Friday, August 1, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Pengakuan Eropa atas negara Palestina dinilai simbolik, tapi buat Israel...

ANALISIS – Pengakuan Eropa atas negara Palestina dinilai simbolik, tapi buat Israel gelisah

Langkah diplomatik sejumlah negara Eropa untuk mengakui negara Palestina terus bergulir cepat.

Di balik sifatnya yang dinilai “simbolik”, pengakuan tersebut membuka kemungkinan dampak besar terhadap posisi Israel di kancah internasional.

Hal itu sekaligus menambah tekanan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu agar menghentikan perang di Jalur Gaza.

Sebanyak 15 negara Barat, termasuk Prancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, pada Rabu lalu menyatakan sedang mempertimbangkan secara positif pengakuan resmi terhadap negara Palestina.

Langkah itu diharapkan rampung sebelum Majelis Umum PBB di New York pada September mendatang.

Dalam pernyataan bersama, negara-negara tersebut menegaskan bahwa pengakuan atas negara Palestina merupakan “langkah mendasar menuju realisasi solusi dua negara”. Mereka juga mengajak negara lain mengikuti langkah serupa.

Respons keras dari Israel

Pengumuman itu segera memicu kemarahan Israel. Netanyahu, yang saat ini diburu Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang di Gaza, menyatakan penolakannya secara tegas.

Ia menyebut pengakuan terhadap negara Palestina sebagai “hukuman bagi korban”.

Ia juga memperingatkan bahwa negara Palestina yang berdiri di perbatasan Israel kelak akan menjadi “negara jihad” yang mengancam keamanan regional, bahkan Eropa.

Meski secara politik dianggap simbolik, kalangan analis di Israel menilai langkah itu berpotensi memengaruhi hubungan Tel Aviv dengan negara-negara Barat, terutama di Eropa.

Dalam pandangan mereka, pengakuan ini mencerminkan melemahnya dukungan tradisional terhadap Israel di dunia internasional.

Suatu gejala yang diperkuat oleh kritik tajam terhadap operasi militer Israel di Gaza, yang di Barat banyak digambarkan sebagai “perang pemusnahan” dengan pelanggaran hukum internasional berat.

Sejumlah analisis di Israel memperingatkan bahwa pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk bagi langkah-langkah lebih tajam di Dewan Keamanan PBB, termasuk kemungkinan sanksi atau tuntutan hukum internasional.

Meski Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan menggunakan hak veto, pengakuan internasional yang kian luas diyakini dapat memperkuat legitimasi moral dan hukum bagi gerakan untuk mengisolasi Israel.

“Tsunami politik”

Editor urusan global Channel 12 Israel, Eran Nir, menyebut gelombang pengakuan dari Eropa sebagai “tsunami politik”.

Namun, menurutnya, langkah tersebut tetap bersifat simbolik dan tidak serta-merta mengubah realitas di Palestina.

“Pengakuan itu, bahkan jika resmi, tak akan membuat perbedaan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Palestina. Namun, dampaknya terhadap posisi internasional Israel bisa sangat besar, termasuk membuka pintu terhadap sanksi konkret,” ujar Nir.

Ia menilai bahwa motivasi di balik langkah negara-negara seperti Prancis, Belanda, dan Inggris tak semata dipengaruhi tekanan pemilih Muslim, tetapi juga upaya untuk “menyelamatkan Israel dari dirinya sendiri”.

Beberapa faktor yang mendorong perubahan sikap ini, antara lain:

  • Meningkatnya tekanan opini publik atas tragedi kemanusiaan di Gaza.
  • Rasa frustrasi terhadap kegagalan politik internasional menghentikan perang.
  • Kekhawatiran atas rencana Netanyahu mencaplok seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza, yang dianggap akan memupus sepenuhnya harapan solusi dua negara.

Menurut Nir, pengakuan ini tidak semata bentuk solidaritas simbolik terhadap Palestina.

Teetapi juga instrumen tekanan politik agar Israel bersedia memasuki jalur diplomasi dan menghentikan perang yang kian lama kian buntu.

“Penghinaan politik”

Di sisi lain, jurnalis Bernette Gorin dari laman Zman Yisrael menilai langkah Eropa ini tidak lebih dari “penghinaan politik” bagi Israel, meskipun tidak membawa dukungan nyata bagi rakyat Palestina.

Ia mengingatkan bahwa lebih dari 150 negara telah mengakui Palestina sejak 2012, tanpa banyak mengubah kondisi di lapangan.

Menurutnya, pengakuan itu mencerminkan frustrasi internasional terhadap kebijakan Israel di Gaza.

Namun, Eropa sendiri, menurutnya, tidak benar-benar ingin turun tangan—tidak dengan menampung pengungsi, tidak pula dengan mengirim pasukan.

“Paling banter mereka kirim roti lewat parasut,” tulisnya.

Ia juga menyindir bahwa semangat kemanusiaan itu kosong dari tindakan nyata.

Ia membandingkan situasi kini dengan langkah Presiden AS Franklin D. Roosevelt saat Perang Dunia II, yang menurutnya tidak sekadar mengakui pentingnya negara Yahudi, tetapi juga mengirim kekuatan militer untuk menyelamatkan mereka.

“Sekarang, yang dikirim cuma makanan ringan,” tulisnya getir.

Wacana pemindahan penduduk

Nada lebih ekstrem disampaikan mantan Duta Besar Israel untuk Italia, Dror Eydar, dalam artikelnya di harian Yisrael Hayom bertajuk “Negara Palestina Buruk Bagi Dunia”.

Ia menyebut wacana pengakuan terhadap Palestina sebagai “omong kosong”, dan menyamakan negara-negara Barat pendukungnya—khususnya Prancis—sebagai “penyembah berhala”.

Eydar menuding Otoritas Palestina tidak berbeda dengan Hamas karena “membayar orang yang membunuh Yahudi”.

Ia juga menyatakan bahwa tidak adanya serangan dari Tepi Barat hanyalah akibat kelemahan militer, bukan karena niat damai.

Dalam artikelnya, Eydar bahkan menyarankan Israel mengosongkan makna dari pengakuan terhadap Palestina melalui langkah-langkah sepihak, termasuk.

Ia juga menerapkan kedaulatan penuh dari Laut Tengah hingga Sungai Yordan, mengundang diaspora Yahudi untuk bermigrasi ke Israel.

Selain itu juga mendorong apa yang disebutnya “migrasi sukarela” warga Palestina—untuk menjamin dominasi demografis Yahudi dalam jangka panjang.

Ia menutup tulisannya dengan ajakan untuk bersabar dan percaya bahwa “kemenangan demografis” adalah satu-satunya jaminan abadi, bukan kompromi politik atau kesepakatan damai.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular