Dr. Azim Ibrahim, seorang peneliti Inggris yang dianugerahi Order of the British Empire, menilai bahwa meski Israel telah melancarkan hampir setahun serangan udara.
Ia juga menilai Isaral telah melakukan kehancuran masif terhadap Jalur Gaza. Namun, pemerintahnya tetap bertekad “melanjutkan upaya merebut kemenangan” bahkan setelah penandatanganan perjanjian gencatan senjata pekan lalu.
Namun, menurut Ibrahim, realitas di lapangan menceritakan kisah yang amat berbeda.
Dari reruntuhan Gaza, kata dia, bermunculan sekitar 15.000 pejuang Hamas—sebagian besar dilaporkan berperalatan lengkap—yang “sedang berupaya merebut kembali kendali atas wilayah tersebut.”
Dalam esainya yang dimuat di majalah The National Interest, Ibrahim menegaskan bahwa Hamas tidak dapat dikalahkan hanya dengan kekuatan militer.
Karena organisasi itu bukan sekadar jaringan pejuang atau sistem terowongan, melainkan sebuah gerakan politik dan ideologis yang berakar di dalam masyarakat Palestina.
Menurut penulis, para ahli kontra-terorisme yang kredibel sejak awal memperingatkan bahwa upaya memusnahkan Hamas secara militer hampir mustahil.
Ia membandingkan situasi ini dengan kegagalan Amerika Serikat (AS) dalam melumpuhkan kelompok-kelompok seperti Al Qaeda dan ISIS: ide dan gerak organisasi tetap hidup meskipun struktur puncak terguncang.
Ibrahim mengakui bahwa pucuk pimpinan Hamas sempat mengalami pembubaran sebagian, namun organisasi itu tetap mampu beroperasi lewat sel-sel kecil dan milisi lokal.
Sementara itu, kampanye militer Israel telah menghancurkan infrastruktur sipil Gaza, menewaskan puluhan ribu orang, mengusir lebih dari sejuta warga dari rumah mereka, dan meratakan permukiman menjadi puing-puing.
Namun, kata Ibrahim, akar-akar yang melahirkan Hamas—keputusasaan, marginalisasi, dan ketiadaan negara—masih bertahan, bahkan semakin memburuk.
Ia mengingat kembali bagaimana Hamas awalnya tampil ke permukaan ketika otoritas Palestina, yang dipimpin oleh Fatah pada awal milenium, dipandang sebagai sinonim korupsi, kronisme, dan ketidakmampuan.
Kekecewaan publik inilah yang kemudian dimanfaatkan Hamas: organisasi itu menawarkan citra “alternatif bersih dan disiplin” yang menggabungkan aksi perlawanan dengan layanan sosial bagi masyarakat.
Kemenangan Hamas dalam pemilihan legislatif 2006, menurut Ibrahim, bukan semata-mata dukungan terhadap ideologi Islam konservatif, melainkan suara protes terhadap kebuntuan dan kegagalan Fatah.
Ibrahim menambahkan bahwa setelah meraih kekuasaan, Hamas menyudutkan diri pada pola yang mirip rezim otoriter.
Yaitu, memperkuat kendali melalui kekerasan, menyingkirkan faksi pesaing di Gaza, menunda atau membatalkan pemilu, dan membangun struktur keamanan bersenjata yang berwajah seperti negara kecil.
Langkah-langkah ini memperkokoh monopoli kekuasaannya di dalam wilayah tersebut.
Penulis juga menyorot kebijakan Israel yang ia nilai turut berkontribusi pada pengokohan Hamas.
Israel, menurut Ibrahim, menerapkan strategi “pemisahan” antara Gaza dan Tepi Barat — langkah yang dimaksudkan untuk melemahkan kepemimpinan Palestina yang bersatu namun berakibat sebaliknya: memperkuat posisi Hamas dan menghentikan prospek perdamaian.
Strategi itu, sebagaimana dicatatnya, berbalik menghantam Israel, terutama setelah serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang besar dan mengembalikan konflik ke titik nol.
Ibrahim menyimpulkan bahwa jalan untuk mengalahkan Hamas tidak akan dilalui hanya melalui kekuatan militer.
Sebaliknya, ia menekankan pentingnya membangun kembali harapan: rekonstruksi Gaza, reformasi institusi Palestina, penyelenggaraan pemilu yang nyata, dan diluncurkannya proses politik yang dapat mengarah pada negara Palestina yang layak huni.
Pendekatan semacam itu, menurutnya, jauh lebih mungkin mengikis dukungan sosial terhadap Hamas daripada operasi militer yang berkepanjangan.
Hal itu cenderung memperdalam luka dan memperbesar kondisi yang memungkinkan gerakan seperti Hamas tumbuh dan bertahan.