Langkah Inggris, Australia, dan Kanada mengakui secara resmi keberadaan Negara Palestina pada Minggu (21/9/2025) disambut dengan kegembiraan di kalangan rakyat Palestina dan para pendukung perjuangan mereka.
Namun, di balik euforia tersebut, sejumlah analis justru meragukan efektivitas keputusan itu dalam menahan laju agresi Israel, terutama selama tidak dibarengi dengan sanksi atau tekanan nyata.
Menurut laporan, Portugal dijadwalkan akan mengikuti jejak serupa dalam waktu dekat.
“Hari ini kami mengakui Negara Palestina untuk menghidupkan kembali harapan perdamaian antara rakyat Palestina dan Israel. Kami kini bergabung dengan lebih dari 150 negara lain yang telah lebih dahulu memberikan pengakuan,” tehas Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, melalui pernyataannya di platform X.
Meski demikian, Chris Doyle, Direktur Council for Arab-British Understanding, menilai langkah London justru terkesan “gagal” karena tidak diikuti dengan kebijakan konkret.
“Kami menyesalkan bahwa keputusan ini datang terlambat, puluhan tahun setelah seharusnya diambil,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Doyle memperkirakan Israel akan tetap melanjutkan perang pemusnahan terhadap warga Gaza serta mempercepat proyek permukiman di Tepi Barat.
Ia bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintah Israel memanfaatkan momentum untuk mendorong aneksasi sebagian atau seluruh wilayah Tepi Barat.
Kendati demikian, menurut Doyle, opsi Israel untuk membalas terhadap Inggris tidaklah banyak.
“Apakah mereka akan menutup kantor diplomatik Inggris di Yerusalem Timur atau menghentikan pusat-pusat budaya? Itu pun masih menjadi pertanyaan,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh akademisi Universitas Hebron, Dr. Bilal Shobaki. Menurutnya, Israel justru telah mendahului pengakuan Eropa dan Barat dengan rencana memperluas kontrol atas Tepi Barat, langkah yang pada dasarnya menutup peluang berdirinya negara Palestina.
Shobaki juga menilai Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang kini menjadi buronan Pengadilan Kriminal Internasional, akan berusaha menampilkan pengakuan internasional ini sebagai ancaman bagi keamanan nasional Israel.
Meski begitu, lanjut Shobaki, Netanyahu sadar bahwa ia tidak memiliki banyak instrumen untuk menekan negara-negara pengaku.
“Yang akan dia perhatikan hanyalah sejauh mana pengakuan itu menjadi batas dari sikap Barat. Jika memang berhenti di situ, ia akan tetap melanjutkan perang di Gaza dan mematikan peluang lahirnya negara Palestina,” tegasnya.
Bagi Shobaki, hal itu hanya ancaman nyata berupa sanksi yang akan bisa menahan langkah Israel.
Dorongan untuk sanksi
Sikap serupa muncul dari kalangan politik Inggris sendiri. Sarah Champion, anggota Parlemen dari Partai Buruh, menilai langkah pemerintahnya masih jauh dari cukup.
Menurut dia, Inggris harus mengambil posisi kepemimpinan dengan mendukung representasi penuh Palestina di PBB.
Ia menegaskan, praktik Israel di Tepi Barat jelas melanggar hukum internasional karena membangun permukiman di atas tanah yang didudukinya secara ilegal.
“Komunitas internasional harus bekerja sama untuk menjatuhkan sanksi terhadap Israel serta mendorong pengadilan internasional menindak pelaku pelanggaran. Israel perlu memahami bahwa mereka wajib tunduk pada hukum internasional,” ujarnya.
Pandangan kritis juga disampaikan Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina.
Ia menilai pengakuan dari Inggris dan sejumlah negara Barat memang penting sebagai bentuk dukungan terhadap hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya.
Namun, pengakuan itu dianggap tidak akan memiliki dampak nyata jika tidak dibarengi langkah penekanan.
“Tanpa sanksi, Israel akan terus melakukan pembantaian di Gaza dan membiarkan aksi kekerasan para pemukim terhadap kota-kota serta desa-desa di Tepi Barat,” katanya.
Barghouti menambahkan, bagi Inggris, pengakuan ini bisa dibaca sebagai upaya memperbaiki “dosa sejarah” yang ditinggalkan sejak Deklarasi Balfour.
“Ini adalah kesempatan bagi bangsa Palestina sendiri untuk menutup luka perpecahan dan memperkuat barisan,” ujarnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Netanyahu menanggapi gelombang pengakuan negara-negara Barat tersebut dengan nada keras.
Ia menyebut pengakuan terhadap Palestina sebagai ancaman eksistensial bagi Israel.
Netanyahu menyerukan mobilisasi untuk “melawan PBB dan seluruh arena internasional lainnya” demi menangkis apa yang ia sebut sebagai “propaganda palsu” terhadap Israel.