Thursday, September 4, 2025
HomeBeritaPetani anggur Hebron sendirian hadapi serangan pemukim

Petani anggur Hebron sendirian hadapi serangan pemukim

Sejak sepekan terakhir, Mustafa Milhem hanya bisa mendengar lantunan azan dari rumahnya tanpa sanggup pergi ke masjid untuk salat berjemaah seperti biasa.

Tubuhnya masih dipenuhi luka dan memar akibat serangan brutal sekelompok pemukim Israel saat ia bersama keponakannya memanen anggur di lahan keluarga mereka di Halhul, utara Hebron.

Pada dini hari, 24 Agustus 2025, Milhem dan keponakannya disergap oleh para pemukim yang memukul dengan tongkat hingga mengenai kepalanya.

“Mereka memukul dengan maksud membunuh. Mereka baru berhenti ketika melihat darah mengucur dari kepalaku,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Lahan keluarga Milhem berada di antara Halhul dan Beit Ummar, yang bersebelahan dengan permukiman Karmie Tzur.

Permukiman itu dibangun di atas tanah yang disita sejak 1984 dan kini dihuni sekitar seribu pemukim.

“Lahan ini punya pemilik”

Keluarga Milhem telah mewarisi budidaya anggur selama tiga generasi. Hebron memang dikenal sebagai sentra anggur berkualitas tinggi di Palestina, sekaligus produsen berbagai olahan tradisional, seperti sirup kental (dibs), manisan (malban), selai, dan kismis.

Produk-produk itu menjadi sumber penghidupan sekaligus ketahanan pangan keluarga-keluarga di kawasan tersebut, dipasarkan di seluruh Tepi Barat bahkan diekspor keluar negeri.

Sebelum blokade dan pengetatan akses sejak awal perang di Gaza, Milhem hanya membutuhkan 10 menit untuk mencapai lahannya.

Kini, ia harus menempuh jalan memutar hingga satu jam.

“Saya pergi ke sana untuk menunjukkan kepada pemukim bahwa tanah ini punya pemilik. Masalahnya, kami tidak punya perlindungan. Tidak ada solusi nyata bagi petani,” ujarnya.

Ingatan Milhem kembali pada tiga dekade lalu ketika pemukim juga menyerang lahannya.

Kala itu, ratusan warga berbondong-bondong berkumpul di tanah itu hingga membuat pemukim mundur.

“Namun kini, rasa kebersamaan itu hilang, meski kita hidup di era media sosial,” katanya dengan getir.

Ia berharap lembaga kemanusiaan yang selama ini hanya mendokumentasikan serangan bisa bergerak lebih jauh.

Misalnya dengan mengorganisasi warga untuk panen bersama sehingga para pemukim tidak bisa menyerang petani yang bekerja sendirian.

Ancaman berlapis

Di pasar tradisional Halhul, seorang petani lain, Muhammad Abu Rayan, menceritakan hal serupa. Ia bersama keluarga memiliki 35 dunam (3,5 hektar) kebun anggur dengan produksi rata-rata 1,5 ton per dunam.

“Serangan tidak hanya di lahan dekat permukiman, tetapi juga sudah merambah hingga sekitar pemukiman warga Palestina,” ujarnya.

Kerabatnya yang sudah delapan tahun berdagang di pasar mengungkapkan, banyak petani yang harus dirawat di rumah sakit karena dipukuli dengan niat membunuh.

“Semua ini terjadi dengan perlindungan Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir. Sementara otoritas Palestina tidak berbuat apa pun. Petani tidak punya sandaran, tidak ada dukungan untuk mempertahankan ketahanan mereka, baik dalam produksi maupun pemasaran,” katanya.

Untuk bertahan, Abu Rayan dan keluarganya pergi ke lahan secara berkelompok, sekitar 20 orang sekaligus.

“Kalau mereka lihat jumlah kami banyak, mereka menjauh. Tapi kalau hanya dua atau tiga orang, mereka langsung menyerang. Mereka tidak mau ada orang Palestina di tanah ini. Tapi kami tetap pergi, kami panen, dan kami tidak peduli dengan ancaman mereka,” tegasnya.

Para petani sepakat bahwa tentara Israel hanya hadir untuk melindungi pemukim. Jika pun datang, sifatnya sekadar formalitas sebelum kemudian meninggalkan lokasi, membiarkan pemukim kembali menyerang.

Selain ancaman fisik, para petani juga menghadapi tantangan ekonomi. Anggur Israel dijual di pasar Palestina dengan harga sangat murah, sekitar 2 dolar AS per kotak berisi 10 kilogram, jauh di bawah harga anggur lokal.

Pemukim bahkan merusak kebun dengan melepaskan kawanan domba agar memakan pohon anggur, atau memanen anggur terbaik lalu memberikannya sebagai pakan ternak.

Dengan kondisi itu, panen anggur di Hebron yang dulunya menjadi simbol tradisi sekaligus sumber kehidupan keluarga-keluarga Palestina, kini kian terancam oleh serangan, pembatasan, dan persaingan yang tidak adil.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular