Presiden Lebanon, Joseph Aoun, menegaskan bahwa keputusan untuk membatasi senjata hanya di bawah kendali negara merupakan langkah yang tidak dapat dibatalkan dan sedang dilaksanakan secara hati-hati guna menjaga persatuan nasional dan mencegah terganggunya perdamaian sipil.
Pernyataan itu disampaikan Aoun saat bertemu dengan delegasi jurnalis pada hari pertama kunjungannya ke Bahrain, Selasa (22/7/2025), sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Nasional Lebanon NNA.
Pernyataan ini muncul sehari setelah Aoun menyerahkan tanggapan resmi Lebanon kepada utusan Amerika Serikat, Tom Barrack, terkait proposal Washington mengenai perlucutan senjata kelompok Hizbullah dan penarikan penuh pasukan Israel dari Lebanon selatan.
“Israel hingga saat ini belum mematuhi kesepakatan yang dicapai pada November 2024 dan terus melakukan agresi terhadap Lebanon, mengabaikan seruan internasional untuk menghentikan tindakan permusuhan,” ujar Aoun.
Ia menekankan bahwa “setiap solusi memerlukan jaminan implementasi, terutama karena Israel belum sepenuhnya menjalankan Resolusi 1701, sementara Lebanon telah memenuhi komitmen dengan menempatkan pasukan militer di wilayah selatan Sungai Litani.”
Menurut Aoun, keberadaan pasukan Israel di lima bukit perbatasan masih menjadi hambatan utama bagi pengerahan penuh tentara Lebanon.
Tambahan pasukan di Selatan
Aoun juga menyampaikan bahwa jumlah personel militer Lebanon yang dikerahkan di selatan negara itu akan meningkat menjadi 10.000 orang pada akhir tahun ini. Namun, ia tidak merinci jumlah saat ini.
“Di mana pun tentara dikerahkan, mereka menyita senjata dan amunisi serta mengakhiri kehadiran kelompok bersenjata,” katanya.
Ia menegaskan bahwa penyelamatan kedaulatan negara menjadi prioritas utama. “Keputusan kami untuk menyelamatkan negara adalah final, dan kami akan melakukan segala upaya untuk mewujudkannya,” ujarnya.
Konflik bersenjata lintas perbatasan antara Israel dan Hizbullah meningkat menjadi perang terbuka pada September 2024. Gencatan senjata dicapai pada November, namun serangan dari Israel terus berlanjut hampir setiap hari, dengan alasan menargetkan aktivitas Hizbullah.
Pemerintah Lebanon melaporkan hampir 3.000 pelanggaran terhadap gencatan senjata oleh Israel, yang menyebabkan sedikitnya 258 orang tewas dan lebih dari 562 luka-luka.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik seluruh pasukannya dari Lebanon selatan pada 26 Januari 2025. Namun, tenggat waktu tersebut diperpanjang hingga 18 Februari setelah Tel Aviv menolak menarik pasukannya secara penuh.
Hingga kini, Israel masih mempertahankan kehadiran militer di lima pos perbatasan.
Utusan AS Tom Barrack mengatakan pada Senin bahwa perjanjian gencatan senjata tersebut “tidak berjalan” sebagaimana diharapkan.