Tuesday, June 17, 2025
HomeBeritaPeneliti Inggris: Proyek Zionis serupa dengan pola politik Rwanda

Peneliti Inggris: Proyek Zionis serupa dengan pola politik Rwanda

Peneliti Inggris bidang Afrika, Pippa Lutton, menyoroti kemiripan mencolok antara proyek Zionisme di Timur Tengah.

Ia menyebut dengan apa yang dikenal sebagai “doktrin Rwanda” yang dijalankan di bawah kepemimpinan Presiden Paul Kagame.

Dalam wawancara eksklusif bersama Al Jazeera, Lutton menilai kedua entitas tersebut menggunakan narasi penderitaan historis untuk melegitimasi kebijakan hegemonik di wilayah masing-masing.

Menurut Lutton, pemerintahan Rwanda mengandalkan konstruksi identitas nasional sebagai alat kontrol dan dominasi, terutama oleh elite politik dari etnis Tutsi.

Ia menyamakan pendekatan ini dengan kebijakan yang dijalankan oleh negara Israel, yang menurutnya memanfaatkan narasi sebagai korban untuk mendapatkan simpati dan dukungan internasional.

“Rwanda dan Israel sama-sama memainkan peran sebagai korban dalam wacana politiknya. Namun, efektivitas narasi ini semakin menurun seiring waktu,” ujar Lutton.

Lutton juga menyoroti represivitas rezim Kagame terhadap suara-suara kritis, terutama mereka yang mempertanyakan narasi resmi peristiwa genosida 1994.

Ia mengangkat kasus politikus oposisi Victoire Ingabire, yang dipenjara selama 15 tahun hanya karena mempertanyakan aspek tertentu dari sejarah nasional Rwanda.

“Di Rwanda, sekadar bertanya soal apa yang terjadi pada 1994 bisa membuat seseorang masuk penjara,” tegasnya.

Ia juga menyebut keberadaan undang-undang keras yang membungkam ruang diskusi sejarah.

Lebih jauh, Lutton menyoroti hubungan erat rezim Rwanda dengan tokoh-tokoh barat seperti mantan Presiden AS Bill Clinton dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Ia mengkritik Blair, yang disebutnya sebagai salah satu tokoh paling tidak disukai di Inggris, karena perannya sebagai penasihat perusahaan tambang raksasa Glencore Xstrata, yang beroperasi di Republik Demokratik Kongo.

Terkait konflik Kongo-Rwanda, Lutton mengkritik diamnya organisasi regional seperti Uni Afrika dan Komunitas Afrika Timur, kendati pemerintah Kongo secara terang-terangan menuduh Rwanda mendukung kelompok bersenjata M23.

Menurutnya, hal ini tidak lepas dari pengaruh kekuatan internasional yang diuntungkan oleh ketidakstabilan kawasan.

Ia menyebut hasil Konferensi Timur-Tengah (KTT) Komunitas Afrika Timur baru-baru ini “mengejutkan”, karena mendesak pemerintah Kongo bernegosiasi dengan kelompok M23.

Mereka dituding bertanggung jawab atas tewasnya lebih dari 10 juta warga Kongo serta perkosaan massal terhadap ratusan ribu perempuan.

Lutton juga menyoroti perubahan sikap Kenya dalam konflik di Kongo, yang menurutnya mulai terjadi usai Presiden William Ruto berkunjung ke Gedung Putih dan bertemu Presiden AS Joe Biden.

Ia menyebut perubahan itu sebagai “pergeseran yang mencurigakan.”

Namun demikian, ia mengapresiasi peran diplomasi positif yang dijalankan oleh Angola, Tanzania, dan Burundi dalam upaya mediasi antara Kongo dan Rwanda.

Angola, menurutnya, memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan di kawasan Danau-Danau Besar Afrika.

Meski begitu, Lutton menyatakan pesimismenya terhadap masa depan kawasan tersebut.

“Saya tidak melihat adanya peluang nyata untuk reformasi atau stabilitas jangka panjang di wilayah ini,” ujarnya menutup.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular