Jurnalis Amerika Serikat (AS), Gaby Schneider, menilai sikap The New York Times yang menolak menggunakan istilah seperti “genosida” dan “pembersihan etnis” dalam pemberitaannya tentang perang Israel di Jalur Gaza.
Hak itu sebagai bentuk kontribusi media tersebut dalam menormalkan kejahatan dan menyesatkan publik.
Dalam artikelnya berjudul “Aib Akan Mengikuti Pimpinan The New York Times”, Schneider menegaskan bahwa The New York Times merupakan media rujukan utama bagi masyarakat dan elite politik AS, dari lapisan terbawah hingga puncak kekuasaan.
Artikel itu dimuat dalam seri tulisan situs Nieman Lab mengenai masa depan jurnalisme pada 2026
Namun, menurut dia, surat kabar tersebut gagal merepresentasikan realitas sebagaimana mestinya.
“Kita kini berada di penghujung tahun 2025. Seharusnya, dengan berlalunya waktu, semakin sulit mengabaikan skala kehancuran, kematian, dan pengusiran di Gaza. Sikap ini adalah bentuk normalisasi terhadap apa yang terjadi—dan itu sama sekali tidak masuk akal serta berdampak jauh dari sekadar persoalan sepele,” tulis Schneider.
Normalisasi dan pembenaran kejahatan Israel
Schneider mengingatkan bahwa pada 2024, media The Intercept pernah mengungkap memo internal The New York Times yang menganjurkan para jurnalisnya untuk menghindari penggunaan istilah “pembersihan etnis” dan “genosida”.
Kebijakan tersebut, menurutnya, menghalangi jurnalis menyebutkan secara langsung kejahatan yang telah didokumentasikan oleh berbagai organisasi hak asasi manusia terkemuka, sebagaimana terjadi di Myanmar hingga Darfur.
Sebagai salah satu direktur The Objective—sebuah ruang redaksi nirlaba yang berfokus pada isu kekuasaan, ketimpangan, dan suara-suara yang terpinggirkan—Schneider menekankan besarnya tanggung jawab The New York Times.
Istilah yang digunakan media ini, ujarnya, turut membentuk cara dunia memahami suatu peristiwa, serta memiliki pengaruh besar terhadap media lain dan para pengambil kebijakan.
Menurut Schneider, hasil dari kebijakan redaksional tersebut bukanlah netralitas, melainkan normalisasi dan pembenaran kekerasan Israel, alih-alih membuka tabir fakta dan menuntut pertanggungjawaban.
Ia menyinggung pernyataan sejumlah pejabat pemerintah Israel yang berhaluan kanan ekstrem.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, misalnya, pada Mei lalu menyatakan, “Gaza akan dihancurkan sepenuhnya.”
Sementara pada April, Menteri Pertahanan Israel Katz secara terbuka mendukung pembatasan besar-besaran bantuan kemanusiaan bagi penduduk Gaza yang menghadapi ancaman kelaparan.
“Membiarkan pernyataan-pernyataan ini beredar dari para pemimpin pemerintahan, tanpa memberikan pembaca gambaran utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi, adalah tindakan yang tercela,” tulis Schneider.
Ia juga menyoroti bahwa manajemen The New York Times tidak sekadar memaksakan gambaran realitas yang keliru, tetapi juga menutup mata terhadap besarnya korban di kalangan jurnalis Palestina.
Schneider mengutip temuan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang menyebut Gaza sebagai tempat paling berbahaya bagi jurnalis dalam sejarah modern.
Menurut data Kantor Media Pemerintah Gaza, sejak 7 Oktober 2023, Israel telah menewaskan 257 jurnalis Palestina, baik selama perang yang disebut sebagai genosida maupun dalam periode gencatan senjata yang berlangsung.
Seruan boikot The New York Times
Schneider mencatat bahwa inisiatif Writers Against the War on Gaza secara terbuka menyerukan boikot terhadap The New York Times.
Seruan ini didasarkan pada pilihan bahasa media tersebut serta kecenderungannya mengulang klaim militer Israel tanpa tingkat verifikasi yang sama ketatnya seperti yang diterapkan terhadap militer negara lain.
Pada Oktober lalu, lebih dari 500 tokoh publik dan penulis menyatakan tidak akan lagi mempublikasikan tulisan mereka di rubrik opini The New York Times.
“Kami berutang kepada jurnalis dan penulis Palestina untuk menolak berkompromi dengan The Times dan menuntut pertanggungjawaban atas kegagalannya, agar surat kabar ini tidak lagi mampu memanipulasi opini publik untuk membenarkan genosida, penyiksaan, dan pengusiran,” tulis mereka dalam surat terbuka.
Schneider menegaskan bahwa persoalan ini bukan semata-mata soal pilihan kata, melainkan masalah struktural.
Cara The New York Times mengangkat kisah-kisah individual serta menentukan prioritas pemberitaan, menurutnya, patut mendapat pengawasan kritis.
“Jika manajemen surat kabar ini bisa tidur nyenyak di malam hari dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan tugas dengan baik, maka jurnalisme dan dunia akan berada dalam kondisi yang lebih buruk. Mereka memang bukan pelaku langsung, tetapi kepengecutan dan kelalaian turut memungkinkan berlanjutnya ketidakadilan,” tulisnya.
Ia berharap, para pengelola The New York Times masih memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan, mengevaluasi pilihan-pilihan sebelumnya, dan mengambil keputusan yang benar, meski terlambat.
Dalam penutup tulisannya, Schneider menegaskan bahwa menjauh dari kejelasan moral dan dengan sengaja mengabaikan penderitaan serta kematian bukanlah jurnalisme, melainkan bentuk kepengecutan.
Mereka yang melakukan hal itu, tegasnya, tidak layak disebut sebagai “rekan seprofesi”.
“Sebaliknya, yang pantas mereka terima adalah aib—di ruang redaksi, di ruang publik, dan dalam catatan Sejarah,” tulis Schneider.


