Tuesday, December 9, 2025
HomeBeritaPenulis Haaretz: Media Israel remehkan warga Palestina dan memupuk sistem apartheid

Penulis Haaretz: Media Israel remehkan warga Palestina dan memupuk sistem apartheid

Penulis Palestina, Oudeh Bisharat, melontarkan kritik keras terhadap pola pemberitaan dan program perbincangan di televisi Israel.

Menurut dia, sejumlah kanal menghadirkan panel dari berbagai latar politik dan sosial—kiri dan kanan, religius dan sekuler, laki-laki dan perempuan—untuk memberi kesan seolah mereka mewakili “seluruh warga Israel”.

Namun, tanpa ruang bagi warga Arab Palestina yang juga merupakan bagian dari masyarakat tersebut.

Dalam artikelnya di Haaretz, Bisharat menyebut praktik itu sebagai cerminan nyata dari sistem apartheid yang mengakar, yang tercermin dalam pola pengecualian dan perlakuan diskriminatif terhadap warga Arab.

Padahal, menurutnya, orang Arab membentuk sekitar 20 persen dari populasi Israel, namun mereka tetap “dilarang memasuki ruang suci” perbincangan media arus utama.

Alih-alih memberi ruang bagi suara Arab, media-media tersebut, tulis Bisharat, justru memilih menampilkan “koresponden urusan Arab” yang semuanya beretnis Yahudi.

Dengan nada satir, ia menyatakan bahwa sebagian pihak bahkan meyakini para koresponden itu “lebih baik mewakili suara Arab ketimbang orang Arab sendiri”.

Ia menambahkan, dalam kesempatan langka ketika seorang warga Arab diundang sebagai narasumber, ia harus terlebih dahulu melewati semacam ujian loyalitas.

Sebelum wawancara dimulai, ia diminta mengutuk “serangan teror” atau memberikan komentar tertentu terkait tokoh Arab.

Syarat yang tidak pernah diberlakukan pada tamu Yahudi, bahkan dalam situasi yang menyangkut kekerasan terhadap warga Palestina.

Pun setelah lolos dari “ujian merendahkan” itu, narasumber Arab acap kali menghadapi interupsi dan serangan verbal dari berbagai arah, sebuah pola yang menurut Bisharat jelas bertujuan merendahkan dan menjatuhkan martabat mereka.

Sementara itu, tamu Yahudi tak pernah dituntut melakukan bentuk kecaman serupa, bahkan ketika korban kekerasan adalah warga Palestina—sesuatu yang dianggap para pewawancara sebagai bagian dari “kehormatan nasional”.

Bisharat mengusulkan agar para guru pendidikan kewarganegaraan menggunakan siaran berita Israel sebagai contoh hidup mengenai praktik apartheid.

Menurut dia, persoalan bukan sekadar terletak pada buku pelajaran, melainkan pada layar televisi yang secara sistematis meniadakan keberadaan 20 persen penduduk.

Ia bahkan menyatakan dukungan terhadap penutupan sejumlah outlet media yang bertujuan menjaga “kemurnian nasional”, termasuk Radio Militer Israel dan kanal-kanal televisi besar.

Menurutnya, langkah itu dapat membuka jalan bagi “udara yang lebih bersih” dan kehidupan yang “lebih manusiawi”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler