keluarga syuhada yang berasal dari kalangan pengusaha kecil dan pemilik usaha yang gugur dalam agresi genosida Israel di Jalur Gaza.

Program yang sama juga menyasar para pengrajin dan pemilik usaha yang mengalami kerusakan atau hancurnya tempat usaha akibat serangan udara.

Langkah ini hadir sebagai respons atas kondisi luar biasa yang dialami warga Nuseirat.

Selain menjadi bentuk penghormatan, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban finansial masyarakat yang kehilangan tulang punggung keluarga ataupun mereka yang kehilangan sumber pendapatan utama.

Meskipun keputusan itu tidak mampu menutup kerugian besar yang menimpa pelaku usaha dan keluarga syuhada, upaya ini dipandang sebagai pijakan awal untuk menopang ketahanan masyarakat.

Pemerintah kota berharap kebijakan tersebut dapat memberi ruang bernapas bagi keluarga yang selamat.

Sementara kebutuhan akan langkah yang lebih komprehensif tetap mendesak agar kehidupan ekonomi dan sosial di wilayah itu dapat kembali bergerak.

Dalam perkembangan yang sama, Pemerintah Kota Bureij dan Maghazi menyatakan kepada Aljazeera Net bahwa mereka tengah menempuh arah kebijakan serupa, meski belum merilis pengumuman resmi.

Tanggung jawab etis dan sosial

Ketua Pemerintah Kota Nuseirat, Nabil al-Salhi, menjelaskan bahwa keputusan untuk meluncurkan kampanye ini lahir dari serangkaian diskusi dengan anggota dewan kota serta para kepala kota di wilayah Gaza Tengah.

Semua pihak sepakat bahwa tingkat kerusakan dan kerugian ekonomi di kawasan itu telah mencapai skala yang luar biasa.

Menurut al-Salhi, Nuseirat mengalami kerusakan luas pada infrastruktur, kawasan industri kecil, serta pasar-pasar tradisional.

Banyak pengusaha mikro dan pelaku usaha kehilangan peralatan, mesin, dan perlengkapan kerja mereka.

Akibatnya, sumber pendapatan mereka lumpuh total setelah tempat usaha hancur atau tidak lagi dapat digunakan.

Ia menambahkan, persentase keluarga yang kini hidup tanpa penghasilan tetap melonjak tajam.

Situasi ini secara langsung memengaruhi pendapatan lokal dan memperburuk tingkat pengangguran, sehingga tekanan ekonomi dan sosial meningkat drastis.

Meski pemerintah kota sendiri tengah mengalami krisis finansial akibat berhentinya pendapatan retribusi selama agresi berlangsung, al-Salhi menegaskan bahwa Nuseirat tetap berkomitmen untuk berdiri bersama warganya melalui berbagai inisiatif keringanan dan potongan biaya.

Ia menegaskan bahwa kampanye serupa akan diperluas agar menyentuh kelompok lain yang tengah menghadapi tekanan hidup berat.

Data dari Departemen Perindustrian dan Kerajinan Pemerintah Kota Nuseirat menunjukkan adanya 1.037 usaha berizin—mulai dari restoran, toko roti, toko kelontong, klinik, apotek, hingga kantor layanan.

Sejauh ini, kewajiban pembayaran atas 12 keluarga syuhada telah diselesaikan. Sementara 50 usaha lain masuk dalam daftar penerima manfaat dengan total nilai pembebasan sekitar 20.000 dolar AS.

Kepala Departemen Perindustrian dan Kerajinan, Muhammad al-Assar, menyebut angka tersebut menggambarkan betapa besar skala kerusakan yang menimpa sektor usaha kecil di kawasan itu.

Ia menegaskan bahwa pemerintah kota berupaya semaksimal mungkin, dalam batas kemampuan yang sangat terbatas, untuk membantu masyarakat yang terdampak.

Menurut al-Assar, penyelesaian kewajiban finansial bagi keluarga syuhada dan pembebasan biaya bagi 50 usaha tersebut merupakan “tanggung jawab sosial sebelum menjadi kebijakan administratif”.

Ia menekankan, langkah itu adalah bentuk dukungan moral yang penting untuk menjaga keteguhan warga, meski pemerintah kota menyadari bahwa kebutuhan masyarakat masih jauh lebih besar dari kemampuan yang ada saat ini.

Dukungan di tengah kekurangan

Bagi keluarga syuhada, kebijakan tersebut tidak hanya bermakna administratif, tetapi juga emosional.

Hal itu dirasakan oleh Alaa al-Kilani, saudara Bahaa—pemilik kantor teknik yang termasuk dalam daftar penerima pembebasan.

Ia menyebut kebijakan ini sebagai “sentuhan kesetiaan” bagi saudaranya yang gugur dan bagi keluarganya yang kehilangan tumpuan hidup.

Menurutnya, nilai material dari pembebasan itu tidak sebanding dengan kehilangan seorang syahid.

Namun langkah tersebut memberi rasa bahwa lembaga-lembaga publik masih memikirkan nasib keluarga syuhada di tengah penderitaan berkepanjangan.

“Nilai moralnya jauh lebih besar dari nilai materinya,” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Ibrahim Abu Dhahir, pemilik Restoran Jenin, yang usahanya mengalami kerugian sekitar 250.000 dolar AS akibat serangan—mulai dari mesin, peralatan dapur, dekorasi, hingga furnitur.

Ia menilai kebijakan ini menjadi dorongan moral untuk bangkit kembali, meski dampak materialnya tidak sebanding dengan skala kehancuran tempat usahanya.

“Kami tidak punya pilihan selain memulai dari titik nol, namun pembebasan biaya ini membuka jendela harapan kecil di jalan panjang menuju pemulihan,” ujarnya kepada Aljazeera Net.

Ia menekankan bahwa bagi para pemilik usaha, yang paling mereka harapkan bukan sekadar kompensasi finansial, melainkan kepastian bahwa ada pihak yang memahami besarnya pukulan yang dialami dan siap berdiri bersama mereka.

Pesan solidaritas

Ketua Pemerintah Kota Bureij, Ayman Dweik, mengatakan bahwa kotanya telah menghentikan seluruh penarikan retribusi sejak agresi dimulai—baik retribusi air, biaya izin usaha, maupun berbagai jenis izin bangunan.

Ia juga menyebut bahwa Bureij telah mengumumkan pembebasan penuh kewajiban bagi usaha kecil dan menengah untuk tahun 2024, dan kebijakan itu masih berlaku hingga kini.

Kebijakan tersebut, menurutnya, adalah bentuk kewajiban sosial, bukan sekadar keputusan administratif.

Banyak keluarga kehilangan sumber pendapatan, dan pemerintah kota merasa bertanggung jawab untuk menopang mereka sebisa mungkin.

Konsultan hukum Pemerintah Kota Bureij, Farid al-Lulu, menyebut bahwa total usaha kecil yang terdaftar di kotanya mencapai 1.300 unit.

Lebih dari 50 persen di antaranya hancur—baik akibat penggusuran karena lokasi Bureij yang berdekatan dengan perbatasan Israel dari sisi timur dan Koridor Netzarim di utara, maupun akibat serangan langsung.

Kerugian pemerintah kota akibat pembebasan biaya usaha dan perizinan itu mencapai lebih dari 120.000 dolar AS.

Di Maghazi, Ketua Pemerintah Kota Muhammad Muslih menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil langkah serupa.

Maghazi tidak menagih satu pun pembayaran dari warganya selama masa agresi—baik untuk air, izin usaha, maupun berbagai jenis lisensi lainnya.

Menurut Muslih, prioritas hari ini adalah melindungi kelompok paling rentan serta meringankan tekanan hidup para pemilik usaha kecil yang kehilangan sumber mata pencaharian.

Ia menegaskan, langkah ini bukan hanya soal pembebasan biaya, tetapi juga “pesan solidaritas dan dukungan moral pada saat warga membutuhkan segala bentuk bantuan untuk menutup kerugian besar yang mereka alami.”

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler