Monday, October 20, 2025
HomeBeritaPendidikan gratis dan lingkungan penopang bagi anak yatim perang di Mawasi Khan...

Pendidikan gratis dan lingkungan penopang bagi anak yatim perang di Mawasi Khan Younis

Dengan tatapan kosong dan senyum yang belum sempat tumbuh, Mais Muhammad Abidin, bocah 11 tahun dari Khan Younis, berdiri di antara teman-temannya.

Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua akibat perang yang menghancurkan Gaza.

Di sebuah sekolah sederhana bernama “Al-Amal” (Harapan), yang kelas-kelasnya dibangun dari tenda-tenda pengungsian, delapan ruang belajar baru saja dibuka di kawasan Mawasi, barat Khan Younis.

Di tempat inilah anak-anak yang tubuh dan ingatannya dibebani trauma mencoba menemukan kembali makna kehidupan.

Mereka bukan hanya penyintas perang, tetapi juga penyintas kehilangan.

Kehilangan sang ayah

Mais menjadi yatim setelah ayahnya gugur oleh rudal yang ditembakkan dari drone Israel pada bulan-bulan awal perang genosida yang dimulai pada 7 Oktober 2023.

Ia kini termasuk di antara sekitar 40 ribu anak Gaza yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka.

Beberapa bulan setelah perang pecah, Mais dan keluarganya mengungsi dari rumah mereka di kawasan Batin al-Samin di selatan Khan Younis menuju Mawasi, menyusul operasi militer besar-besaran Israel.

Mereka hidup di tenda yang rapuh menghadapi musim panas dan dingin, sementara rumah mereka telah berubah menjadi tumpukan puing bercampur kenangan.

Ayah Mais, yang bekerja sebagai mekanik mobil, sempat berpamitan kepada keluarganya di tenda pengungsian di Rafah.

Ia pergi membantu seorang sopir yang mobilnya mogok di jalan pesisir dekat Khan Younis, berharap mendapat sedikit uang untuk kebutuhan keluarga. Namun, ia tak pernah kembali.

“Aku ingin menjadi dokter gigi seperti yang diimpikan ayahku. Aku ingin membuat senyum orang lain indah, seperti senyum yang dulu ia suka,” kata Mais sambil menahan air mata.

Pendidikan dari reruntuhan

Perang membuat ratusan ribu pelajar Gaza kehilangan hak mereka untuk belajar. Sekolah-sekolah yang selamat dari kehancuran kini berubah menjadi tempat penampungan yang muram, di mana setiap sudutnya menyimpan kisah duka.

Mais menghabiskan harinya mengantre air dari truk tangki keliling dan mencari makanan dari dapur umum.

“Matahari membakar wajahku,” katanya pelan sambil menunjukkan kulit yang menggelap dan terkelupas.

Kisah Mais bukan satu-satunya. Ruba Hussein al-Sya’er, juga berusia 11 tahun, kehilangan ayahnya yang tertembak di perut oleh drone kecil bersenjata.

Sang ayah sebelumnya menderita kanker usus besar dan tidak sempat dirujuk ke luar negeri untuk berobat karena penutupan perbatasan Rafah, yang hingga kini tetap diduduki Israel.

“Dia sempat sembuh sebentar, tapi kesehatannya memburuk lagi dan akhirnya ia meningga,” kenang Ruba.

Kini Ruba tinggal bersama ibu dan enam saudara-saudarinya di tenda kecil di Mawasi. Ia merindukan rumahnya, buku-bukunya, dan boneka yang tertimbun reruntuhan di Khan Younis.

“Dulu aku tidak punya cita-cita, tapi setelah ayah sakit dan meninggal, aku ingin jadi dokter. Gaza butuh dokter, karena Israel membunuh para dokter dan menghancurkan rumah sakit,” katanya.

Upaya penyelamatan

Di sekolah tenda ini, sekitar 1.150 anak pengungsi, termasuk 700 anak yatim, mengikuti program pendidikan dan kegiatan rekreatif.

Para pengelola sekolah menjelaskan bahwa kegiatan di sana dirancang agar anak-anak bisa memulihkan sisi emosional dan akademis yang hilang akibat dua tahun perang dan lumpuhnya seluruh sistem pendidikan.

Menurut Ahmad Lafi, Direktur Dinas Pendidikan Rafah, sekitar 70 persen sekolah di Gaza telah hancur total atau rusak berat, dan di banyak daerah tak ada satu sekolah pun yang masih berdiri utuh.

“Anak-anak yatim adalah kelompok yang paling terpukul oleh dampak perang. Sekolah seperti ini memberi mereka alasan untuk berharap dan bertahan,” ujarnya.

Ia menambahkan, Kementerian Pendidikan di Gaza mendukung penuh upaya membangun kembali sistem Pendidikan.

Sistem itu hancur akibat serangan Israel yang menyasar lembaga-lembaga pendidikan, menewaskan puluhan ribu pelajar, guru, dan tenaga pengajar.

Menurut data Kantor Media Pemerintah Gaza, Israel selama perang telah membunuh 22 ribu ayah dan 9 ribu ibu, meninggalkan sekitar 40 ribu anak yatim.

Generasi kecil yang kini berjuang menulis babak baru dari reruntuhan perang dengan sekolah tenda sebagai tempat belajar dan bertahan hidup.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler