Militer Israel “masih jauh dari kemenangan” di Jalur Gaza, meskipun Tel Aviv terus melanjutkan serangan mematikannya di wilayah Palestina tersebut sejak 7 Oktober lalu, demikian diungkapkan puluhan perwira cadangan Israel dalam satu surat yang diterbitkan pada Minggu, seperti dikutip kantor berita Anadolu.
“Dalam beberapa hari terakhir, kami terkejut dengan pernyataan berulang dari pejabat tinggi militer bahwa kemenangan sudah di depan mata dan bahwa kita dapat beralih ke tahap serangan yang lebih spesifik,” demikian bunyi surat yang ditandatangani oleh sekitar 100 perwira kepada Kepala Staf Herzi Halevi.
“Kami, yang turun langsung ke lapangan, tahu betul bahwa situasi masih jauh dari kemenangan.”
Para perwira militer menegaskan bahwa faksi-faksi perlawanan Palestina masih memiliki kemampuan lintas batas seperti UAV, drone peledak, dan mortir.
“Ini bukanlah gambaran kemenangan!”
Pada Februari, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan kepada ABC News bahwa “kemenangan sudah di depan mata.”
Baca juga: Pengadilan militer Israel perpanjang tahanan 5 tentara tersangka perkosaan tahanan Palestina
Baca juga: Erdogan sambut putra mendiang Haniyah di Istanbul
Sejak konflik di Gaza meletus pada 7 Oktober lalu, sedikitnya 10.000 tentara Israel telah tewas dan terluka, menurut laporan media Israel pada Minggu lalu.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah serangannya yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan oleh kelompok perlawanan Palestina, Hamas, pada Oktober 2023.
Serangan Israel tersebut telah menewaskan hampir 39.800 korban jiwa, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai lebih dari 92.000 lainnya, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari sepuluh bulan setelah serangan Israel dimulai, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade yang melumpuhkan pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituduh melakukan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ), yang memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di kota Rafah, selatan Gaza, tempat lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum kota tersebut diserbu pada 6 Mei.